Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANTAN PAMIT
Wa, bisa bertemu di cafe dengan kantor kamu.
Kebetulan Hawa sedang membuka ponsel, karena baru chat dengan Pak Arik terkait pembinaan basket dan rundown untuk penyisihan. Ia menghela nafas pelan setelah membaca pesan Uki. Bimbang.
Aku mau balik ke site.
Hawa paham, mungkin Uki hendak pamit. Baiklah, dia akan memberikan kesempatan untuk pamit. Hawa pun pamit mau beli kopi sebentar ke Amelia, dan rekannya itu hanya mengangguk saja, mungkin sedang sibuk juga makanya hanya mengangguk.
Hawa menyeberang ke cafe depan kantor, wajahnya datar saat Uki melambaikan tangan. Laki-laki itu senyum manis, setiap langkah Hawa menuju meja, mengukuhkan hati bahwa mereka sudah mantan, dan Hawa tidak ingin kembali padanya.
Uki berdiri menyambut Hawa seperti biasanya, namun Hawa menolak untuk ditarikkan kursi, ia bisa sendiri. Ekspresi Uki pun berubah, sepertinya wanita cantik ini sudah mulai membiasakan diri untuk tidak mengharap padanya. Hufh, Uki menyesal, melepas gadis secantik ini. Hampir seminggu tak melihat gadis ini, Uki merasa Hawa semakin cantik saja.
"Ada apa? Aku gak punya banyak waktu, sebentar lagi ada rapat," ujar Hawa sedatar mungkin. Ia ingin dipeluk Uki. Hawa kangen dengan perhatian Uki, ah sial sekuat hati Hawa tidak menunjukkan rasa sayangnya pada Uki.
"Aku hanya mau minta maaf, Wa. Maaf banget atas hubungan kita berakhir begini. Gak seharusnya aku mengakhiri hubungan ini dengan pengkhianatan." Hawa mengangguk saja, jangan sampai ia bersuara, karena ia yakin akan menangis.
"Aku mau balik, besok masa cutiku berakhir, aku cuma mau ngelihat kamu yang terakhir, mungkin setelah ini aku sudah tidak punya kesempatan buat melihat wajah kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu adalah perempuan yang masih aku harapkan menjadi ibu dari anak-anakku nanti."
Hawa tersenyum saja, foto yang dikirim Rifka maupun Yosi tiba-tiba muncul dalam benak Hawa. Rasa kangen yang sempat menghampiri mendadak hilang, dengan rasa muak atas ungkapan hati Uki. Namun Hawa tahan, jangan sampai memancing emosi, dia memilih datang menemui Uki tidak untuk bertengkar. Hanya ingin mengakhiri dengan resmi dan baik.
"Semoga perjalanan kamu lancar, Ki. Aku juga minta maaf kalau selama ini ada salah kata sama sikap menyebalkan ke kamu. Gak usah terlalu merasa bersalah, ya mungkin ini jalan takdir kita. Makasih atas semua perhatian yang kamu kasih ke aku, percayalah aku pernah sebahagia itu menjadi kekasihmu. Jangan lupa undang aku ya kalau kalian menikah," ujar Hawa sembari tersenyum tipis, sangat manis di mata Uki.
Undangan? Bahkan Uki tidak punya niatan untuk menikahi Diana sama sekali, ah sudah lah, ucapan Hawa itu mengisyaratkan bahwa Hawa sudah tidak mau dengannya lagi. Dia perempuan baik, tak sepantasnya mendapat lelaki brengsek seperti dirinya. Hawa pun pamit, Uki pun mempersilahkan. Ia mampir ke kasir sebentar, sepertinya beli beberapa cup kopi untuk teman kantornya. Uki masih menatap perempuan itu mulai dari keluar cafe, menyeberang hingga masuk ke gate kantor.
Semoga kamu bahagia juga, Wa. Maaf sekali lagi. I Love You, Uki kemudian menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran cafe.
Di kantor, setelah memberi kopi kepada teman kantornya, Hawa duduk dengan menghela nafas sebentar dan menatap cup kopi tersebut. "Keputusan terbaik untukku dan Uki," ucapnya kemudian, dan mengusap air mata yang hampir saja jatuh ke pipinya. Sudah cukup dia menangis untuk hubungan ini. Segera pakai logika untuk bangkit dan meningkatkan value dirinya.
Sesedihnya putus cinta, jangan sampai merugikan masa depan nanti. Banyak hal yang bisa Hawa capai, meski tak bersama Uki. Mimpi yang belum terwujud, sepertinya akan ditata ulang.
"Miss Hawa!" panggil Pak Arik yang tiba-tiba muncul di kantor ini, Heni yang tahu modus Arik hanya berdehem saja. Hawa yang sempat tak fokus langsung tersadar, bahwa saatnya bekerja.
"Iya, Pak, silahkan duduk!" ujar Hawa kemudian, "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hawa, Arik langsung menunjukkan ponselnya. Bahwa rundown sparing dengan sekolah X diadakan malam nanti setelah maghrib. Arik memastikan surat izin kepada orang tua, konsumsi anak-anak saja. Hawa pun cek nama tim basket inti dan cadangan yang akan sparing nanti malam, surat izin akan dibuatkan juga dan sebelum pulang nanti, Hawa akan share ke grup wali kelas agar diteruskan pada masing-masing wali murid bagi nama siswa yang tercantum.
"Di mana lokasi sparingnya?" tanya Hawa.
"Dekat sama rumah Miss Hawa, gelanggang jalan X," jawab Arik sembari menatap Hawa.
"Dih, kayak tahu rumah saya!" ujar Hawa sembari tertawa ramah.
"Tahulah, siap-siap lamar juga!" sahut Bu Heni dengan tertawa cekikian. Sedangkan rekan lain ikut mengompori.
"Gas Pak Arik, udah jomblo!" Hawa mendengus kesal.
"Gak usah didengerin."
"Emang udah jomblo?" tanya Arik serius, Bu Dyah yang meja kerjanya di samping Hawa ikut nimbrung.
"Sudah dong, milik umum sekarang!"
"Pada senang amat sih ya Allah, lihat orang putus cinta, heran deh!" omel Hawa pura-pura jutek dan disambut tawa rekan lain termasuk Arik.
Setelah urusan selesai dengan Hawa, Arik pun pamit. "Kalau bisa nanti datang sparing ya," pinta Arik dengan sangat lembut, dan tatapan naksir pada Hawa.
"InsyaAllah kalau gak lembur," ujar Hawa biasa saja. Bu Dyah, Amelia dan Heni langsung cie-cie. Hawa hanya berdecak sebal.
"Dih, apaan sih!"
"Halah jangan ngomong dah dih duh, hati senang kan?"
"Ya elah, baru juga putus. Hati masih pakai obat merah disuruh buka hati buat cowok lain, ogah. Kasihan Pak Arik lagi," ujar Hawa mengisyaratkan bahwa dirinya belum tertarik menjalin hubungan kembali.
"Kenapa kasihan?"
"Khawatir sudah mengharap cuma saya buat pelarian bagaimana?"
"Emang tega?" tanya Amelia.
"Enggaklah, makanya jangan cie-cien terus ah. Dia baper, aku yang repot."
"Kalau sama Pak Ketua ganteng?"
Hawa memutar bola mata malas, malah Bima. Gak ada niatan Hawa untuk dekat lebih dari hubungan anak buah dengan Bima. Tak bisa membayangkan saja kalau dirinya dekat atau bahkan menjalin hubungan dengan Bima, auto emosi tiap hari kali. Jutek ketemu jutek, yang ada tengkar terus tiap hari.
Hawa kembali bekerja, setelah putus dia pun menyadari, hidup tanpa cinta juga tidak terlalu buruk. Merasa bebas saja tanpa ada tuntutan membangun komunikasi, harus memberi kabar tiap waktu dan menjaga hati.
Hah, memang lebih baik segera berdamai dengan keadaan dan menjadi orang yang fokus pada tujuan hidup tanpa menoleh ke belakang. Apalagi untuk meratapi. Sudah cukup, episode patah hati segera ditutup oleh Hawa. Toh sumber patah hatinya akan kembali ke habitatnya. Entah suatu hari nanti dipertemukan kembali atau tidak, Hawa tidak mengharap apapun.
Selamat tinggal patah hati.
Follow IG aku ya guys: Lira Attalita.
Terimakasih banyak.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭