NovelToon NovelToon
Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Kriminal dan Bidadari / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ricca Rosmalinda26

Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.

Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.

Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senyum di Balik Jas Hitam.

Pagi di Maheswara Grup terasa lebih sibuk dari biasanya. Lorong-lorong kantor dipenuhi suara langkah karyawan yang terburu-buru, printer yang menderu, dan dentingan lift yang naik turun setiap menit.

Namun, di tengah rutinitas yang padat itu, ada sesuatu yang berbeda hari ini.

“Selamat pagi, Pak Arga,” sapa seorang resepsionis dengan nada sopan ketika pria itu baru melangkah masuk ke lobi utama.

Biasanya, Arga Maheswara hanya menanggapinya dengan anggukan kecil tanpa ekspresi, wajahnya dingin dan profesional seperti selalu. Namun pagi ini, senyumnya muncul, lembut tapi nyata.

“Selamat pagi,” jawabnya pendek, tapi cukup untuk membuat si resepsionis membeku sejenak.

Ia sempat saling pandang dengan satpam yang berdiri di dekat pintu, sama-sama terkejut. Bukan karena Arga marah, tidak, pria itu tidak pernah marah tanpa alasan, tapi karena pagi ini Arga menyapa balik.

Senyum. Balasan hangat. Dua hal yang rasanya langka datang dari sosok Arga Maheswara.

Dan di sana, seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan langsung menaikkan alis dengan curiga.

Bima.

Dengan secangkir kopi di tangan dan kemeja yang digulung setengah lengan, ia berdiri di dekat area pantry, memperhatikan sahabatnya berjalan menuju lift dengan langkah tenang dan aura yang… lebih manusiawi dari biasanya.

“Lho, itu bukan Arga Maheswara yang gue kenal, kan?” gumamnya pelan, pura-pura terkejut sendiri.

 

Lift berbunyi ting! lembut ketika pintunya terbuka. Arga masuk, disusul Bima yang buru-buru menekan tombol lantai 28.

“Wah, pagi-pagi sudah jadi selebriti kantor, ya?” Bima menatap Arga sambil menyeruput kopinya. “Baru aja gue lihat, semua orang yang lo lewatin kayak kena mantra. Ada apa nih? Sarapan cinta?”

Arga hanya melirik sekilas. “Bima, pagi-pagi jangan mulai.”

“Lah, gue kan cuma nanya.” Bima menyengir. “Biasanya lo dateng dingin kayak kutub utara, sekarang senyum-senyum. Gue aja jadi curiga. Apa jangan-jangan Alya akhirnya berhasil nyairin es batu dalam hati lo?”

Arga menahan tawa kecil, tapi sudut bibirnya terangkat juga. “Nggak ada yang perlu dicurigain. Gue cuma… ngerasa hari ini harus mulai dengan baik aja.”

“Oh gitu,” Bima pura-pura manggut serius. “Mulai dengan baik, ya. Bukan mulai dengan ‘bini’ maksudnya?”

“Bima.”

“Baik, baik, nggak usah ditatap gitu. Gue takut kebekuan hati lo balik lagi.”

Lift kembali berbunyi ting!, tanda mereka sudah sampai di lantai atas. Arga keluar lebih dulu, sementara Bima masih tertawa kecil di belakangnya.

“Pak Arga!” Clara, sekretaris Arga, langsung berdiri dari meja kerjanya ketika melihat atasannya datang. Wajahnya seperti biasa rapi, rambut dikuncir rendah, dan bibirnya dihiasi lipstik merah marun.

“Selamat pagi, Pak,” sapanya sopan.

Biasanya, Arga hanya mengangguk dan langsung masuk ke ruangan tanpa sepatah kata pun. Tapi hari ini, ia sempat berhenti sejenak dan menatap Clara.

“Pagi, Clara. Ada jadwal meeting jam berapa?”

Clara berkedip, nyaris menjatuhkan bolpoin di tangannya. “A—ada di jam sepuluh, Pak. Dengan tim Dinda dari Aksara Holding.”

“Baik.” Arga tersenyum kecil. “Terima kasih.”

Clara menatap kepergian Arga dengan ekspresi bingung total. Begitu pintu ruangannya tertutup, ia bergumam pelan dengan dahi berkerut, “Pak Arga habis kesambet apa, ya?”

Bima yang mendengar itu dari belakanh Arga langsung menahan tawa. “Hahaha… Clara, jangan bilang-bilang, tapi kemungkinan besar kesambet cinta.”

Clara melotot pelan. “Hah? Maksudnya, Pak Arga lagi jatuh cinta? Sama siapa?”

Bima meneguk kopinya santai. “Ya sama istrinya lah. Jangan bilang lo nggak tahu kalau bos lo udah senyum gara-gara seorang nona Maheswara.”

Clara mengedip pelan, lalu menghela napas. “Wah, pantes auranya beda pagi ini.”

 

Di dalam ruangannya, Arga menaruh tas di sofa dan duduk di kursi kerjanya. Ia membuka laptop, menyalakan layar, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana. Ada senyum kecil yang belum juga hilang dari wajahnya sejak pagi tadi.

Ia meraih ponsel di atas meja dan segera mengetik pesan.

Arga: Sudah sampai kantor. Kamu hati-hati di jalan, ya.

Pesan terkirim. Hanya butuh beberapa detik sebelum notifikasi balasan muncul.

Alya: Alhamdulillah. Aku juga udah siap mau ke panti sosial, Mas. Doain semoga anak-anak di sana semangat hari ini ya 😊.

Arga menatap layar itu beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Senyum lembut terbit tanpa sadar.

Arga: Pasti. Hati-hati, ya. Nanti kabarin kalau udah sampai.

Ia meletakkan ponselnya kembali, tapi hatinya masih terasa hangat. Mungkin benar kata Bima, Alya berhasil “menyentuh” sisi dirinya yang bahkan ia sendiri pikir sudah mati sejak lama.

 

Sementara itu, di sisi lain Jakarta,di apartemen mewah dengan balkon menghadap pusat kota, seorang wanita tengah berdiri di depan cermin rias besar.

Dialah Dinda, mantan kekasih Arga yang kini menjabat sebagai arsitek proyek di perusahaan Maison Ardent yang ada di luar negeri.

Ia menatap bayangannya sendiri dengan senyum kecil. Pagi itu, ia tampak sempurna: rambut cokelat lembut yang bergelombang halus di ujungnya, kulit cerah yang berkilau karena foundation mahal, serta bibir yang dilapisi lipstik nude beraroma vanilla.

Di meja rias, barisan parfum dan perhiasan berjejer rapi. Dinda mengambil satu botol kecil berlabel Chanel No.5, menyemprotkannya perlahan di pergelangan tangan dan lehernya. Aroma elegan itu segera memenuhi ruangan.

Ia lalu mengenakan blazer putih dengan potongan ramping di pinggang, celana bahan high-waist berwarna krem, dan sepatu hak tinggi berwarna gading. Penampilannya memancarkan aura profesional sekaligus menggoda.

Kalung berliontin emas melingkar di lehernya, anting kecil berkilau di telinga, dan cincin berlian di jarinya, semuanya tampak sempurna. Ia tahu, pagi ini adalah pertemuan penting dengan Maheswara Grup.

Namun, bukan hanya proyek yang ada di pikirannya.

Sambil menatap bayangan sendiri di cermin, Dinda tersenyum samar. “Arga Maheswara…” gumamnya pelan. “Lama juga ya, kita nggak satu ruangan.”

Matanya berkilat penuh rencana. Bukan rahasia lagi bahwa Dinda masih menyimpan perasaan atau mungkin obsesi pada Arga. Meski pria itu sudah menikah, Dinda tidak pernah benar-benar bisa menerima kenyataan itu.

Ia melangkah keluar dari kamar, membawa tas Hermes di tangan, lalu berjalan menuju lift pribadi apartemennya. Saat lift turun, Dinda mengambil ponsel dari dalam tas dan memeriksa pesan-pesan masuk. Tak ada dari Arga, tentu saja. Tapi entah kenapa, hal itu justru membuatnya semakin ingin bertemu.

“Baiklah,” gumamnya pelan sambil tersenyum dingin. “Kita lihat, Arga. Apa kamu masih bisa bersikap setenang itu setelah lihat aku lagi.”

Begitu pintu lift terbuka, sopir pribadinya sudah menunggu di lobi. Dinda masuk ke dalam mobil mewah hitam yang mengilap.

“Ke Maheswara Grup,” katanya singkat.

Mobil melaju pelan di antara padatnya lalu lintas Jakarta, membawa Dinda menuju gedung tinggi yang akan mempertemukannya kembali dengan masa lalu yang belum sepenuhnya tertutup.

 

Sementara itu, di kantor Maheswara Grup, Bima mengetuk pintu ruangan Arga dengan gaya khasnya. “Bos besar, siap-siap. Dua jam lagi Dinda datang.”

Arga yang sedang membaca berkas menatap sahabatnya. “Gue tahu. Semua dokumen udah siap?”

“Siap, lengkap.” Bima menyandarkan diri di dinding. “Tapi gue harus akui, lo hari ini beda banget, Ga. Bahkan senyum lo tadi ke Clara aja bisa bikin satu lantai heboh.”

Arga hanya menggeleng pelan. “Bima, jangan mulai.”

“Tapi serius,” lanjut Bima, terkekeh. “Gue nggak tahu kamu dapet pencerahan dari mana, tapi kayaknya Alya memang bener-bener bisa bikin lo hidup lagi.”

Arga tersenyum samar, menatap keluar jendela ke arah langit biru Jakarta. “Mungkin iya, Bim. Mungkin dia memang jawabannya.”

Dan entah mengapa, kata-kata itu terasa seperti janji, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk perempuan lembut yang sering menunggu di rumah dengan doa-doa yang ia ucapkan pelan di setiap langkah suaminya.

1
Ma Em
Semoga Alya selalu bahagia bersama Arga walau akan ada ulat bulu yg akan nempel pada Arga semoga tdk akan mengganggu hubungan Arga dgn Alya serta langgeng pernikahan nya .
Rosvita Sari Sari
alya mah ngomong ceramah ngomong ceramah, malah bikin emosi
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Ma Em
Dengan kesabaran Alya dan keteguhan hatinya akhirnya Arga sadar dgn segala tingkah perlakuannya yg selalu kasar pada Alya seorang istri yg sangat baik berhati malaikat
Ma Em
Semoga Alya bisa meluluhkan hati Arga yg keras menjadi lembut dan rumah tangganya sakinah mawadah warohmah serta dipenuhi dgn kebahagiaan 🤲🤲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!