Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Sekolah sma bakti
Rama menatap lekat sebuah pil yang tergeletak di telapak tangannya. Warnanya adalah kristal kebiruan yang memancarkan kilau misterius, namun anehnya, ia menguarkan aroma rempah-rempah yang begitu pekat dan menggugah indra.
Pil itu—Pil Ketampanan Tingkat Rendah—adalah hadiah login harian yang baru saja dikeluarkan oleh sistemnya. Tanpa menimbang lebih jauh, Rama segera melemparkan pil mungil itu ke dalam mulutnya.
Sesaat setelah menelannya, rasa gatal menyeruak di wajah Rama, menjalar di bawah permukaan kulitnya. Sensasi itu berlangsung singkat, lalu digantikan oleh rasa nyaman seperti dipijat oleh tangan profesional, membuat sekujur tubuhnya terasa rileks.
“Sudah? Ap-apakah efeknya hanya seperti ini saja, Sistem?” gumam Rama, keheranan. Biasanya, setiap pil yang diberikan sistem selalu disertai rasa sakit luar biasa yang menguji batas toleransinya. Namun kali ini, selain gatal sesaat di wajahnya, ia tidak merasakan perubahan berarti pada bagian tubuh yang lain.
[DING! Sesuai nama dari pil itu tuan. pil ketampanan hanya berfokus pada wajah tuan tetapi tidak berefek pada bagian tubuh tuan yang lain.]
Rama terdiam, perlahan meraba wajahnya. Memang, ia merasakan adanya kehalusan yang baru pada kulitnya. Tetapi karena ia sudah memutuskan untuk pergi ke sekolah hari ini, Rama segera meraih handuknya untuk mandi dan bersiap menyiapkan sarapan pagi seperti biasa.
Sarapan Pagi
Pagi itu, tepat pukul 06.20 pagi, meja makan keluarga Suhardi telah dihiasi sepiring nasi goreng sederhana, tetapi dengan cita rasa yang selalu istimewa.
Bela, dengan seragam SMA-nya yang rapi, sudah duduk manis, menanti di hadapan piring nasi goreng mengepul.
“Silakan dinikmati hidangannya, Tuan Putri,” ucap Rama, seperti biasa, sesekali menyelipkan godaan ringan di pagi hari.
“Wah… sarapannya sudah siap, ya? Aduh, maaf ya, Rama, Ibu bangunnya agak telat pagi ini,” ujar Bu Maya, pandangannya langsung tertuju pada piring nasi goreng di atas meja.
Tak lama, Pak Suhardi menyusul dan segera duduk di kursi depan Bu Maya, menarik napas dalam-dalam. Asap nasi goreng yang masih mengepul itu memiliki aroma yang membuat pagi terasa penuh semangat.
“Nasi goreng buatanmu ini, Rama, benar-benar membuat saya selalu ingin menikmatinya lagi dan lagi,” puji Pak Suhardi tulus.
“Benar, Nak. Rasanya Ibu ingin belajar memasak lagi darimu, Rama,” timpal Bu Maya.
“Syukurlah kalau Bapak dan Ibu menyukainya,” jawab Rama, senang mendengarnya.
Ia pun duduk di sebelah Pak Suhardi. Namun, keningnya sedikit terangkat ketika menyadari Bela di depannya tampak diam membeku, memandangnya tanpa berkedip.
“Ada apa dengan wajah Kakak, Bel? Kenapa kamu memandangi Kakak seperti itu?” tanya Rama.
“Karena Kak Rama terlihat begitu tampan hari ini,” jawab Bela tanpa sadar, suaranya nyaris berbisik.
“Oh, benarkah?” Rama tersenyum kecil, menatap gadis itu.
Tersadar akan ucapannya, Bela langsung menunduk malu. Kedua pipinya memerah drastis. Entah mengapa, ia merasa wajah Rama pagi ini jauh lebih menawan, lebih bersih, dan lebih memikat dari hari-hari sebelumnya.
Bahkan Pak Suhardi dan Bu Maya, yang tadinya hendak menyuap makanan ke mulut mereka, langsung mengalihkan pandangan pada Rama. Mereka baru menyadari bahwa wajah Rama memang tampak berbeda; lebih putih, lebih bersih. Bu Maya bahkan merasa hidung Rama agak sedikit lebih mancung.
'Kenapa aku baru menyadari bahwa anak ini memang cukup tampan,' pikir Bu Maya. Ia segera mengalihkan pandangannya pada Bela, yang wajah putrinya tampak memerah dan tidak berani menatap Rama kembali.
“Haha… sepertinya anak Bapak ini sudah dewasa sekarang,” goda Pak Suhardi, tertawa kecil.
“Ap-apa yang Bapak katakan? Memangnya aku akan kecil terus?” sahut Bela, melirik sekilas ke arah Rama, lalu kembali menunduk, membuat Pak Suhardi tertawa lagi.
Bu Maya tersenyum samar, lalu berkata, “Sudahlah, Pak. Anaknya jangan digoda seperti itu. Lihat, nasi goreng buatan Rama sampai tidak disentuh, hanya karena sibuk memperhatikan wajah pembuatnya.”
“Apa sih, Buuu…” gerutu Bela, dengan kedua pipi yang semakin memerah hingga ke telinga. Ia segera melahap nasi goreng di hadapannya, berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Rama lagi.
“Pelan-pelan makannya, nanti tersedak, lho. Terus nanti Kakak sendiri yang repot menggendong ke rumah sakit,” canda Rama.
Uhukkk!
Bela seketika tersedak mendengar ucapan Rama. Pipinya kembali memerah.
“Tuh kan, baru saja Kakak selesai bicara,” ujar Rama, menahan senyum.
“Ap-apa yang Kakak bicarakan, aku, aku…”
“Sudah, nih, minum…” potong Rama, langsung menyodorkan segelas air putih pada gadis itu.
Bu Maya dan Pak Suhardi ikut senang melihat kedekatan dan interaksi lucu keduanya. Mereka kemudian fokus pada makanan mereka masing-masing. Tak berselang lama, semua piring tampak bersih, tidak meninggalkan sebiji nasi pun di atasnya.
-------
“Oh ya, Kak, hari ini Kak Rama jadi tidak ke sekolah untuk mengurus surat izin kepindahan?” tanya Bela setelah selesai bersiap untuk berangkat.
“Jadi, kok. Tapi Kakak agak siangan dikit. Kamu duluan saja, nanti Kakak menyusul,” jawab Rama.
“Ya sudah, kalau begitu Bela berangkat duluan, ya. Soalnya teman Bela sudah menunggu di depan! Pak, Bu… Bela berangkat dulu.” Bela langsung memeluk ibu dan bapaknya bergantian, lalu segera bergegas keluar rumah.
Setelah kepergian Bela, Bu Maya pun bertanya pada Rama, suaranya berubah serius. “Nak, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu pergi ke kota itu?”
“Sudah, Bu. Saya sudah memikirkannya, dan dua hari lagi akan berangkat jika tidak ada halangan,” jawab Rama mantap.
“Tapi janji, ya, Nak. Jika kamu tidak menemukan kenyamanan di sana… kamu harus kembali ke rumah ini. Karena Bapak sama Ibu, sudah menganggapmu sebagai anak kami sendiri,” ucap Bu Maya, tatapannya penuh kasih sayang.
“Iya, Bu. Saya juga sudah menganggap Bu Maya sama Pak Hardi sebagai orang tua saya. Dan Bela sudah saya anggap sebagai adik sendiri.”
“Ya sudah… kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Bapak sama Ibu cuma bisa berpesan. Jangan sampai nantinya di sana kamu menyinggung seseorang yang seharusnya tidak kamu singgung. Soalnya kata teman-teman Ibu, kehidupan di kota sangat kejam terhadap orang ‘rendah’ seperti kita,” pesan Bu Maya.
“Iya, Bu,” jawab Rama.
Karena waktu sudah cukup siang, Rama pun langsung menyusul Bela, berjalan kaki menuju SMA Bakti. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke sekolah itu jika menggunakan sepeda motor. Namun, Rama hanya berjalan kaki, apalagi Pak Suhardi memang tidak memiliki kendaraan bermotor.
Gerbang SMA Bakti
Sesampainya di depan gerbang SMA Bakti, Rama meminta petugas keamanan sekolah untuk membuka gerbang yang sudah tertutup itu.
“Permisi, Pak Asep,” sapa Rama.
Sapaan itu membuat sosok pria paruh baya yang tengah duduk di warung kopi, tak jauh dari gerbang sekolah, langsung menoleh.
“Iya… ada yang bisa saya bantu, Nak?” tanya Pak Asep. Ia meletakkan gelas kopi yang baru saja ia pegang untuk diminum, menanti Rama dengan raut penasaran.
lanjut thorrrr💪💪💪