Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Masa cuti.
Suasana cerah ceria. Langit berawan seolah memahami keadaan yang juga mulai tenang. Dena memasak makanan khas daerah kampungnya tanpa beban.
"Masak apa hari ini? Wanginya sampai ke depan, dek." Sapa Bang Lugas kemudian mengusap perut Nadine yang kini berusia delapan bulan.
"Gulai ubi tumbuk, ikan asin dan sambal." Jawab Dena tenang.
Ada gurat senyum di wajah Bang Lugas. Ia teringat sosok Nadine yang juga sedang mengandung buah hatinya. Bukan karena mencintai Nadine namun ia lebih memikirkan nasib anaknya. Bagaimanapun juga anak yang ada dalam kandungan Nadine adalah darah dagingnya.
"Hmm.. Bang, usia kandungan Mbak Nadine sudah sembilan bulan lebih. Sudah waktunya melahirkan. Abang tidak ingin menemaninya?" Tanya Dena seketika menenggelamkan senyum tipis dari wajah Bang Lugas.
"Abang sudah minta orang untuk mengurusnya. Setiap kontrol juga selalu Abang pantau perkembangannya. Sehat dan tidak ada masalah berarti." Jawab Bang Lugas.
"Tapi menjelang persalinan, Mbak Nadine juga butuh perhatian lebih. Abang lihat saja keadaan Dena, mau apa-apa sulit, terkadang juga butuh bantuan Abang disana." Kata Dena.
"Abang tau. Seandainya saja saat itu dia tidak berulah, mungkin saat ini kita masih bisa bersama sampai waktunya Nadine melahirkan. Sayangnya dia membuat semuanya kacau dan berantakan. Abang tidak ingin kamu ataupun si Abang celaka lagi karena ulah Nadine.
Dena tidak dapat menjawabnya lagi. Dirinya hanya bisa mensyukuri apapun nikmat yang telah di berikan Tuhan padanya saat ini.
...
Sore hari, Presiden tiba ke daerah timur untuk melaksanakan cutinya, cuti atas permintaan sang istri untuk menikmati masa kehamilan terakhir dan persalinan nya.
Tidak banyak pengawalan mewah seperti kebanyakan pejabat negara. Bang Erlang hanya meminta dua orang ajudan dan beberapa staff kesehatan untuk memantau khusus permasalahan kelahiran putra pertamanya.
Bang Erlang juga meminta satu rumah kosong di tengah rumah dinas kedua sahabatnya disana.
"Akhirnya cuti juga." Sapa Bang Lugas saat melihat sahabatnya datang.
Bang Decky pun turut menyambut Pak Presiden yang memilih mengambil masa cutinya pada daerah kecil bersama mereka para sahabat seperjuangan sembari menunggu waktu persalinan ibu negara.
"Alhamdulillah.. Setelah buat acara makan malam yuk, di teras saja, sambil ngobrol." Ajak Bang Erlang.
"Yuk lah. Nanti kalau bumil sudah pada lahiran, kita pasti sibuk sama anak." Jawab Bang Lugas.
"Boleh juga tuh. Sebentar aku calling anak-anak biar bisa siapkan acara dadakan kita."
Bumil yang sudah lama tidak berjumpa langsung berkumpul bersama. Bang Erlang, Bang Lugas dan Bang Decky tersenyum melihat keakraban mereka.
Seperti biasa para bumil akan saling mengusap perut mereka yang sudah sama-sama besar. Nindy yang sudah membawa kehamilan usia sembilan bulan, Dena di usia delapan bulan dan Anne di usia kehamilan tujuh bulan.
"Ngomong-ngomong, belakangan ini aku nggak doyan makan lho." Kata Anne sambil menyantap rengginang pada toples merah di meja ruang tamu Dena.
"Iya, sama.. Seharian ini aku juga hanya makan semangka." Imbuh Nindy.
Bang Decky menggeleng mendengar ocehan sang istri. "Oohh.. Satu baskom nasi goreng itu yang di bilang nggak doyan makan. Hamil anak gajah nih sepertinya." Gumam Bang Decky.
"Ya sama, semangka tiga kilo juga buat Nindy sendiri. Begitu dia bilang begah makan apapun, aneh." Celetuk Bang Erlang.
"Kaya banyak-banyak lah bersyukur. Istri doyan makan tuh karunia besar. Dena benar-benar nggak doyan makan, bawaannya lemas. Semoga formasi lengkap, doyannya Anne dan Nindy makan bisa nular untuk Dena meskipun hanya beberapa hari saja. Tiap hari rasanya aku jantungan kalau lihat Dena lemas." Kata Bang Lugas.
"Alhamdulillah. Mudah-mudahan ya Gas." Jawab Bang Erlang.
"Abaaaang.. Mau kopi joss, nggak??" Tanya Anne dengan suara khas nya.
"Nggak usah, kopi biasa saja. Kamu nggak bisa buatnya." Tolak Bang Decky.
"Biar saja, Dena bisa buatnya." Ujar Bang Lugas.
"Abang mau, nggak? Ini kopinya pakai tungku kayu." Nindy pun jadi ikut penasaran di buatnya.
"Ini bukan survival lho, dek." Kata Bang Erlang mengingatkan.
"Sudah.. biar saja mereka buat, sejadi-jadinya saja, menurut kepercayaan masing-masing." Celetuk Bang Lugas tidak ingin ambil pusing masalah kopi.
:
Jujur Bang Erlang dan Bang Decky baru merasakan kopi di rumah Bang Lugas. Mereka baru merasakan nikmatnya kopi dengan rasa yang berbeda.
"Nikmati saja, kopinya buatan tangan istriku. Dia memetik, menjemur lalu mengolahnya secara manual dengan tenaganya sendiri." Bang Lugas pun menjelaskannya pada kedua sahabatnya.
Dengan kata lain, penjelasan tersebut juga mengutarakan kebanggaan tersendiri bagi Bang Lugas.
"Pantas. Kenapa tidak di jual saja ke koperasi sebagai salah satu lahan bisnismu." Saran Bang Erlang.
"Ada rencana juga, tapi saya nggak mau memaksa. Ini kan murni hasil jerih payah Dena, biar sementara dia fokus dengan kehamilan dan anak saya dulu. Lagipula, saya pengen Dena hanya diam sebagai 'penadah' di rumah daripada dia ikut banting tulang." Jawab Bang Lugas.
.
.
.
.
semangat mbak nara....💪💪💪