Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menemukan sesuatu..
Gita melipat kertas kusut itu dengan cepat, memasukkannya ke dalam saku celana panjangnya, diikuti oleh flash drive kecil itu.
Jantungnya berdebar-debar, bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena adrenalin.
Derby mendengarnya. Tentu saja. Rumah besar itu penuh dengan keheningan yang menakutkan, dan kursi roda Derby tidak menjamin ia tidak bisa mengawasi.
Dia mematikan lampu meja, mengembalikan kunci ke tempat asalnya—dia akan mengembalikannya ke nakas Darren nanti—dan bergegas menuju perpustakaan.
Saat Gita memasuki perpustakaan, Derby sudah menunggunya. Ia tidak lagi di dekat meja, melainkan di dekat jendela, bayangan kursi rodanya yang besar memotong cahaya bulan.
Ia tampak tidak sabar.
"Kamu lambat," kata Derby tanpa basa-basi, suaranya pelan tapi tegas. "Apa yang kamu temukan?"
Gita mengeluarkan barang temuannya. Dia menyerahkan flash drive itu pada Derby, tetapi menahan catatan itu sejenak. Dia merasa perlu menjaga setidaknya satu kartu di tangannya.
"Ini," kata Gita, suaranya sedikit terengah. "Aku menemukannya di kotak kecil di ruang kerja lama. Dia menyembunyikannya."
Derby mengambil flash drive itu dan memutarnya di antara jari-jarinya, ekspresinya tidak terbaca.
"Hanya ini? Dia lari ke Kalimantan selama dua minggu hanya untuk menyembunyikan benda plastik ini?"
"Ada yang lain," kata Gita, ragu-ragu. "Sebuah catatan. Tulisan tangan Darren."
"Berikan padaku," perintah Derby, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk negosiasi.
Gita menghela napas, menyadari bahwa mencoba bermain kartu dengan Derby adalah kesalahan. Dia mengeluarkan catatan yang sudah terlipat itu dan menyerahkannya.
Derby membuka lipatan kertas itu, tatapannya menyapu baris-baris tulisan tangan Darren. Keheningan yang tiba-tiba di ruangan itu terasa seperti ancaman fisik.
"Jembatan," bisik Derby, matanya kembali menatap Gita. "Pukul 23:00. Itu... 1 jam 45 menit dari sekarang."
"Jembatan mana?" tanya Gita.
Derby mengabaikan pertanyaan itu, menatap kertas itu lagi, wajahnya mengeras. "Dia panik. Dia ingin bertemu seseorang secara rahasia. Dan yang terpenting: Mereka tahu."
"Siapa 'mereka'?"
"Orang-orang yang menghancurkan 'Proyek Bali' dan membuat adikku pulang dalam keadaan setengah gila." Derby menjentikkan kertas itu. "Ini bukan pertemuan bisnis, Gita. Ini adalah jebakan. Atau, paling tidak, pertemuan yang sangat berbahaya."
"Dia bilang jangan bawa Kakak," kata Gita, mengulangi kata-kata Darren.
Derby menyeringai sinis. "Tentu saja. Karena aku adalah masalah baginya, dan bagi 'mereka.' Aku adalah satu-satunya yang bisa memperbaiki kehancuran ini."
Ia mendorong kursi rodanya ke belakang. "Darren baru saja memberi kita keunggulan. Dia akan memimpin kita langsung ke sumber masalah. Kita harus bergerak. Sekarang."
"Kakak tidak bisa pergi," kata Gita cepat. "Dia bilang jangan bawa Kakak. Dan kondisi Kakak..."
"Kondisiku lemah? Itu yang dia suruh kamu percaya?" Derby tertawa, tawa yang tajam. "Aku lumpuh, Gita, bukan bodoh. Aku tidak bisa jalan. Tapi aku bisa berpikir. Dan aku punya cara untuk berada di sana tanpa 'mereka' atau Darren tahu."
Dia menatap tajam ke Gita. "Kamu adalah 'perawat'ku. Kamu adalah 'istri'nya. Kamu adalah satu-satunya yang bisa mendekati lokasi itu tanpa menimbulkan kecurigaan."
"Kakak mau aku pergi ke jembatan itu?" tanya Gita, suaranya kembali bergetar.
"Tidak," balas Derby. "Kita berdua akan pergi. Tapi kamu yang akan berhadapan dengan dia. Kamu akan memakai headset dan mendengarkan setiap instruksiku. Aku akan mengemudikan mobil, dan aku akan berada di mobil itu. Tersembunyi. Sebagai supirmu."
Gita menelan ludah. "Supir? Tapi Kakak..."
"Aku akan memberimu detailnya," potong Derby.
"Ambil tas kerjamu. Ambil tablet yang tadi. Dan flash drive ini. Kita harus tahu apa isinya sebelum kita pergi. Pindahkan semua data ke tablet. Cepat."
"Aku akan melakukannya sekarang." Gita meraih tablet yang masih di meja.
Derby menunjuk ke sudut perpustakaan yang gelap, tempat ia menyembunyikan dua ransel hitam kecil.
"Ambil ransel itu," perintahnya. "Itu bukan ransel. Itu adalah perlengkapan. Kita akan pergi ke jembatan itu, Gita. Dan kita akan mengakhiri permainan Darren ini, malam ini juga."
Gita bergegas ke meja, tangannya dengan cekatan memasukkan flash drive itu ke tablet Derby. Layar tablet menyala, memperlihatkan folder-folder yang diberi nama kode yang tidak masuk akal.
Sementara Gita bekerja, Derby telah mendorong kursi rodanya ke sudut gelap dan kembali dengan dua ransel kecil berwarna hitam.
"Ini," kata Derby, melempar salah satu ransel ke pangkuan Gita. "Pakai ransel ini. Di dalamnya ada headset nirkabel. Kamu akan memakainya. Aku akan mendengarkan dan bicara. Jangan bicara keras-keras, cukup berbisik. Dan jangan pernah menyentuh ranselku."
"Mengerti," jawab Gita. Matanya terpaku pada layar tablet. Dia membuka file pertama: sebuah dokumen berjudul "Rekapitulasi Investasi Non-Reguler."
File-file itu mengalir, bukan hanya dokumen keuangan. Ada berkas-berkas kontrak dengan nama-nama perusahaan cangkang yang asing, skema investasi yang sangat kompleks, dan yang paling mengkhawatirkan, log komunikasi terenkripsi yang berisi ancaman dan permintaan pembayaran.
"Proyek Bali" bukan sekadar proyek pembangunan; itu adalah operasi pencucian uang yang melibatkan pihak-pihak yang sangat berbahaya—jauh di luar lingkaran bisnis normal.
"Kak, ini gila," bisik Gita, suaranya tercekat. "Ada transfer ke rekening luar negeri yang tidak masuk akal... dan ada pesan ini, 'Waktu habis, bayar kerugiannya, atau dia yang akan bayar.' Ini ditujukan ke Darren."
"Aku tahu," desis Derby. Dia menyerahkan topi baseball hitam pada Gita. "Tutup rambutmu. Dan pakai jaket gelap yang ada di ransel itu. Kamu harus terlihat seperti asisten yang sedang menjalankan tugas larut malam, bukan seorang istri yang sedang mencari suaminya.
Sekarang, tutup tabletnya. Kita baca detailnya nanti. Kita harus pergi."
Gita mengenakan jaketnya dan topi itu. Dia memasukkan tablet dan ponsel rahasia itu ke dalam ranselnya. Peran perawatnya telah berakhir di perpustakaan.
"Aku akan membawa mobil van yang dimodifikasi," kata Derby, matanya dingin dan fokus.
"Aku akan berada di kursi pengemudi. Jangan kaget. Kendaraan itu disesuaikan untukku."
Gita hanya mengangguk, terlalu tegang untuk bertanya lebih lanjut tentang kendaraan modifikasi itu.
Mereka meninggalkan perpustakaan. Gita mendorong kursi roda Derby melewati lorong yang remang-remang untuk terakhir kalinya dalam sandiwara mereka di dalam rumah.
Di garasi, Derby menuju ke sebuah mobil van hitam yang tidak mencolok. Pintu samping terbuka secara otomatis, dan sebuah ramp kecil keluar dari lantai mobil. Gita membantu Derby memposisikan kursi rodanya ke tempat pengemudi. Mekanisme penguncian mengamankan kursi roda, dan di depan kemudi terdapat tuas dan kontrol tangan yang kompleks, jelas disesuaikan untuk penyandang disabilitas.
"Masuk ke kursi penumpang," perintah Derby.
"Pasang headset-mu. Dari sini, kamu hanya mendengarkan aku. Kamu bukan Gita, istri Darren. Kamu adalah Asisten Derby, dan kamu akan melakukan persis seperti yang aku perintahkan."
Gita duduk, jantungnya berpacu seolah baru saja menyelesaikan maraton. Dia memasang headset nirkabel kecil di telinganya. Headset itu terasa dingin dan profesional.
Mesin van itu menyala dengan suara rendah. Derby memegang tuas kontrol dengan keyakinan yang menakutkan, mengemudikan van itu keluar dari rumah yang tenang itu menuju malam yang penuh bahaya.
"Jembatan Manggarai," bisik Derby, suaranya terdengar jernih melalui headset, seolah dia berada tepat di samping telinganya. "Itu adalah lokasi di mana Darren suka bertemu dengan kontak mencurigakan saat dia muda. Jika dia panik, dia akan kembali ke tempat yang ia rasa 'aman.' Bersiaplah, Gita. Permainan sudah dimulai."