Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Love Bombing Basi
Hampir tak ada kemarahan, kening berkerut atau sikap kasar yang Bram tunjukkan. Makan malam dekat alun-alun kota di kedai ayam bakar kesukaan Mala, selanjutnya rumah tangga yang sedang memperbaiki hubungan itu terlihat sangat "cemara" di antara pakaian tergantung di dalam mall.
Memilih pakaian untuk mamahnya dengan begitu riang. Maya sampai terheran-heran perubahan sikap papahnya yang sangat mencolok.
Bila ramah pada Mia itu biasa, tapi soft spoken pada istri dan anak yang lebih besar, itu hal luar biasa.
"Maya, jangan bengong aja, kamu bisa pilih sepatu buat sekolah!" perintah Bram pada anak sulungnya.
Bram sendiri tetap mengekor ke mana kaki Mala melangkah. Kendati Mia ada dalam gendongannya.
Bram sangat terlambat untuk menyadari warna rambut Mala telah berubah. Di bawah terang benderangnya lampu mall, Bram seakan menyadari Mala masih tampak begitu muda, begitu lembut, begitu cantik. Secara tak sadar, Bram terus menatap Mala. Diam-diam ada rasa bangga hinggap di dada Bram, bangga sekaligus khawatir, karena kecantikan terpancar dari Mala bukan saja menyita perhatian Bram tetapi juga lelaki lain yang berpapasan.
Kenapa selama ini diriku bego, ya? Mala dan Nana ... jauh lebih muda Mala. Bila Nana tidak didukung dengan kekayaan yang terus membawanya ke klinik kecantikan, pasti keriput sudah menguasainya.
"Bagaimana kalau ini, Pah?" tanya Mala mengejutkan. Mala menunjukkan pakaian casual yang dipilihnya.
"Bagus, apa saja boleh, Mah!" ujar Bram menenangkan.
"Benar?" Sekali lagi Mala bertanya sembari menunjukkan bandrol harga pada pakaian tersebut.
Bram mengangguk dan tak menunggu waktu lama, Mala membawanya ke kasir.
Jika Mala yang dulu akan kasihan pada Bram bila Bram membayar begitu mahal, maka kali ini tidak. Mala akan dengan senang hati memilih yang tercantik, sesuka hatinya, selagi Bram mengiyakan.
Ugh, tidak ada lagi Mala yang berpikir ulang takut memiskinkan Bram hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Sekelebat bukti-bukti pembayaran hotel dan spa yang ditemukan di tas ransel Bram, menguatkan Mala untuk fokus pada apa yang menyenangkan.
Bukankah selama ini, Bram lebih sering mengeluhkan dirinya tak punya uang pada Mala. Lalu secara sembunyi-sembunyi menggunakan uangnya itu untuk berkencan dengan wanita lain.
Mala berpikir ini adalah kesempatan mereguk manisnya. Mala yakin love bombing yang Bram lakukan akan berakhir setelah puas dan merasa tenang pada reaksi Mala.
Ho-ho ... tidak semudah itu Bram!
Sesekali Bram mengecup pundak Mala, penuh kasih, tapi itu tetap membuat Mala jengah.
Tidak akan kulupakan bagaimana kau mendorongku di kamar mandi rumah sakit, Bram!
Kali ini, kaumenginginkanku. Akan kupermainkan gairahmu sampai kau tak berkutik.
Detik benaknya membisikkan hal itu, Mala jadi tertegun.
Apa yang kulakukan sebenarnya? Strategi apa yang kumainkan dan untuk mendapatkan apa? Aku ini berjuang mempertahankan hubungan atau membalas dendam?
"Permisi." Sebuah suara membuyarkan lamunan Mala.
Sosok pria muda menghampiri Mala. Berbicara sebentar dengan Mala dan mencatat sesuatu. Tak berapa lama, pria itu tersenyum melambaikan tangan.
Tepat saat itu Bram datang tergopoh-gopoh. Rupanya dari kejauhan melihat Mala akrab dengan seseorang dan itu mengganggu dirinya.
"Siapa dia, Mah?" ketus Bram.
Mala menggeleng, "Hanya orang asing!"
"Kamu nggak kenal?"
"Enggak, Pah."
Bram masih belum puas dengan jawaban Mala. Keningnya berkerut. Ini untuk pertama kalinya seharian ini. Mala bisa saja langsung menjelaskan bahwa sebetulnya lelaki tadi menanyakan clean outfit yang ingin dia beli untuk kekasihnya. Karena kurang memahami apa yang dimaksud clean outfit, lelaki tadi bertanya pada Mala apa-apa yang sebaiknya ia cari.
Mala maklum kebingungan lelaki itu, serta merta membantu tanpa berpikir hal lain. Apa lagi khawatir pada kecemburuan Bram. Terpikir ide Mala untuk membiarkan Bram menahan cemburu. Tak mau menjelaskan kendati ia bisa menjelaskan—sengaja.
***
Tangan Bram terus membelai tengkuk Mala. Sampai Mala menghindari duduk sebelah Bram—risih.
"Kenapa sih, Mah? Sama suaminya sendiri kok menghindar?"
Mala tak menanggapi. Menyibukkan diri dengan Mia, memasak di dapur, melipat pakaian ... apa saja asal tak bisa didekati Bram.
Bram masih tak putus asa. Kedua mata Bram bagai serigala menangkap mangsa buruan—jalang.
Mala memainkan rasa penasaran Bram dengan cukup baik. Belajar dari pengalaman lalu. Enggan menunjukkan perasaan. Diingatnya suatu nasihat dari orang tak dikenal. Bagi siapa yang memperlihatkan cintanya ... dia yang kalah.
Bram memasuki kamar, salah tingkah. Jelas terlihat menginginkan Mala. Memilih menerima Bram malam ini, Mala beranggapan ... tarik ulurnya pada Bram jangan sampai membosankan.
Seharian ini Mala tidak mencium bau busuk, tak ada juga suara cicak mengejek. Mala bertanya-tanya dalam hati.
Apakah wanita licik itu bosan melancarkan aksinya?
Dirinya dan wanita itu tidak saling megenal. Walau begitu, Mala selalu merasa terhubung. Terutama seperti saat ini. Ketika dengan kesadaran penuh Mala berakhir dalam pelukan Bram yang agresif.
Bayangan liar Mala menghantui. Apa seagresif ini bila Bram bersama pacarnya? Pertanyaan itu menari-nari.
Kadang mencipta tarikan bibir dari Mala. Enggan saling mengecup.
"Mah, kamu sudah bosan, ya?" bisik Bram di telinga Mala.
Sahutan Mala hanya mendesah, dibuat sekencang mungkin seolah menikmati—tapi itu hanya akting. Mala terus kepikiran adegan yang Bram lakukan dengan kekasihnya.
"Ssh, tutup mulutmu!"
Mala membungkam Bram, memejamkan mata dan merasa amat letih. Pada badannya, pada jiwanya.
Sampai kapan begini, kenapa aku harus berpura-pura mencintainya padahal aku sudah mati rasa.
Sama sekali tidak tergiur dengan iming-iming Bram yang merencanakan liburan berdua. Akh, omong kosong! Dulu Mala berharap, tapi apa nyana, Bram justru mengambil liburan dengan pacar rahasianya di tempat yang direncanakan Mala.
Mala sampai frustrasi menemukan bukti tiket, bukti menginap dari lokasi wisata yang menjadi tempat impiannya berbulan madu.
Pada akhirnya tak ada bulan madu dengan Mala. Dan kini saat Bram.kembali berjanji, Mala pura-pura tak dengar saja.
Sejam kemudian, Bram mendengkur, terkapar lemas. Diiringi tatapan kebencian menyoroti tubuh telanjang Bram.
Mala merasa sesak, hanya Mala yang merasa sesak. Bram tampak senang-senang saja. Hanya Mala yang terus merasakan kebencian. Mala jadi ingat guna-guna yang dilancarkan pacar Bram. Apa Bram sudah terlepas dari pengaru ilmunya sedang Mala belum?
Mengapa kini hanya Mala yang merasakan kebencian?
"Energiku tersedot, aku kelelahan bukan akibat penyatuan kami, aku merasakan energi negatif yang besar, yang menghisapku seperti vampir."
Mala setengah berbisik menelepon ayahnya. Berusaha setenang mungkin meski kesakitan di bagian dada.
"Apa yang kau alami, Nduk?" tanya pria tua di seberang telepon.
"A-aku ... merasakan dadaku seperti diinjak, ditekan begitu kuat, berat!"
Kreek
Bunyi pintu terbuka perlahan. Mala menoleh gugup.
"Siapa yang kau ajak bicara, Mala?"
****