📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang yang Tak Pernah Pergi - Malam di Kafe Lama
Hari itu sungguh berat bagi Rom, seperti rotor heli yang berputar kencang tapi tak bisa naik—senang karena Lina kembali, hangat seperti api lama yang menyala lagi, tapi risau perasaan ke Elesa yang kini seperti benang halus tapi kuat, menarik hatinya ke arah baru. Tubuhnya jujur, tentu saja; Lina adalah wanita, Rom pria, berada serumah berjam-jam membuat situasi ini jelas dimanfaatkan—sentuhan manja Lina di sofa tadi pagi, desah pelannya saat Rom hela lehernya, bikin tegangannya nyaris meledak seperti rudal Hellfire yang tak terkendali. Tapi hati Rom terbelah, arloji di pergelangan berdetak lebih cepat setiap kali pikiran melayang ke Elesa: tamparan pagi tadi yang panas, ciuman satu menit yang manis tapi batas tegas, mata cokelatnya yang ragu tapi luluh. "Kenapa sekarang, Lin? Aku lagi belajar nahan diri buat dia," gumam Rom dalam hati, tapi mulutnya tak jujur—ia tak bilang apa-apa soal Elesa ke Lina, biar malam ini tak hancur sebelum dimulai.
Lina ajak Rom makan di tempat biasa mereka dulu, kafe kecil di pinggir Jalan Thamrin yang ramai seperti pasar malam versi pagi—Kafe Melati, dengan meja-meja kayu usang yang penuh goresan kenangan, aroma sate ayam goreng campur kopi tubruk pekat, dan suara obrolan pelanggan yang bergaung seperti hembusan angin kota. Tempat itu spesial buat mereka: dulu, sebelum Lina pindah ke kampung, mereka sering curi waktu di sini sebelum balik ke hotel Gagak, tangan saling genggam di bawah meja, bisik-bisik manja yang bikin hati berdegup. Hari ini, siang yang cerah tapi gerimis tipis, kafe penuh: keluarga muda di meja pojok ribut soal tagihan, sekelompok mahasiswa tertawa keras di bar, waiter berlari bolak-balik bawa nampan berisi nasi goreng dan es teh manis, suara sendok garpu beradu piring seperti irama lagu rakyat yang kacau. Rom dan Lina duduk di meja sudut dekat jendela, angin dari luar menyapu rambut Lina yang terurai di bawah jilbab krem sederhana, membuatnya terlihat lebih muda, lebih menggoda.
Rom duduk gelisah, tangan kanannya meraba arloji pelan—detaknya stabil, tapi setiap hembusan napas Lina bikin jarumnya seperti tersentak. Ia pesan nasi goreng spesial dan es jeruk, seperti dulu, tapi pikirannya melayang ke Elesa: pesan terakhirnya tadi siang, "Jangan telat besok, komandan—aku tunggu cerita heli mu." Lina duduk di seberang, senyum manja seperti gadis 25 tahun yang lagi jatuh cinta pertama kali, mantel kremnya dilepas tergantung di kursi, kemeja putih longgar memperlihatkan lekuk bahu yang halus. "Kamu keliatan capek, Rom. Libur kok main game doang? Dulu kamu ajak aku jalan-jalan, bukan duduk di rumah," katanya genit, tangannya meraih tangan Rom di atas meja, jari-jarinya menyusuri punggung tangan Rom pelan—sensasi hangat dan lembut itu merayap ke lengan Rom, bikin bulu kuduknya merinding tipis, meski kafe ramai dan waiter lewat di belakang mereka dengan nampan penuh.
Rom tersenyum miring, tarik napas dalam buat redakan tegang di dada—tubuhnya jujur, sudah tegang sejak Lina naik pangkuan tadi pagi, tapi hati risau soal Elesa membuatnya gugup seperti pilot heli baru. "Capek tugas kemarin, Lin. Heli chase mafia di hotel, nyaris kena rudal. Tapi senang kamu dateng—kangen tempat ini," balasnya, suara santai tapi mata menghindari tatapan Lina yang penuh harap. Di sekitar, suara tawa mahasiswa meledak lagi, seorang pelayan berteriak "Pesanan meja 5 siap!" dari dapur, bikin suasana kafe seperti pasar yang hidup, tapi buat Rom, itu cuma latar belakang buat dilema hatinya.
Makanan datang cepat—nasi goreng panas mengepul, potongan ayam goreng renyah di atasnya, es jeruk berkilau di gelas tinggi. Lina langsung ambil sendok, suap segumpal nasi ke mulut Rom tanpa tanya—gerakan manja seperti dulu, bibirnya melengkung genit saat lihat Rom kunyah. "Mmm, enak kan? Kayak dulu, aku suap kamu, kamu suap aku. Tapi kok kamu kayak lemes gitu sih? Beda sama dulu—dulu kamu lahap, mata berbinar kayak lagi terbang heli." Suaranya manja, tangan kiri di bawah meja merayap ke lutut Rom pelan, sentuhan ringan melalui celana yang bikin Rom tersentak tipis, tegang di bawah mulai bangun lagi seperti api yang tersulut pelan.
Rom kunyah cepat, ambil tisu dari meja dan lap mulut pelan—gerakan gugup buat tutupi degup hatinya yang kencang, arloji berdetak seperti peringatan. "Ga kok. Perasaan kamu mungkin... aku kayak biasanya," balasnya, suara santai tapi mata menghindar ke jendela, di mana lalu lintas ramai bergemuruh seperti latar suara kafe yang tak henti—seorang ibu di meja sebelah ribut telepon soal anak sekolah, suara gelas beradu piring dari bar. Lina suap lagi, kali ini lebih dekat, jarinya sengaja gesek bibir Rom tipis, sensasi lembab nasi campur hangat jari bikin Rom menelan ludah, tubuhnya jujur bereaksi—tegang di bawah meja mulai terasa, panas merayap pelan seperti hembusan angin panas di kokpit heli.
Lina miringkan kepala, mata cokelatnya menyipit curiga tapi genit, tangan di bawah meja geser lebih naik ke paha Rom—tekanan lembut, jari menyusuri garis otot melalui kain, bikin Rom pegang sendok lebih erat. "Boong. Jangan bilang kamu udah punya pacar? Ngaku aja gapapa, aku tau kau pasti mau benerin hubungan. Pastinya bukan sama aku, karna aku kan jelek, ga secantik pilihanmu sekarang." Suaranya manja tapi ada nada pilu, seperti gadis yang lagi cari pengakuan, tapi tangannya nggak berhenti—gesek pelan di paha dalam Rom, sensasi hangat itu bikin Rom bergeser di kursi, tegangannya nyaris terlihat di bawah meja, napasnya tersendat tipis di tengah suara tawa pelanggan di pojok.
Rom kembali tergugup, bingung jawab apa—pikiran penuh Elesa, tamparan pagi tadi yang bikin pipinya panas, ciuman satu menit yang manis tapi batas tegas. Ia ambil tisu lagi, lap mulut meski sudah bersih, gerakan lambat buat beli waktu. "Emmm... ga. Aku belum ada pacar," bohongnya pelan, suara tenang tapi hati berdegup seperti heli evakuasi di tengah tembak-menembak, arloji di tangannya berdetak lebih cepat seperti saksi curiga.
Lina angkat alis, suap nasi ke mulut sendiri dulu, kunyah pelan sambil tatap Rom tajam—tapi senyumnya kembali manja, tangan di bawah meja tekan paha Rom lebih dalam, jari menyusuri garis tegang di sana pelan, bikin Rom pegang meja lebih erat, panas merayap ke perut seperti api yang tak bisa dipadamkan. "Tapi ada kan?? Yang lagi deket sama kamu??!" tekannya, suara genit tapi ada nada cemburu, seperti angin panas yang bertiup pelan tapi bisa jadi badai. Di sekitar, waiter lewat lagi dengan nampan es teh, suara gelas beradu membuat percakapan mereka terpotong sebentar, seorang pasangan di meja sebelah bisik-bisik romantis, bikin Rom makin risau—senang Lina kembali, tapi risau Elesa seperti bayang yang tak pergi.
Rom telan ludah, tangan kiri naik garuk tengkuk—gerakan gugup yang ia lakukan saat terpojok di kokpit. "Ada, masak kamu ga nyadar? Aku deket sama cewek," akunya pelan, suara goyah, pikiran melayang ke Elesa lagi: mata ragu saat ciuman, tamparan plakk yang bikin hatinya sakit manis.
Lina terkejut, sendok jatuh ke piring dengan dentang pelan, mata melebar tapi cepat berganti senyum pilu—tangan di bawah meja berhenti gesek, tapi nggak lepas, tekanan hangat itu masih ada seperti janji tak terucap. "Ihh kok... tuh kamu barusan bohong, kau bilang ga ada pacar?" Suaranya campur kesal dan manja, seperti anak kecil yang ketahuan curi permen, tapi tangannya balik gesek pelan lagi, bikin Rom bergeser di kursi, tegangannya makin kuat, panas seperti ledakan kecil di perut.
Rom gelengkan kepala cepat, ambil es jeruk dan minum seteguk besar—rasa asam manis itu dingin di tenggorokan, tapi nggak redakan gugupnya. "Deketnya sama kamu bukan cewek lain. Ada cewek yang deket sama aku, tapi ga sedeket kita," jelasnya, suara santai tapi hati berat—bohong lagi, arloji berdetak seperti ejekan, jarumnya seperti jarum suntik yang menusuk rasa bersalah ke Elesa.
Lina terkekeh pelan, suara ringan seperti lonceng di tengah ramainya kafe—seorang pelayan berteriak "Pesanan meja 12!" dari dapur, tawa keluarga di pojok meledak lagi, bikin suasana seperti pesta yang tak terkendali. Lina suap nasi ke mulut Rom lagi, kali ini lebih dekat, jarinya sengaja bergesek bibir bawah Rom—sensasi lembab itu bikin Rom menarik napas tajam, tegang di bawah meja nyaris terasa di kursi. "Ohh, jadi bisa dibilang kamu masih suka sama aku? Ya ga?" tanyanya, mata berbinar manja, tangan kiri naik pegang dagu Rom pelan, ibu jari usap bibirnya tipis—gerakan intim yang bikin pelanggan sebelah lirik sekilas, tapi Lina nggak peduli, senyumnya seperti madu panas.
Rom angguk pelan, mata bertemu tatapan Lina yang penuh harap—hati terasa berat, tapi tubuh jujur, tegangannya bereaksi pada sentuhan itu. "Iya jelas dong. Kita kan udah jalani hubungan bareng selama hampir setahun," balasnya, suara rendah, tangan kanannya turun di bawah meja pegang tangan Lina—genggam erat, jari saling kait, sensasi hangat merayap ke lengan seperti arus listrik pelan.
Lina tersenyum lebar, tapi mata berkaca tipis—senyum pilu yang campur lega dan sedih, seperti angin pagi yang bawa aroma bunga layu. Ia lepas suapan, ambil es teh sendiri, minum pelan sambil tatap Rom. "Makasih, Rom... beneran. Tapi ya, aku ga bisa berharap lebih dari kamu. Aku masih punya suami. Kamu ga bisa selamanya deket sama aku—kamu juga harus cari cewek sendiri selain aku." Suaranya lembut, tapi ada nada pasrah, tangan di bawah meja tekan paha Rom pelan lagi—seperti perpisahan manja, bikin Rom merinding, tegangannya nyaris meledak di tengah ramainya kafe.
Kata-kata Lina membuat Rom lega sekaligus makin berat—lega karena Lina paham batas, tapi berat melepasnya, seperti heli yang mendarat darurat tapi rotor masih berputar. Ia pegang tangan Lina lebih erat di bawah meja, jari-jari saling genggam, sensasi hangat itu merayap ke pergelangan seperti janji tak terucap. "Tapi kita tetep manfaatin kesempatan berdua kan?" tanyanya pelan, suara campur harap dan ragu, mata lirik arloji—detaknya stabil lagi, tapi jarumnya seperti tersangkut di momen ini.
Lina angguk pelan, senyum manja kembali, tangan lepas dari paha Rom dan naik ke meja, pegang tangan Rom terbuka—gerakan terang-terangan di kafe ramai, tapi ia nggak peduli, waiter lewat lagi dengan senyum sopan. "Tentu, sayang. Dua hari ini milik kita—malam nanti, di rumahmu, kita ulang malam di Gagak. Aku kangen rasanya kamu pegang aku, Rom... kangen [ngentot] pelan sampe pagi." Bisikannya rendah, mata berbinar genit, bikin Rom telan ludah lagi, tegang di bawah meja terasa seperti bom waktu, panas merayap ke seluruh tubuh seperti hembusan angin panas di kokpit.
Rom tersenyum miring, tapi hati berat—pikirannya melayang ke Elesa lagi, tamparan pagi tadi yang bikin ia janji "jangan macam-macam". "Deal, Lin. Tapi janji aman—nggak ada yang tahu." Suaranya santai, tapi monolog internal bergolak: "Arloji ini saksi bohongku lagi—detaknya seperti jantung yang terbelah, darah mulai menetes ke jarum." Di sekitar, kafe makin ramai—seorang pasangan di meja sebelah cium tangan seperti mereka, suara gelak tawa mahasiswa meledak, tapi buat Rom, itu cuma latar belakang buat dilema yang makin dalam.
Mereka lanjut makan, Lina suap lagi dengan senyum manja, jari bergesek bibir Rom pelan—sensasi lembab itu bikin Rom bergeser di kursi, tegangannya nggak reda, panas seperti api yang tersulut pelan. "Kamu masih enak dimakan, Rom," goda Lina bisik, mata berbinar, tangan di bawah meja gesek paha lagi tipis—bikin Rom mengerang pelan dalam hati, napas tersengal di tengah suara kafe yang bergaung. Rom balas suap nasi ke mulut Lina, jarinya sengaja usap bibir bawahnya—gerakan balas manja, bikin Lina tersenyum lebar, pipinya memerah. "Kamu juga, Lin... manis seperti dulu." Obrolan mengalir santai, dari cerita konyol Juliar di markas ke rencana malam—Lina bisik "Malam nanti, aku pake gaun lama itu, yang bikin kamu gila," bikin Rom tertawa kecil, tapi hati risau Elesa seperti bayang yang tak pergi.
Saat bayar tagihan, Lina pegang tangan Rom terbuka di meja, jari saling kait—sentuhan hangat itu terasa seperti janji, tapi Rom lirik arloji: detaknya lebih cepat, jarum seperti tersangkut. "Dua hari ini milik kita," bisik Lina saat bangkit, peluk Rom pelan di depan kasir—pelukan singkat tapi intim, aroma vanila menyusup lagi, bikin tegang Rom nyaris terlihat. Mereka keluar kafe, tangan saling genggam ke mobil Rom, angin siang menyapu rambut Lina, tapi pikiran Rom penuh Elesa—hari ini berat, senang tapi risau, tubuh jujur tapi hati bohong. Arloji berdetak pelan seperti bisik: "Pilih sekarang, sebelum darah menetes lagi."