Hidup Anaya tidak pernah beruntung, sejak kecil ia selalu di jauhi teman-temannya, dirundung, di abaikan keluarganya. kekacauan hidup itu malah disempurnakan saat dia di jual kepada seorang CEO dingin dan dinyatakan hamil setelah melakukan malam panas bersama sang CEO.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pingsan
Meski begitu, tubuh Farah bergetar, bukan lagi karena takut. Tetapi karena melihat Jackson seperti itu membuat hati mungilnya mulai merasa iba.
Dengan langkah pelan, Farah mendekati pintu, memegang gagangnya, namun tidak membukanya.
Hujan di luar seperti ribuan suara yang memanggil namanya.
Dari balik celah jendela, ia melihat Jackson menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar kayu seolah kakinya sudah tidak mampu menopang tubuhnya.
Air hujan turun semakin deras mengguyur desa itu. Anaya menarik sedikit hujung bajunya. "Mama, om itu Kacian." Seru Anaya tak tega.
Farah menoleh, menatap kedua anaknya. "Kalian tunggu disini dulu, ya. Mama mau keluar sebentar."
Keduanya patuh, Farah pergi dari kamar sementara angkasa menatap Jackson dari balik kaca jendela.
"Dia om, yang gangguin mama. Ngapain dia ada dicini? apa dia mau ganggu Mama lagi?" gumamnya dalam hati. Tatapannya tak lepas dari Jackson.
Setiap detik keberadaan Jackson disana membuat hati Farah terasa kacau.
Farah membuka pintu sedikit —hanya sedikit. Udara dingin dan suara hujan langsung menerjang masuk.
Di luar, Farah melihat Jackson mengangkat wajahnya perlahan, seolah merasakan kehadirannya meski pintu hampir tertutup rapat.
Bibirnya membiru, wajahnya pucat seperti kehilangan energi, terbungkus hujan yang membuatnya tampak rapuh—entah mengapa untuk pertama kalinya hatinya terasa sakit melihat keadaan Jackson.
Mata mereka bertemu dalam keheningan, namun tak satu pun kata mengalir dari bibir mereka. Hanya suara hujan yang memenuhi ruang, mengisi jarak yang tidak bisa di jembatan.
Jackson menelan ludah, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan saat dia berbisik, "Farah... aku cuma ingin kamu tahu, aku tidak akan pergi." Getaran di suaranya membuat hati Farah sesak, tapi ia tak sepenuhnya mendengar kata-katanya.
Farah memegangi dadanya, "Mengapa aku merasa sakit melihat dia begini?" gumamnya.
Farah menggeleng, berusaha menepis perasaan aneh itu. Namun, matanya berkaca-kaca, "Jackson... pulanglah. Apa kau sudah gila? Kau bisa kehilangan nyawamu kalau terus berdiri di sana," Gumamnya lirih, berharap dia sadar akan kelakuannya itu.
Jackson mengirup nafas, matanya memerah. Ia menatap dalam ke arah pintu.
Seolah Jackson mendengar gumaman nya, ia berkata pelan. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu mau memaafkan aku. Farah... Aku Tahu kata maaf tidaklah pantas untukku, tapi...aku merayu padamu, beri aku satu kesempatan untuk menebus semua kesalahanku."
Hujan semakin menerpa, angin berhembus kencang, memukul tanah tanpa ampun.
Perlahan sangat perlahan, Jackson berlutut di tanah, dibawah badai. Tubuhnya gemetar karena dingin.
Farah menutup cepat pintunya, menahan Isak yang akhirnya lolos dari bibirnya.
~
Hujan belum juga berhenti, sudah hampir satu jam berdiri di depan pagar rumah Farah. Tubuhnya makin berat, nafasnya makin pendek, namun matanya masih tertuju pada pintu kayu itu—pintu yang masih tertutup untuknya.
Sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Pintu mobil terbuka, seorang wanita keluar menggunakan payung.
Cindy....
Kakak sepupu Jackson. Orang yang paling Tahu keras kepalanya pria itu... Dan orang yang paling sering menghadapi nya ketika pria itu terjerumus dalam keputusan yang gila seperti ini.
Cindy berjalan cepat menuju ke arahnya. Melangkah cepat, payung besarnya menghalangi derasnya hujan agar mereka tak basah.
"Jackson... kamu gila?" suaranya sedikit bergetar saat menarik lengannya. "Kamu sudah basah kuyup. Sudah, ayo pulang."
Namun Jackson melepaskan genggamannya. "Aku tidak mau pulang," jawabnya, suaranya serak dan tenggelam dalam derasnya hujan.
Cindy menghela napas panjang. "Jack, kamu ini dewasa atau anak-anak? Kamu bisa mati kedinginan di sini."
Jackson menoleh, mata merah tertutup air hujan. "Aku bilang, aku tidak akan pergi sebelum Farah mau bicara padaku!"
Matanya penuh ketidakpercayaan, "Kamu sudah berjam-jam di sini, di bawah hujan deras ini. Farah jelas-jelas tidak mau keluar. Kamu mau apa? Pingsan di sini?"
Diamnya adalah jawaban paling nyata. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Kalau bukan di sini, di bawah hujan lebat, bagaimana lagi aku harus menunjukkan bahwa aku tidak akan menyerah begitu saja? Bahwa aku benar-benar menyesal.
Cindy memijat pelipisnya yang berdenyut, "Oke...oke, terserah kamu. Aku ngak bisa tarik kau secara paksa." Cindy Tahu bagaimana watak adiknya itu. Tidak mudah membawanya pergi sebelum ia mendapatkan apa yang dia mau.
Sebelum masuk ke mobil, Cindy bergumam pelan. "Dasar keras kepala." gumamnya.
Ia tidak meninggalkan Jackson disana, ia menunggunya di dalam mobil. Ia duduk di kursi depan, sesekali melirik ke arah Jackson.
"Farah...aku mohon, keluarlah. Aku tidak tahu seberapa menyakitkan nya dirimu. Tapi aku berharap, kalian bisa bersama—bahagia selamanya." gumam Cindy merasa kasihan melihat Jackson seperti ini.
Namun, ia juga tidak menyalahkan Farah, walaupun ia tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka. Tapi dia tahu, sakit hatinya begitu dalam hingga tak mampu membuka pintu maaf.
Sementara itu Farah mengintip dari balik tirai. Ia melihat sebuah mobil datang, seorang wanita keluar dari mobil untuk membawa pergi Jackson. Namun, pria itu sepertinya menolak. Ia tetap berdiri di tempat yang sama.
Hatinya mencelos.
"Kenapa dia keras kepala sekali? Apa yang dia inginkan sebenarnya? Apa semuanya belum jelas? Aku ngak mau bertemu dengannya."
Farah mondar-mandir, mengigit kukunya. Perasaannya di lema.
Hujan semakin deras, angin membuat tubuh Jackson bergoyang sedikit. Farah menelan ludah, dadanya sesak.
Ponselnya berdering, disana Dimas terus menghubunginya sejak tadi. Namum tidak dijawab.
Didalam kamar, kedua anak kembar itu melihat Jackson dari kaca jendela.
"Bang... Kenapa Om itu Ndak pelgi-pelgi Dali cana? Hujan cemakin delas." Anaya tak tega melihat Jackson menggigil disana. "Om, itu bicara cakit kalau telus belada dicana."
Angkasa menatap Jackson lama, dengan tatapan datar. "Dia yang pilih cendili."
Anaya menghela nafas pelan, hati mungilnya benar-benar tak tega. Ingin sekali ia berlari kesana, memberikan payung untuknya.
Tak lama kemudian, tubuh Jackson bergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pagar mulai lunglai kepalanya menunduk semakin dalam.
Dari dalam mobil, Cindy merasa ada yang tidak beres. Ia menegakkan tubuhnya menatap Jackson lama.
"Jack." Teriak Cindy dari balik kaca mobil saat tubuh Jackson mulai terhuyung.
Namun, jackson berusaha untuk berdiri tegak. Tapi sayangnya, kakinya sudah tak mampu menopang tubuhnya. Lututnya kehilangan kekuatan. Udara dingin yang terus menerus menusuk tubuhnya mulai mengambil alih kesadarannya.
Cindy langsung membuka pintu mobil, "JACK!" pekiknya, berlari ke arahnya.
Farah yang melihat itu dari dalam pun terlonjak. Nafasnya naik turun, Panik merayap cepat ke dada.
Jackson memegang pagar untuk terakhir kalinya, matanya yang tajam kini terlihat kosong dan buram.
"Fa..." Suaranya nyaris tak terdengar.
Dan detik kemudian, tubuh Jackson jatuh tersungkur ke tanah. Menghantam genangan air.
Cindy berteriak. "JACKSON!"
Farah membeku.
Cindy langsung membawa kepala Jackson ke pangkuannya. tubuhnya dingin, wajahnya pucat, bibirnya biru.
"JACK, JACK... bangun, hey!" Cindy menampar pipinya. "
"CEPAT...BAWA KERUMAH SAKIT!" ucap Cindy kepada beberapa orangnya.
Farah mematung di tempatnya. Tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya tak lepas dari pria yang menorehkan luka di hatinya—pria yang tergeletak tak sadarkan diri untuk menunggunya di tengah badai.
Tubuhnya luruh ke lantai, "D—dia....apa dia baik-baik saja?" gumamnya merasa bersalah. Perasaan itu datang dengan sendirinya.
singgah balik di halamanku 😍 baca novel pertamaku yg berjudul "AKU DAN ADIK TIRIKU"😍
terima kasih sebelumnya