"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Haru
Gedung Sanjaya Company
Sebuah mobil hitam mewah berhenti mulus di depan gedung utama perusahaan. Dari dalamnya, Kian melangkah keluar dengan wajah setegas batu. Jasnya rapi, dasinya sempurna, tapi sorot matanya tajam dan dingin seperti malam tanpa bintang.
Begitu kakinya menginjakkan lantai lobby, seluruh staf yang melihatnya langsung menunduk memberi hormat. Tak ada satu pun yang berani menyapanya. Hanya suara hak sepatu dan langkah mantapnya yang terdengar mengisi lorong.
Lift terbuka. Ia masuk sendirian. Detik berikutnya, pintu lift tertutup rapat—menyisakan keheningan sementara yang langsung disambut bisik-bisik lirih dari para pegawai.
“Beneran ya? Katanya semalam pernikahannya batal karena istri sirinya muncul tiba-tiba.”
“Aku juga denger gitu… Astaga, gak nyangka deh, Tuan Kian punya istri siri. Padahal wajahnya tuh… kelihatan kayak tipe pria setia, gak sembarang deketin perempuan.”
“Yah, orang kaya, Beb. Pencitraan itu penting. Tapi di luar? Jangan salah. Simpanannya bukan cuma saham dan aset, tapi juga perempuan buat... kepuasan pribadi.”
“Serem amat ngomongnya… Tapi bener juga sih. Gara-gara batal nikah, Tuan Broto narik diri dari kontrak kerja. Padahal tinggal tanda tangan.”
“Sumpah, gak profesional banget. Imbasnya ke perusahaan juga.”
“Makanya… CEO kita dateng pagi-pagi begini. Padahal kan masih dalam masa cuti.”
“Cuti gimana sih, orang batal nikah."
"Cuti sih katanya buat bulan madu sama Nona Friska, tapi karena batal nikah, ya mungkin sekarang bulan madunya sama istri sirinya itu."
“Hei, hei… pagi-pagi udah ngerumpi. Hati-hati. Mau dibatalin juga jadi pegawai tetap?”
Seorang staf senior menegur ketus sambil berlalu, membuat beberapa orang langsung diam dan kembali fokus ke pekerjaannya masing-masing. Tapi percakapan yang sudah sempat terucap, tetap membekas di udara.
Dan di balik semua desas-desus itu, Kian… berada di lift, menatap pantulan dirinya di dinding logam yang mengkilap. Diam. Tegang. Tapi dalam hatinya bergolak.
Bukan karena rumor. Tapi karena tanggung jawab yang lebih besar dari sekadar harga dirinya.
Hari ini… dia harus menyelamatkan perusahaannya. Dan untuk itu, semua luka pribadi harus disimpan dulu—di dasar terdalam dari egonya.
Pintu ruang rapat terbuka otomatis.
Kian melangkah masuk dengan ekspresi nyaris tak terbaca. Di dalam, para petinggi perusahaan sudah duduk berjejer. Raut tegang terlihat di wajah-wajah mereka. Beberapa meneguk kopi, beberapa lainnya membolak-balik lembaran dokumen dengan gelisah.
Namun saat Kian duduk di kursi paling ujung—kursi pemimpin tertinggi—semua langsung bungkam.
“Kita mulai,” ucapnya tanpa basa-basi. Suaranya datar, tapi cukup untuk menggetarkan suasana.
Ia membuka laptop tipisnya dan menatap layar sejenak, sebelum mengalihkan pandangan ke seluruh ruangan.
“Kerja sama dengan Perkasa Mandiri Group resmi dibatalkan,” katanya lugas.
Beberapa eksekutif saling pandang. Salah satu dari mereka memberanikan diri bertanya, “Tuan Kian… artinya kita kehilangan 30% dari proyeksi pendanaan tahap ini?”
“Benar,” jawab Kian. “Dan kita punya waktu tidak lebih dari dua minggu untuk menutup kekosongan itu, atau proyek ekspansi kita ke luar negeri akan tertunda—atau lebih buruk lagi, dibatalkan.”
Tegang.
Sunyi.
Tak ada yang berani bersuara.
Kian menggeser lembar presentasi ke layar besar di dinding. Sebuah grafik kerugian potensial muncul, disertai alternatif strategi.
“Ada dua opsi,” katanya tegas. “Pertama, kita ajukan renegosiasi dengan investor lama yang sempat kita tolak. Kedua, kita lepas beberapa saham minoritas untuk suntikan dana segar dari konsorsium baru yang saya temui bulan lalu.”
Seorang wanita muda di ujung meja mengangkat tangan. “Bagaimana dengan citra perusahaan setelah isu pernikahan itu…?”
Suasana kembali mencekam. Tak ada yang ingin membahasnya, tapi semua tahu gosip itu sudah menyebar.
Kian menatap lurus ke arah wanita itu. Tatapannya tajam, tapi tetap profesional.
“Kehidupan pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan kredibilitas perusahaan,” katanya pelan namun mengiris. “Kecuali Anda semua membuatnya jadi masalah. Kita di sini bukan membahas gosip, tapi menyelamatkan proyek yang menyangkut ratusan karyawan dan masa depan perusahaan ini.”
Hening.
Lalu satu per satu petinggi perusahaan mengangguk. Setuju. Fokus.
“Bagus,” Kian menutup laptopnya. “Saya akan tangani investor. Kalian siapkan laporan detail semua pengeluaran dan potensi penghematan. Kita rapat lagi lusa. Rapat selesai.”
Ia berdiri. Tegap. Tegas.
Dan saat melangkah keluar dari ruangan, tak ada yang berani menatap langsung ke arahnya. Tapi di balik ketegasan itu, langkah Kian sedikit melambat.
Sebagian dari dirinya masih tertinggal di rumah. Bersama seorang gadis bercadar… yang kini kembali menjadi bagian dari hidupnya, meski belum benar-benar menyentuh hatinya. Atau mungkin... belum pernah masuk ke sana?
***
Sementara itu, setelah Kian pergi, Kanya, Keynan, dan Aisyah juga meninggalkan rumah. Mereka melaju menuju hotel tempat Kyai Zubair dan Umi Farida menginap.
Saat Kian masuk ke ruangan rapat, Kanya dan mertuanya bertemu Kyai Zubair dan Umi Farida.
Sesuai janji, Kanya menghubungi Umi lebih dulu, dan mereka sepakat bertemu di taman belakang hotel—area semi-private yang ditata dengan rapi dan teduh. Bangku kayu tertata di bawah rindangnya pepohonan, dengan alunan musik lembut yang nyaris tak terdengar.
Seketika Kyai Zubair dan Umi Farida bangkit dari duduk mereka saat rombongan kecil itu datang. Umi menyambut Kanya dengan pelukan hangat sebelum menyambut Aisyah dan Keynan dengan penuh hormat.
“Subhanallah... Sebenarnya saya tak menyangka, ibu mertua Kanya juga bercadar,” ucap Umi dengan senyum tulus di balik cadarnya, memecah suasana yang sempat canggung karena pertemuan mereka kemarin berlangsung singkat dan tanpa banyak percakapan.
Aisyah tersenyum, menunduk pelan. “Mungkin karena itu Allah mengirim Kanya sebagai menantu saya,” candanya ringan.
Tawa kecil sempat terdengar, sebelum Kyai Zubair membuka pembicaraan dengan suara tenang namun penuh hormat.
“Saya minta maaf atas kegaduhan yang mungkin terjadi. Bukan maksud kami mempermalukan keluarga besar Bapak Keynan,” ujarnya, memandang langsung ke arah sang kepala keluarga. “Namun Kanya berhak mempertanyakan status dirinya di hati suaminya. Dan saya kira, itu wajar.”
Ia menoleh pada Kanya sejenak, lalu melanjutkan.
“Walau saya akui, Kanya juga keliru. Ia meninggalkan suaminya dalam keadaan luka dan tanpa kabar, bahkan saat mengalami kecelakaan. Sehingga wajar bila Kian mengira ia telah tiada… dan mencoba membangun hidup baru.”
Kanya hanya bisa menunduk dalam diam. Matanya mulai basah. Tak sanggup ia membantah. Semua benar. Semua itu salahnya.
Umi menatapnya dengan mata yang penuh iba. Ia menyentuh lengan Kanya lembut, seolah ingin menghapus rasa bersalah yang memberat di pundaknya. Aisyah pun menggenggam tangan menantunya erat—hangat dan menenangkan.
Keynan menghela napas dalam.
“Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan atau membenarkan salah satu pihak,” ucapnya bijak.
“Masing-masing punya alasan. Dan keduanya… pernah disakiti.”
Ia menatap Kanya sejenak.
“Lagi pula, mereka masih sangat muda. Terutama Kanya… yang bahkan saat itu baru lulus dari sekolah sederajat SMA di pondok.
Wajar jika banyak hal belum mereka pahami sepenuhnya.”
Keynan menghela napas pelan, lalu melanjutkan, tenang.
“Jadi, tak ada gunanya mempermasalahkan masa lalu. Yang lebih penting sekarang… bagaimana mereka bisa membangun kembali rumah tangga ini. Dengan niat yang lebih baik.”
Kanya menoleh perlahan. Dadanya sesak oleh haru. Tak pernah ia sangka, kata-kata sehangat itu akan ia dengar dari ayah mertuanya—seseorang yang baru ia kenal, namun kini terasa begitu dekat di hati.
Kyai Zubair mengangguk mantap. “Anda benar. Masa lalu hanya akan jadi beban jika terus diungkit.”
Umi tersenyum di balik cadarnya dan menatap Aisyah.
“Saya hanya berharap keluarga besar Anda bisa menerima Kanya. Dia gadis baik, dan sangat mandiri.”
“Sudah tentu kami menerimanya dengan senang hati,” jawab Aisyah tanpa ragu. “Sejujurnya, kami sempat kurang sreg ketika Kian hendak menikahi Friska. Walau satu keimanan, Friska tidak menutup auratnya. Tapi… kami berusaha menghargai pilihan anak.”
Aisyah menoleh sekilas ke arah Kanya, lalu tersenyum tipis.
“Tak disangka, Allah justru membatalkan pernikahan itu dan mengembalikan menantu yang kami inginkan sejak awal.”
Kanya terperangah. Suara hatinya seperti terhenti sesaat. Tak pernah ia bayangkan akan mendengar pengakuan seperti itu dari ibu mertuanya. Air matanya menggenang.
“Subhanallah… Allah Maha Mendengar,” ucap Umi Farida dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Dan di antara desau angin dan gema ketenangan taman kecil itu, tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Tapi semua tahu, hari itu… hati telah banyak yang dibersihkan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁