Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Akhirnya Bryan Harus Percaya.
***
Lanang melongo, mulutnya terbuka lebar. Ia tidak menyangka, meskipun sudah sejauh ini memperlihatkan kekuatannya, Bryan tetap saja menolak percaya. Dengan cemberut, ia mengembalikan lukisan itu ke tempat semula.
“Kalau sudah begini, jangan salahkan aku kalau terlihat sadis, Bryan,” gumamnya.
Kali ini tangan kanannya kembali terulur ke udara, sementara tangan kirinya membentuk pola rumit di depan dada.
Sekejap kemudian, tubuh Bryan terangkat dari kursinya. Belum sempat ia berteriak, posisinya sudah terbalik; kakinya berada di atas, kepalanya menggantung ke bawah.
Bryan kelimpungan, nyaris muntah, ketika Lanang mulai menghempaskannya ke sana kemari. Untungnya tubuhnya tidak terbentur dinding, melainkan hanya terombang-ambing seperti boneka tak berdaya.
“Apa ini yang kau sebut benang, Bryan? Benang macam apa yang sanggup mengangkat tubuh sebesar itu?” geram Lanang. Suaranya menggema, sarat dengan tekanan.
“Apa matamu bisa melihat ada benang yang mengikat tubuhmu?”
“Sudah… cukup! Hentikan!” teriak Bryan akhirnya menyerah. Kepalanya berputar hebat, perutnya terasa diaduk-aduk hingga mual semakin kuat menjalar.
Melihat wajah Bryan yang memerah, Lanang akhirnya menurunkan tubuhnya. Ia membalikkan posisi Bryan kembali seperti semula, lalu menurunkannya perlahan ke lantai. Namun raut wajah Lanang tetap kesal, seakan kecewa karena aksinya masih dianggap main-main.
Bagaimana keadaan Bryan? Wajahnya tampak merah, entah karena marah, takut, atau karena aliran darahnya kacau setelah tubuhnya diputar-putar barusan.
Dengan suara bergetar sambil berusaha mengatur napas, ia akhirnya bertanya,
“Kau ini… sebenarnya apa?”
Ekspresi Bryan berubah total. Amarahnya berganti menjadi ketakutan. Ia takut mengakui bahwa Adam benar-benar telah tiada, dan takut pada sosok yang kini menguasai tubuh sahabatnya. Namun di dalam hatinya, ia tetap berusaha menolak kenyataan itu.
Lanang menatapnya dengan wajah muram.
“Jadi sekarang kau sudah percaya kalau aku bukan Adam?”
Namun bukannya menjawab, pikiran Bryan justru semakin kalut. Ia langsung mengacungkan pistol ke arah Lanang.
“Cepat kembalikan sahabatku! Kau bawa ke mana dia?”
Rahang Lanang menegang mendengar tuduhan itu.
“Bukan aku yang membawanya pergi. Dia sendiri yang memaksa aku masuk ke tubuh ini.”
“Omong kosong! Cepat kembalikan jiwa Adam!” bentak Bryan. Pistolnya teracung lebih tinggi, jemarinya sampai terdengar klik, siap menarik pelatuk.
“Mau menembak? Silakan tembak, Bryan. Tapi pikir baik-baik… beranikah kau menyakiti tubuh sahabatmu sendiri?” ujar Lanang dengan senyum mengerikan.
Sekejap tangan Bryan bergetar hebat. Mana mungkin ia tega menembak Adam, meski jiwanya entah masih ada atau tidak. Bagaimanapun, tubuh itu tetaplah wujud sahabatnya. Akhirnya pistol itu ia turunkan dengan napas terengah.
“Sekarang cepat jelaskan! Apa yang terjadi pada Adam?”
Bryan tidak punya pilihan lain selain bertanya. Dalam hati, ia masih berusaha menyangkal semua ini sebagai ilusi. Namun, ilusi macam apa yang sanggup membuat tubuhnya melayang, berputar, dan terbalik seperti boneka? Kalau benar hanya tali atau benang, mengapa ia sama sekali tidak melihat dan merasakannya? Semuanya terlalu nyata, seakan tubuhnya baru saja dihempas udara kosong.
Lanang menarik napas.
“Ceritanya panjang, Bryan. Dan sebelum itu, aku harus melakukan satu hal dulu. Penerawangan… untuk melihat siapa saja yang masuk ke rumah ini selain kita berdua.”
“Penerawangan? Apa lagi itu?” Bryan mendengus, tidak sabar. Ia lebih ingin tahu keberadaan Adam yang asli, bukan mendengar ocehan aneh ini.
“Oh… apa ya? Aku juga tidak tahu sebutannya di zaman kalian. Yang jelas, aku bisa melihat jejak siapa saja yang masuk ke rumah ini dalam dua minggu terakhir. Bahkan bisa melihat wajah mereka.”
Mendengarnya, Bryan spontan melongo. “Omong kosong!” sahutnya cepat.
“Ya sudah kalau tidak percaya. Yang penting, jangan ganggu aku dulu. Aku mau semedi. Senjata kalian yang bernama TV-TV itu sama sekali tidak ada gunanya.”
Bryan mendengus kesal. Meski muak dengan kata-kata Lanang yang baginya menggelikan, ia tetap membiarkan sosok itu bertingkah. Demi satu hal—penjelasan tentang Adam.
Lanang pun duduk bersila di tengah ruangan. Kedua tangannya terentang, lalu bergerak cepat membentuk pola-pola rumit. Kali ini, entah mengapa, Bryan bisa melihat sesuatu. Samar, tipis, seperti gelombang energi berwarna merah yang merembes keluar dari kedua tangan Lanang.
Gelombang itu menyapu ruangan, bergerak lurus hingga Bryan terlonjak kaget ketika energi itu seolah mengejarnya. Namun tak lama kemudian, cahaya samar itu meredup. Lanang terdiam mematung. Tangannya terkulai, bahkan tarikan napasnya hampir tak terlihat. Lima menit berlalu, dan ia masih tetap begitu.
Bryan mulai panik. Jangan-jangan tubuh Adam mengalami sesuatu. Ia mendekat, mencoba memastikan apakah Lanang masih bernapas. Namun tiba-tiba mata Lanang terbuka lebar dan menatap Bryan yang sudah terlalu dekat.
“Hei, menjauh! Mengapa kau harus mendekat seperti itu? Aku ini laki-laki sejati,” ketusnya.
Bryan tidak tersinggung. Ia segera mundur tanpa banyak protes.
“Jadi… apa yang kau lihat? Berhasil atau tidak?” tanya Bryan akhirnya. Rasa penasarannya mengalahkan logika. Ia sendiri heran, bagaimana bisa melontarkan pertanyaan seaneh itu, seolah benar-benar percaya Lanang mampu melakukan penerawangan.
Lanang mengangguk pelan.
“Bisa, sebenarnya. Tapi aku tidak tahu siapa yang tepat. Terlalu banyak orang yang datang ke sini setelah Adam diculik,” jawabnya polos.
Bryan sontak menegang.
“Apa? Diculik? Kau bisa melihat saat Adam dibawa pergi?”
“Tentu saja. Kejadiannya belum dua minggu. Apa yang terjadi masih bisa kulihat dengan jelas,” jawab Lanang santai, seolah membicarakan hal sepele.
Bryan mencondongkan tubuh, tatapannya tajam.
“Cepat katakan! Seperti apa wajah para penculiknya? CCTV gedung ini dirusak sebelum kejadian. Kami sama sekali tidak punya rekaman.”
Lanang terdiam sejenak, lalu menghela napas.
“Tidak ada yang bisa kau lihat. Mereka semua memakai topeng. Wajahnya tertutup.”
Nada bicaranya terdengar ragu. Bryan bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan, tetapi ia memilih diam. Rahangnya hanya mengeras menahan kecewa.
“Kalau begitu… bagaimana dengan pencuri sepatu itu? Apa kau bisa melihatnya jelas? Atau ada yang mencurigakan?” desaknya.
Lanang memicingkan mata, berpikir sebentar.
“Ada. Aku lihat dia keluar sambil membawa kotak sebesar ini. Itu kotak sepatu, bukan?” tanyanya sambil memperagakan ukuran dengan kedua tangan.
Bryan mengernyit.
“Iya, jelas itu kotak sepatu. Lalu?”
“Lalu… dia datang sendirian. Bahkan tidak perlu bersusah payah membuka pintu, tidak seperti aku.” Lanang mengernyitkan dahi.
Bryan langsung bingung. “Maksudmu apa?”
“Itu tadi. Untuk masuk rumah ini saja aku harus minta bantuan penjaga agar pintu bisa dibuka. Dia menekan sesuatu, baru terbuka,” jelas Lanang polos.
Bryan menghela napas keras, frustrasi.
“Password. Maksudmu kunci pintu digital itu.”
“Oh, iya. Itu. Pawon,” ucap Lanang sambil menepuk tangan, bangga dengan kepintarannya sendiri.
Bryan hanya bisa menutup wajah dengan tangan, hampir putus asa.
“Kalau terus begini, kepalaku bisa pecah sendiri gara-gara kau.”
Ia mendesis jengkel, lalu bertanya lagi.
“Jadi bagaimana dengan orang itu? Kau jelas melihat wajahnya, bukan? Seperti apa ciri-cirinya?”
Lanang berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Rambutnya pirang, dipotong cepak, agak berantakan. Dia memakai kaus putih dan celana hijau tentara. Sepatunya…”
“Sudah, hentikan. Itu tidak penting. Itu hanya seragam lapangan kami. Yang kumaksud ciri khusus, bukan pakaian atau rambutnya. Kau tahu sendiri, mereka semua berambut pirang,” potong Bryan dengan nada kesal.
“Ya mau bagaimana lagi. Hanya itu yang kulihat,” jawab Lanang apa adanya.
Kini, justru Bryan yang terdiam dengan bibir melongo.
***
tapi cuma dikit
Thor ada nggak mantra yang bisa bikin cepat kaya???🤣🤣
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya