Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Matahari sudah semakin rendah, hingga bayangan manusia di sore itu menjadi lebih panjang.
Atensi Elira yang berlarian di tengah hilir mudik kota membuatnya cukup jadi pusat perhatian. Selain penampilan berantakannya, keluarga Maeven pun tengah tersorot kabar tidak baik akibat berurusan dengan keluarga Vaelric.
Kini, Elira terlihat duduk selonjoran di trotoar, tampak begitu kelelahan sambil bersandar ke kursi halte bus.
Isu bahwa Elira tengah mengalami gangguan mental seolah terbenarkan oleh penampilannya. Beberapa orang sampai merekamnya dengan ponsel. Beberapa orang juga sebenarnya ingin mendekat untuk menolongnya, namun ragu.
"Astaga. Ternyata kabar berita itu benar?"
"Ternyata dia lebih cantik dari yang terlihat di internet! Meski kini terlihat berantakan."
"Dia sangat sinis, tapi kuakui matanya indah sekali."
"Aku penasaran bagaimana dia tersenyum dengan lesung pipinya di depan mataku."
"Jangan terlalu dekat."
"Sepertinya dia benar-benar gila."
"Ckckck. Kasihan sekali wanita itu."
"Awas jangan dekat-dekat, dia berbahaya."
"Piyamanya terlihat mahal. Namun dia berlarian tanpa alas kaki."
"Benar. Apalagi jika bukan karena gangguan jiwa?"
Suara-suara itu membuat Elira semakin menyorot tajam. Selain pasrah menggembel, nyatanya orang-orang telah mengnggapnya orang gila.
Elira yang sudah kelelahan berlari hanya masa bodoh dengan celotehan tak berguna itu.
Kruuuk
Perut keroncongannya berbunyi. Bagaimana tidak, sejak bangun tidur, ia belum makan sama sekali, kecuali menenggak air minum yang Axel sodorkan.
"Lapar sekali," gumamnya sambil memegang perutnya. Peran menggembel makin terasa saja ia lakoni.
Elira menghela panjang, menatap layar besar di sebuah gedung yang tinggi. Terpampang wajah penuh wibawa Cedric sebagai pemilik perusahaan induk yang membawahi beberapa anak perusahaan. Pantas saja insiden buruk soal Arsen berdampak begitu parah pada citranya. Media yang terlalu ikut campur seolah turut memihak pada Arsen untuk melihat kehancuran seorang Cedric.
"Bagaimana caranya aku keluar jika masalahnya seruwet ini," lirih Elira. Untuk kali pertama, ia mengeluh penuh pesimis dan malas memikirkan cara lain akibat terlalu lelah.
Elira menatap kaki jenjang mulusnya yang tak memakai alas. Lamunan itu kian tersentak saat ada seseorang yang menghampirinya.
"Siapa?" Elira mendongak saat orang itu mengulurkan tangan padanya.
Lelaki bersetelan jas dan berkacamata itu tersenyum. "Noel."
Pemandangan itu masih bertahan di tengah hilir mudik manusia yang sibuk di sore hari. Noel cukup lama bertahan dengan uluran tangannya, karena Elira cukup lama berpikir.
"Noel? Apakah aku melewatkan sesuatu? Siapa Noel?" batin Elira.
Noel berjongkok dan menatap Elira. "Ada yang bisa kubantu?"
Lelaki ini mengingatkannya pada Axel. Akibatnya, Elira jad waspada setiap kali ada orang yang terlihat baik padanya.
"Apa yang kau mau?" tanya Elira to the point.
Noel menatap wajah menawan Elira yang sesekali terganggu oleh helaian rambutnya yang tertiup angin.
"Aku adalah salah satu klien yang sering mengunjungi Tuan Cedric ke perusahaannya." Noel berusaha membuat Elira mengingatnya. "Kita pernah berpapasan di luar. Yah, memang hanya sekali," tambah Noel.
Elira terdiam. Apakah ia harus percaya?
"Kau sedang berusaha menghasutku?"
Noel tertawa dengan suara beratnya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"
Helaan singkat terdengar. Apalah pria ini. Elira sedang tidak mood untuk tertawa.
Kruuuukk
Elira melipat bibir. Ia berharap jika keramaian ini tak membuat perut laparnya terdengar. Namun, Noel tahu dari gestur Elira yang sontak memegang perutnya.
"Mau makan bersamaku?" tanya Noel.
Sontak Elira membuang wajah angkuh. "Tidak. Terima kasih."
"Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Elira sontak berdiri dan mundur menjauh. "Jangan menggangguku."
Noel yang mulanya berjongkok, kini ikut berdiri, membuat Elira mesti mendongak karena pria itu lebih tinggi darinya.
"Aku yakin jika hal ini cukup penting, karena imbasnya akan meredakan berita buruk tentang keluargamu." Noel tersenyum percaya diri. "Bahkan mungkin, tudingan buruk itu akan berpindah pada keluarga Vaelric."
Pupil Elira membesar. Tentu saja itu sangat menarik untuknya.
"Katakan. Apa itu?" desak Elira tidak sabar.
"Ini akan sedikit panjang. Ayo mengobrol di restoran, dan sebelum itu aku akan memberikanmu pakaian juga sepatu."
Elira berdecih. "Cih. Dasar modus."
Noel tertawa sambil menggaruk pangkal hidung yang sedikit terhalang batang kacamata. "Kau sedang menjadi buah bibir. Kondisimu yang seperti ini terlalu mencolok, Elira."
Elira terdiam, hingga menyanggupi tawaran Noel.
"Baiklah. Tawaranmu tidak terlalu buruk," jawabnya arogan sambil menerima masker yang Noel sodorkan padanya. Elira pun segera memakainya.
"Mobilku terpakir cukup jauh dari sini." Noel menatap kaki putih pucat Elira yang tak memakai alas kaki. "Naiklah ke punggungku," katanya seraya menepuk-nepuk punggungnya.
Wanita itu mengernyit. Pria ini, kenapa sok akrab sekali? Ia tak mengerti dengan orang-orang yang mendadak bersikap terlalu baik.
"Aku bisa jalan sendiri," teguh Elira, lalu melengos pergi meninggalkan Noel.
Pria itu pun berdiri, menatap punggung indah Elira yang meninggalkannya.
......................
📍 Ruang restoran, pelanggan VIP
"Halo, Tuan Cedric. Putrimu aman bersamaku," ucap Noel saat menelepon seseorang.
Elira yang sedang makan lahap mengawasi percakapan itu, sampai Noel menoleh sekilas padanya sambil tersenyum.
"Tentu. Putrimu sedang makan dengan lahap," katanya lagi menyahuti ucapan di seberang sana.
"Baik, Tuan."
Tut
Suara panggilan terputus terdengar. Noel kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jas hitamnya. "Ayahmu akan ke sini, dia menitipkanmu padaku."
Elira mengangguk-angguk, fokus pada Spaghettinya.
"Lwanjwut," kata Elira dengan kunyahan yang penuh di mulutnya.
Noel terkekeh. "Habiskan dulu, khawatir akan tersedak jika mendengarkan ceritaku."
Elira mengangkat tangan, seolah ia berkata bahwa hal itu tidak masalah.
Noel menarik ujung bibirnya. "Arsen musuh selimut keluarga Vaelric sendiri."
Elira terkejut mendengarnya, tapi tak sampai tersedak. Ia pun mempercepat kunyahan lalu lekas menelan makanannya.
"Kau jangan mengarang."
Pria itu tersenyum. "Kau tahu? Sebenarnya, dia adalah biang kerok dari seluruh buntut masalah yang menimpa keluargamu."
"Kenapa?" tuntut Elira.
"Balas dendam Aesen atas nama ayahnya terhadap keluargamu hanyalah sebuah alibi," ungkap Noel.
Elira sampai memiringkan kepala saking tak mengertinya. "Alibi? Kau jangan sok tahu, aku lebih tahu."
Dor!
Keduanya terperanjat. Noel sontak melindungi Elira saat sebuah peluru menembus ke ruangan tertutup itu.
"Sial! Apalagi ini?!" geram Elira.
Dor!
"Brengsek!" desis Noel, lalu menarik Elira bersamanya ke bawah meja yang satu meter di depannya terhalang oleh sebuah lemari kecil. "Diamlah di sini."
Drrrrrt
"Noel, ada sekelompok orang yang mengikutiku, mereka tahu aku akan menemui putriku. Lindungi dia. Tolong, Noel."
Tut
Noel memejamkan mata. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menelpon seseorang untuk menghentikan serangan dari luar, namun rasanya mustahil.
"Elira, sepertinya kita terjebak."