Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Tua yang Tak Pernah Pergi
Kami semua terdiam, tidak bisa bergerak, hanya memandang arwah-arwah yang mengelilingi kami dengan senyuman yang semakin lebar dan mengerikan. Setiap detik terasa semakin berat, dan rasa ketakutan itu semakin mendalam. Di tengah hening yang menakutkan itu, kabut semakin tebal, dan suara tawa yang tadi terdengar mulai mereda. Kami merasa, pasar itu, dengan segala kegelapannya, mulai menelan kami lagi.
Lalu, tanpa diduga, sebuah suara serak yang sangat familiar memecah keheningan itu. Kami semua menoleh bersamaan. Di antara kabut yang menggelap, sosok itu muncul lagi. Sosok pria tua dengan pakaian hitam lusuh, wajahnya yang pucat, dan mata kosong yang selalu menatap kami dengan senyum yang mengerikan. Kali ini, dia tampak lebih kuat, lebih menakutkan, dan seolah mengendalikan seluruh keadaan di sekitar kami.
Kami semua mundur sedikit, terkejut dengan kemunculannya yang begitu tiba-tiba. Pria tua itu hanya berdiri di sana, tidak bergerak, tetapi kehadirannya terasa seperti sebuah ancaman yang tidak bisa kami hindari. Senyum di wajahnya semakin lebar, semakin tidak manusiawi. Setiap detik yang berlalu, kami bisa merasakan ketegangan itu semakin besar. Rasanya kami terperangkap, tidak ada jalan keluar. Kami hanya bisa menatapnya dengan penuh rasa takut.
"Apa yang lo mau?" tanya Rudi dengan suara serak, mencoba menunjukkan keberanian meskipun tubuhnya gemetar. "Kenapa lo selalu ada di sini? Kita nggak mau kembali ke pasar itu."
Pria tua itu tertawa pelan, suara tawa yang serak dan menusuk telinga. “Kalian belum mengerti,” katanya dengan suara berat, serak, seperti berusaha mengeluarkan kata-kata dari tenggorokannya yang kering. “Kalian sudah memilih untuk datang ke sini, dan kalian sudah terikat. Pasar ini tidak akan melepaskan kalian. Dan kalian tidak akan bisa keluar tanpa membayar harga yang sangat mahal.”
Kami semua terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Apa yang dia katakan benar. Kami sudah berusaha untuk melarikan diri, berusaha untuk hidup normal, tetapi kenyataannya, pasar setan ini tidak pernah benar-benar meninggalkan kami. Kami kembali ke sini, ke tempat yang penuh dengan ketakutan dan kenangan buruk. Kami sudah terperangkap di dalamnya, dan kini, kami harus membayar harga itu.
Pria tua itu melangkah maju, setiap langkahnya terasa berat, dan ketegangan semakin terasa di udara. Kami semua mundur sedikit, tetapi tak bisa benar-benar melarikan diri. Dia datang lebih dekat, dan tiba-tiba, tanpa peringatan, dia berbicara lagi dengan suara seraknya.
"Kalian punya pilihan," katanya pelan, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti diselimuti oleh kegelapan. “Kalian bisa keluar dari sini, tetapi hanya jika kalian meninggalkan satu orang di sini selamanya.”
Aku merasa tubuhku kaku. Pilihan yang dia tawarkan sangat mengerikan. Satu orang harus tinggal di sini, terperangkap dalam pasar setan selamanya. Kami semua saling pandang, mata kami dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Tidak ada satu pun dari kami yang bisa membayangkan harus memilih siapa yang harus tinggal, siapa yang harus mengorbankan dirinya untuk memberi kesempatan yang lain untuk keluar.
“Lo nggak bisa serius, kan?” tanya Danang, matanya terbeliak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan pria tua itu. “Lo nggak bisa paksa kita untuk melakukan ini. Kita nggak akan memilih satu orang untuk tinggal di sini!”
Pria tua itu tersenyum lebar, senyum yang semakin mengerikan. “Ini bukan pilihan yang mudah, anak muda. Kalian sudah terperangkap dalam dimensi ini. Kalian bisa pergi, tetapi dengan harga yang harus dibayar. Salah satu dari kalian harus tinggal, selamanya.”
Tawa itu terdengar kembali, lebih keras dari sebelumnya, menggema di seluruh tempat itu. Kami merasa seperti berada di bawah kendali pria tua itu, di bawah kendali pasar yang tak pernah meninggalkan kami. Suasana semakin menegangkan, dan kami tahu bahwa kami terjebak dalam pilihan yang tak bisa kami hindari.
“Kita nggak bisa melakukan itu,” kata Rudi, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Kita nggak bisa memilih siapa yang akan pergi. Kita nggak akan meninggalkan salah satu dari kita di sini!”
“Gue nggak tahu kalau kita masih bisa keluar,” kata Indra dengan suara lemah. “Tapi satu hal yang gue tahu, gue nggak bisa milih siapa yang harus tinggal. Kita harus coba cari cara lain. Kita harus keluar.”
Kami semua terdiam, mencerna kata-kata Indra. Tetapi kenyataannya, tidak ada jalan keluar selain memilih—memilih siapa yang harus tinggal di pasar setan ini, selamanya. Kami sudah terjebak dalam permainan ini, dan sekarang kami harus memilih.
“Apa yang akan terjadi jika kita nggak pilih?” tanya Danang, mencoba mencari jalan lain. “Apa yang lo lakukan kalau kita nggak pilih?”
Pria tua itu menatap kami dengan mata kosongnya, dan kemudian menjawab dengan suara yang lebih serius. “Jika kalian menolak untuk memilih, kalian semua akan tetap terjebak di sini. Pasar setan ini akan mengikat kalian selamanya, dan kalian akan terus mengulang siklus yang tak berujung. Tidak ada yang bisa keluar jika tidak ada yang rela mengorbankan diri.”
Kami semua terdiam, mencerna kata-kata itu. Apa yang pria tua itu katakan tidak bisa dianggap remeh. Kami terjebak dalam dimensi ini, dan kami tahu satu hal—kami harus memilih jika kami ingin keluar. Namun, pilihan itu terasa begitu berat, begitu tak manusiawi. Mengorbankan satu orang demi kebebasan yang lain.
“Apa lo siap kalau itu lo yang harus pergi?” tanya aku dengan suara pelan, mataku tertuju pada teman-temanku. “Siapa yang rela tinggal di sini selamanya?”
Tidak ada yang menjawab. Kami semua merasa hampa, terperangkap dalam dilema yang tak bisa kami pecahkan. Tidak ada yang siap untuk mengorbankan diri. Kami sudah melalui begitu banyak ketakutan, begitu banyak ujian, dan kini kami harus menghadapi pilihan yang bahkan lebih mengerikan.
“Gue nggak bisa...” kata Rudi, suaranya hampir hilang. “Gue nggak bisa ninggalin lo semua di sini. Kita harus keluar bersama. Tapi gue nggak tahu gimana caranya.”
Indra menghela napas panjang. “Kita nggak punya pilihan, kan? Kita harus pilih. Kita harus rela untuk selamatkan yang lain, walaupun itu nggak mudah.”
Semua mata tertuju padanya. Kami tahu apa yang dia maksud. Tidak ada cara untuk keluar tanpa ada yang dikorbankan. Pasar setan ini, dengan segala ketakutannya, menginginkan korban, dan kami harus memilih siapa yang harus tinggal di sini, di tempat yang gelap ini, tempat yang kami takuti.
Kami saling menatap, tahu bahwa tak ada satu pun dari kami yang ingin memilih. Namun, pilihan itu harus dibuat. Tidak ada jalan keluar tanpa ada yang terkorbankan. Pasar itu sudah menunggu.
“Kita harus berani memilih,” kata Danang, dengan suara yang mantap meskipun wajahnya tampak ragu. “Siapa yang siap untuk mengorbankan dirinya?”
Kami semua terdiam, tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Rasa takut itu semakin mendalam. Kami hanya bisa menunggu, menunggu keputusan yang akan mengubah nasib kami selamanya. Pasar itu menunggu, dan kami tahu, kami harus membuat pilihan yang mengerikan.