Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Terjebak dalam Permainan Orang Lain
Damian memarkirkan mobilnya terburu-buru di depan rumah. Ia bahkan tidak sempat menutup pintu mobil dengan benar ketika langkah panjangnya langsung menembus pintu utama. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh oleh kekhawatiran. Ia menaiki tangga menuju lantai atas, tempat kamar anaknya berada.
Tadi, ketika sedang menikmati makanannya di pesta, ponselnya berdering. Suara Jane di seberang terdengar panik, mengatakan bahwa Sean muntah-muntah setelah makan. Tangisan wanita itu di balik telepon membuat pikirannya porak-poranda. Sekalipun hubungan ayah dan anak itu tidak selalu baik, Damian tetaplah seorang ayah. Kekhawatiran melampaui segala perbedaan yang pernah mereka punya.
“Sean!” panggil Damian, membuka pintu kamar tanpa pikir panjang. Pandangannya langsung membulat melihat Sean duduk di tepi ranjang, pucat dan lemah, sementara Jane menahan ember kecil di hadapan pria itu.
Damian segera menghampiri, duduk di sisi ranjang, memijat tengkuk Sean dengan cemas.
“Apa yang terjadi, Jane?” tanyanya cepat.
“Saya tidak tahu, Tuan,” suara Jane bergetar, “Setelah Tuan Muda memakan ayam goreng yang datang sebagai pesanan luar, tiba-tiba dia muntah-muntah.”
Damian memandang kotak makanan di atas meja, berjalan mendekat, dan membukanya. Aroma tajam langsung menusuk hidung. Ia mengernyit, menahan rasa jijik.
“Kapan ia memesannya?” tanyanya dingin.
“Tidak memesan, Tuan. Katanya itu hadiah, begitu ucapan kurirnya.”
Damian terpaku. Hadiah? Ia menatap kosong beberapa detik sebelum mengembuskan napas panjang, “Aku akan menyelidikinya nanti. Sekarang yang terpenting membawanya ke rumah sakit.”
Saat Damian hendak memapah Sean, pria itu menahan pergelangan tangannya.
“Ayah… tunggu…” ucap Sean lemah. Tangannya merogoh ke bawah bantal, mengambil selembar kertas yang terlipat, “Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi ayah harus melihat ini.”
Damian mengambil kertas itu dan membacanya perlahan. Tulisan di sana seketika membuat darahnya mendidih.
‘Halo, Sean. Ini hadiah spesial untukmu.
Dari kekasih ayahmu.’
Jari-jari Damian mengepal hingga kertas itu nyaris robek. Kepalanya berdengung.
“Kenapa wanita itu…?” gumam Sean lirih, matanya memerah, “Kenapa dia ingin menyakitiku? Aku bahkan belum bertemu dengannya. Katakan Ayah! Apa salahku?”
Damian tidak menjawab. Ia hanya menyimpan kertas itu di sakunya, rahangnya mengeras menahan amarah. Ada terlalu banyak yang harus ia pastikan malam ini. Namun untuk sekarang, hanya satu hal yang terpenting yaitu menyelamatkan anaknya.
“Kita bicarakan nanti,” tegas Damian, “Sekarang kita ke rumah sakit.”
Jane mengemasi barang-barang yang diperlukan dengan tergesa, sementara Damian memapah Sean keluar kamar. Namun dalam langkah beratnya, hanya satu kalimat yang terus berputar di kepala Damian.
"Kenapa kau melakukan ini, Elena?"
......................
Sementara itu, di ballroom hotel, Elena masih duduk di kursinya, menunggu Damian yang tidak kunjung kembali. Bahkan ini sudah terlalu lama untuk sekadar ke toilet. Matanya melirik ke arah pintu masuk beberapa kali, namun sosok pria itu tidak juga muncul.
Ia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya kemana pria itu pergi? Apa dia sengaja meninggalkannya di tempat asing ini?
Daripada menunggu tanpa kepastian, mungkin lebih baik ia berpamitan pada Kelly dan pulang lebih dulu. Lagipula, duduk sendirian di antara orang-orang asing hanya membuatnya merasa bodoh. Biarlah Damian mencarinya nanti. Salah sendiri pergi tanpa pamit.
Namun ketika Elena baru saja hendak berdiri, tubuhnya mendadak melemas. Hawa panas menyerang dari dalam, menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membuatnya terduduk kembali. Ia mengernyit, menyeka keringat yang tiba-tiba muncul di pelipis.
“Panas sekali... padahal tempat ini penuh pendingin ruangan,” lirihnya.
Kepalanya berdenyut. Tatapannya kemudian tertuju pada gelas margarita di hadapannya. Gelas itu sudah kosong, hanya tersisa jejak cairan di dasar kaca.
“Sial!” desisnya marah. Tangannya mengepal lalu memukul meja pelan.
Ia tahu sesuatu tidak beres. Seseorang pasti telah menaruh sesuatu dalam minumannya. Dan entah bagaimana, ia yakin nama Kelly digunakan hanya sebagai umpan agar ia lengah.
“Alan…” gumamnya getir, menatap sekeliling dengan waspada, “Kau benar-benar nekat.”
Ia segera meraih tasnya, berdiri dengan langkah goyah.
Kepala Elena terasa berat, pandangannya sedikit berputar, tapi naluri bertahan hidupnya masih kuat. Ia harus keluar dari tempat ini sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia berjalan cepat menuju pintu keluar, menembus keramaian dan tatapan heran beberapa tamu.
Begitu keluar dari ballroom, Elena berjalan dengan langkah terseok, satu tangannya meraba dinding agar tetap seimbang. Kepalanya terasa semakin berat dan pandangannya juga berbayang. Nafasnya memburu, sementara hawa panas dari dalam tubuh makin menjadi-jadi. Ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang, tapi keringat terus mengalir di pelipis dan lehernya, seolah tubuhnya memohon agar panas itu segera dilepaskan.
Untuk tetap sadar, Elena menggigit pergelangan tangannya sendiri hingga kulitnya memerah. Ia memaksa dirinya untuk tetap melangkah, menapaki koridor menuju lift dengan sempoyongan. Setiap langkah terasa berat, tapi ia tahu berhenti bukan pilihan yang akan ia ambil.
Namun langkahnya mendadak terhenti. Dari tempatnya berdiri, dua sosok muncul dari salah satu kamar. Mereka adalah Alan dan John. Seketika Elena menahan napas, lalu berbelok cepat ke koridor kanan dan bersembunyi di balik tembok. Ia mengintip dari sana, sementara jantungnya berdebar kencang. Dalam jarak sedekat itu, sedikit saja ia salah bergerak, mereka pasti akan menemukannya.
“Selamat bersenang-senang malam ini,” suara Alan terdengar santai.
“Terima kasih sudah membantuku untuk mendapatkan wanita itu.” John terkekeh rendah.
Elena membulatkan mata. Meski tubuhnya hampir tidak sanggup berdiri, telinganya masih cukup tajam menangkap setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Ia juga tahu benar siapa wanita yang mereka bicarakan.
Tangannya dengan gemetar segera merogoh tas, mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi kamera. Dengan hati-hati, ia mulai merekam pembicaraan mereka dari balik dinding. Setidaknya Damian harus tahu, jika sesuatu terjadi padanya nanti. Walau di sisi lain, bagian dirinya ingin membuang ponsel itu dan kabur sejauh mungkin.
“Kau terbantu, aku juga terbantu. Kita sama-sama mendapat keuntungan,” ucap Alan.
“Kau benar. Aku juga harus berterima kasih pada Tuan Sean.”
Alan tersenyum miring, “Tidak perlu. Semua ini adalah ideku. Sean hanya membantu untuk membuat ayahnya pergi dari tempat ini.”
Elena membekap mulutnya, matanya membulat. Dugaannya memang benar. Mereka berdua sejak awal memang ingin menyingkirkannya. Tapi yang tidak ia sangka adalah melihatkan John dalam hal ini.
Namun tubuhnya yang melemah membuat genggamannya goyah. Ponselnya terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara yang memantul di koridor sepi itu.
Kedua pria itu sontak menoleh.
“Kau!” Alan mendesis marah.
Sementara John menatapnya dengan tatapan haus, seperti tidak tahan untuk segera menerkamnya.
Elena membungkuk cepat, mengambil ponselnya dan berlari sekencang yang ia bisa. Nafasnya tersengal, langkahnya goyah, tapi ketakutannya lebih besar dari efek obat di tubuhnya.
“Aku akan mengejarnya!” teriak Alan.
“Biar aku saja,” sahut John, “Kau temani istrimu saja. Wanita itu tidak akan jauh. Aku yakin dia akan segera tumbang karena obatnya sudah bekerja.”
Alan mengangguk, “Baiklah.”
John pun berlari mengejar.
Elena menoleh ke belakang, napasnya berat, lalu mendecih kesal ketika heels-nya membuat langkahnya semakin lambat. Ia berhenti sejenak, melepasnya, lalu melemparkan sepatu itu ke sembarang arah.
“Mau ke mana, cantik?” suara John terdengar, pelan tapi mengancam.
Elena menoleh. Sosok pria itu berjalan santai, menikmati setiap langkah seolah tahu buruannya tidak akan kabur jauh.
Dengan sisa tenaga, Elena menegakkan tubuhnya, lalu kembali berlari walau pandangannya sudah berkunang.
Saat sudah sampai di depan lift, ia menekan tombol lift berulang kali dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk dan menekan tombol close dengan tergesa-gesa. Ia hanya berharap pria bajingan itu tidak sempat melihat ke arah sini.
Pintu lift perlahan menutup, dan saat akhirnya rapat sempurna, ia menghembuskan napas lega.
Namun kelegaan itu hanya bertahan sedetik.
“Hei, jalang!” suara John terdengar samar tepat sebelum pintu benar-benar menutup rapat.
Elena menelan ludah, buru-buru membuka ponselnya dan mencari nama Damian di daftar kontak. Ia menekan panggilan dengan tangan gemetar, tapi tidak ada jawaban.
Satu kali. Dua kali. Masih tidak diangkat.
Ia menggigit ujung kukunya, berusaha menahan panik, “Ayolah, Damian… tolong angkat,” bisiknya.
Belum sempat menarik napas, lift tiba-tiba berhenti dan pintunya terbuka. Beberapa pria masuk dengan langkah sempoyongan, tawa mereka kasar, dan bau alkohol langsung memenuhi ruangan sempit itu.
Elena melirik mereka sekilas, jantungnya berdebar makin cepat. Tidak mungkin ia bersembunyi dari John hanya untuk terjebak di dalam lift bersama orang-orang mabuk.
Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah keluar dari lift dan menelusuri koridor. Langkahnya goyah, tapi ia memaksa diri terus berjalan, melewati deretan pintu kamar yang tertutup rapat.
Ia membuka ponselnya lagi, jari-jarinya gemetar saat mencoba menekan panggilan ke Damian sekali lagi.
Namun baru saja ia hendak mengulangi panggilan itu, suara familiar membuatnya terpaku.
“Rupanya kau di sini.”
Elena menoleh cepat ke belakang dan John ternyata sudah berdiri di depan pintu lift, menatapnya dengan senyum miring yang membuat darahnya berdesir takut.
Ia berdecak kesal, “Bagaimana bisa dia tahu aku di lantai ini…?” gumamnya pelan.
Tanpa berpikir lagi, ia langsung berlari lagi, sekuat tenaga, meski dunia di sekitarnya mulai berputar.
Tatapan Elena kemudian terhenti pada sepasang manusia yang baru saja keluar dari salah satu kamar. Tanpa berpikir panjang, ia berlari cepat dan merebut kartu kamar dari tangan si pria.
“Aku akan membalas budi kalian nanti,” ucapnya terburu-buru, lalu segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat, tidak peduli dengan makian kesal dari pasangan itu di luar.
Begitu di dalam kamar, ia melemparkan tasnya asal. Tangannya gemetar saat meraih ponsel, menulis pesan untuk Damian tentang keadaannya sekarang, tentang apa yang terjadi, dan nomor kamar tempat ia bersembunyi. Ia tahu kemungkinan pesan itu tidak akan langsung dibaca, tapi setidaknya Damian akan tahu di mana mencarinya.
Pesan terkirim dan ia melemparkan ponselnya ke atas ranjang, lalu bergegas menuju kamar mandi dengan langkah sempoyongan.
Begitu membuka keran, air dingin langsung mengucur deras dari shower. Elena duduk di lantai, membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya. Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar di antara rasa panas yang kian membakar dari dalam. Ia menggigit bibir, menahan rasa yang tidak tertahankan.
Namun ketenangan itu hanya bertahan beberapa menit.
Suara berisik terdengar dari arah pintu kamar, sepertinya seseorang sedang berusaha membukanya dari luar. Elena menegakkan tubuhnya dengan susah payah, telinganya berusaha menangkap setiap bunyi kecil yang ada.
Air dari shower masih terus mengucur, menggema di balik punggungnya yang basah. Ia kemudian melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya gemetar dan pandangannya semakin berbayang.
Dentuman kecil terdengar dan pintu kamar terbuka perlahan.
Jantungnya berdetak kencang dan nafasnya tercekat. Keyakinannya untuk bisa selamat mulai hilang. Ia tahu pasti siapa yang datang. Itu pasti John.
Kakinya limbung. Ia memegangi sisi kepalanya yang berdenyut hebat, sementara hawa panas di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Air dingin tadi tidak memberi efek apa-apa, malah menambah dingin ketakutannya sendiri.
Tubuhnya luruh, terhuyung di lantai, sementara langkah sepatu itu semakin mendekat.