NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: Dalam Keheningan yang Asing

Cahaya matahari menyusup lembut dari balik tirai krem yang menggantung rapi di jendela ruang makan. Aroma kopi dan roti panggang menguar samar, berpadu dengan kelembutan pagi yang baru dimulai. Samantha duduk di meja, mengenakan blus putih bersih dan celana kain lembut. Meski kulitnya masih menyimpan jejak luka samar dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bersikeras untuk kembali beraktivitas.

Tangan halusnya meraih cangkir kopi yang sudah mendingin, tapi matanya tak sepenuhnya hadir di ruangan itu. Di hadapannya, Leonard berdiri bersandar di meja, memandangi istrinya dengan tatapan cemas yang tak berusaha disembunyikan.

"Kau tidak harus melakukannya hari ini," ucap Leonard pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Setidaknya tunggu beberapa hari lagi. Samantha... kau belum pulih sepenuhnya."

Samantha menatap pria itu dengan lembut, tapi juga dengan keteguhan yang sudah lama dikenal Leonard. "Aku butuh ini, Leonard. Butuh merasa normal lagi...Butuh bangun, mandi, memilih baju, berjalan keluar dan... pura-pura semuanya baik-baik saja."

Nada suaranya tidak tinggi, tapi menyimpan beban yang berat. Leonard mendekat, berlutut di sampingnya lalu menggenggam tangan istrinya dengan dua tangannya.

"Ini bukan soal pura-pura...Ini soal waktu. Aku tahu kau kuat, lebih kuat dari siapapun yang kukenal. Tapi tak berarti kau harus menanggung semuanya sendirian. Izinkan aku...izinkan kita...untuk saling menjaga."

Samantha menunduk. Ada getar halus di bibirnya, dan matanya berkaca. "Aku takut kalau aku berhenti, aku tidak akan bisa bergerak lagi. Aku harus terus berjalan... atau aku akan terjebak di tempat gelap itu lagi."

Leonard mengangguk, dan tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk istrinya erat...bukan untuk melarang, tapi untuk meneguhkan. Pelukan itu bukan penjara, tapi penopang. Dan dalam keheningan pagi itu, Samantha akhirnya menghembuskan napas panjang, membiarkan sedikit kekuatannya bersandar pada lelaki yang selama ini diam-diam menopangnya dalam diam.

...****************...

Langkah-langkah Samantha terdengar mantap di sepanjang lorong lantai atas gedung editorial. Aroma khas kertas cetak dan kopi basi menyambutnya seperti biasa, namun ada sesuatu yang terasa... ganjil. Bukan dari tempat ini, tapi dari dirinya sendiri.

Setelah sekian lama, ia kembali duduk di kursi lamanya, membuka laptop, memeriksa email, menandatangani dokumen... semuanya seperti biasa. Para staf menyambutnya dengan senyum tulus dan sedikit gugup, mungkin takut menyentuh luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi Samantha menjawab mereka dengan ramah. Ia mencoba menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, walau jauh di dalam, ada kekosongan yang belum bisa dijelaskan.

Waktu berjalan pelan. Jarum jam terasa malas. Makan siang datang dan pergi. Lalu matahari mulai condong ke barat, menembus jendela besar dengan cahaya keemasan yang menyilaukan. Tapi ruangan paling gelap di lantai ini tetap tak berpenghuni.

Samantha belum melihat bayangan Nathaniel sejak pagi. Tidak di ruangannya, tidak di koridor, bahkan tidak terdengar suara sepatunya yang khas menyentuh lantai marmer.

Rasanya seperti sebuah ruang hampa yang tak terdefinisi. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan... atau mungkin hanya memastikan bahwa Nathaniel ada... hidup, nyata, dan tidak menghilang setelah semua yang terjadi.

Samantha menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang langit senja yang perlahan meredup. Tangannya bermain dengan ujung pena, gelisah tanpa suara. Dadanya terasa sesak, seperti menahan sesuatu yang tidak diberi tempat untuk keluar.

Di mana kau, Nathaniel? bisik pikirannya. Bukan sebagai atasan. Bukan sebagai pria yang pernah menakutinya. Tapi sebagai seseorang yang telah mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkannya.

Dan semakin matahari tenggelam, semakin beban itu menumpuk di dadanya. Bukan hanya karena ia belum melihatnya, tapi karena ia mulai menyadari bahwa keheningan Nathaniel menyakitkan dengan cara yang tak bisa dijelaskan.

...****************...

Setelah beberapa kali mencoba menghubungi Nathaniel tanpa mendapatkan jawaban, Samantha merasa kegelisahan semakin menggerogoti hatinya. Ponselnya masih menyala, menampilkan layar kosong, tanpa satu pesan pun yang masuk. Benarkah itu hanya kebetulan? Atau Nathaniel memang sengaja menghindar darinya?

Rasa khawatir yang selama ini disembunyikan mulai merayap perlahan. Ia menatap ponselnya yang terus menerus menampilkan layar kosong itu. Bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi padanya? Apa yang bisa jadi begitu mendalam hingga membuat Nathaniel benar-benar menghilang dari pandangannya?

Tanpa sadar, Samantha mulai menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai meresap. Dalam kebingungannya, ia mencoba berpikir rasional. Ia menghubungi Leonard dengan suara lembut, memberitahunya bahwa ia akan pulang terlambat malam ini. Mengatakan bahwa ia harus menghadiri makan malam dengan rekan kerja yang merayakan kesembuhannya, sebuah alasan yang cukup untuk menutupi apa yang sesungguhnya mengganggunya.

Dengan cepat, ia menyelesaikan percakapan dengan suaminya dan meninggalkan kantor, bergegas menuju basement tempat ia memarkir mobilnya. Namun, entah kenapa, perasaan takut tetap melingkupi dirinya. Seperti ada sesuatu yang mengintai di bayang-bayang, seolah-olah ada seseorang yang mengawasinya di setiap langkahnya.

Ia menatap lorong gelap yang mengarah ke tempat parkir, dan meskipun tak ada suara apapun, perasaan aneh itu semakin mencekam. Sambil mempercepat langkahnya, ia berharap bisa segera keluar dari area yang terasa semakin mencekam itu.

Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan di sekitar mobilnya, Samantha buru-buru masuk ke dalamnya dan menyalakan mesin. Udara dalam mobil terasa sedikit lebih segar, meski ketegangan masih menggantung di dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Samantha mulai mengendarai mobil pelan, melewati parkiran bawah tanah yang mulai sepi. Jalanan di luar gedung mulai semakin gelap, dan langit malam menghantarkan bayangannya semakin larut. Meskipun demikian, perasaan takut yang ia rasakan tetap tidak bisa ia buang begitu saja. Ia merasa seperti ada seseorang, sesuatu, yang tengah mengikutinya, meskipun tak ada jejak yang bisa ia lihat.

Pikirannya berputar kembali ke Nathaniel, entah kenapa. Ada sesuatu yang tak beres. Ada perasaan tidak lengkap yang menghantui pikirannya. Di bawah sinar lampu jalanan yang samar, ia berusaha tetap tenang, meski ketakutannya semakin terasa.

...****************...

Langkah-langkah Samantha terdengar pelan namun pasti di lorong apartemen Nathaniel. Dengan hati-hati, ia memasukkan kode yang masih ia ingat dengan jelas, kode yang tak pernah berubah sejak hari pertama pria itu memberinya akses. Bunyi klik halus mengiringi pintu yang terbuka, dan aroma khas yang dulu begitu akrab langsung menyeruak ke dalam hidungnya.

Namun saat ia melangkah masuk, yang menyambutnya bukan kehangatan, melainkan kehampaan.

Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.

Tak ada suara langkah, tak ada denting gelas di dapur, tak ada musik jazz lembut yang biasanya mengalun di latar belakang. Semua tampak tertata rapi, nyaris steril, seakan tak pernah dihuni. Hanya debu tipis di sudut meja yang membocorkan waktu yang telah berlalu tanpa sentuhan.

Samantha berdiri di tengah ruangan, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang asing. Ada denyut rasa yang samar di dadanya, rasa kehilangan yang tidak bisa ia beri nama.

Tangannya menyentuh sandaran sofa, lalu meja kecil tempat Nathaniel dulu selalu meletakkan kopinya. Begitu banyak kenangan yang samar berkelebat. Bukan kenangan manis, bukan juga kenangan murni. Tapi ada perasaan yang tertinggal di sini. Sesuatu yang rumit. Sesuatu yang tidak bisa ia buang.

Ia menghela napas panjang, lalu berbalik. Langkahnya menuju pintu terasa berat, seperti tubuhnya tak sepenuhnya ingin pergi.

Dan saat itulah suara kunci terdengar dari balik pintu.

Samantha terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Pintu terbuka perlahan... dan di ambang pintu berdiri Nathaniel.

Keduanya terpaku.

Waktu seakan berhenti.

Tatapan mereka bertemu dalam diam. Mata Nathaniel gelap dan penuh lapisan emosi yang tak terucap. Sementara mata Samantha berkaca, bukan oleh air mata, tapi oleh rasa yang tak bisa ia tolak... ketertarikan yang menyakitkan.

Tak ada kata.

Tak ada gerakan.

Hanya dua manusia yang saling terikat oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari kata-kata, namun tak pernah cukup kuat untuk disatukan oleh logika.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!