NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebebasan yang palsu

Tubuh Rosella masih terkurung dalam jarak yang nyaris tak memberinya ruang bernapas. Aroma dingin besi dan bayangan kejam dari tatapan Orion membekapnya lebih dalam daripada udara di sekitarnya. Detik-detik terasa menegang, jantungnya berdegup liar tak beraturan.

Orion menunduk, bibirnya hanya sejengkal dari telinganya. Suaranya berat, rendah, berbisik seperti ancaman yang tak butuh teriakan untuk menusuk tulang.

“Kau lihat. Bahkan jika dunia mengetuk pintu, kau tetap tidak bisa lari dariku.”

Rosella menahan napas, merasakan gemetar halus merambat di jemarinya yang terjepit antara gaun dan sofa. Hatinya ingin berteriak, tetapi lidahnya membeku antara marah dan takut, antara ingin melawan atau menyerah.

Ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini lebih keras, diikuti suara tegas yang penuh wibawa.

“Orion, apakah kau tidak mendengar? Aku masuk.”

Pegangan tangan Orion akhirnya melemah, ia berdiri dengan gerakan singkat, seolah tidak terjadi apa-apa. Dalam hitungan detik, situasi berubah. Rosella buru-buru bangkit, lututnya masih goyah, lalu mengambil nampan kosong dan membungkuk di depan meja, seolah-olah ia memang baru saja menyiapkan hidangan. Orion sudah kembali duduk di kursi kerja, tangannya meraih pena seakan sejak tadi hanya sibuk dengan catatan dan peta.

Pintu berderit. Grand Duchess masuk, gaun panjangnya berdesir menyapu lantai, mahkota kecil di kepalanya berkilau di bawah cahaya lilin. Tatapannya langsung menangkap sosok Rosella yang membungkuk di depan meja, lalu bergeser ke arah Orion yang bersandar tenang di kursinya. Sekilas, matanya menyipit, ada kilatan keterkejutan yang segera ia sembunyikan di balik senyum tipis.

“Oh, apakah aku mengganggumu?” tanyanya dengan nada anggun, meski sorot matanya tajam seperti sedang menimbang sesuatu. “Aku tidak mendapat jawaban setelah mengetuk. Rupanya ... kau sedang sibuk.”

Rosella menunduk lebih dalam, sekadar menjaga dirinya tetap terlihat patuh. Orion hanya mengangkat alis tipis, kemudian menjawab datar, “Aku sedang makan malam. Tidak lebih dari itu.”

Grand Duchess melangkah masuk, gerakannya tenang namun penuh kuasa. “Baguslah. Karena aku datang dengan membawa kabar yang menurutku akan menarik untukmu, Orion.” Ia berhenti di sisi meja, menatap lurus pada pria itu. “Kaisar dan beberapa anggota dewan tinggi telah memutuskan. Saatnya bagimu mempertimbangkan pendamping hidup.”

Rosella tetap diam. Wajahnya kaku, tetapi pikirannya tidak menaruh arti apa pun pada kabar itu. Ia hanya menunduk, menjaga sikap, karena urusan seperti itu jelas bukan dunianya.

Orion meletakkan pena, tatapannya dingin namun ada kilatan samar yang sulit ditebak. “Pendamping hidup?”

“Ya,” jawab Grand Duchess mantap. “Kau sudah menolak terlalu lama, bersembunyi di balik alasan perang dan strategi. Kekaisaran membutuhkan stabilitas, Orion. Dan kehadiran seorang Duchess di sisimu akan menjadi lambang kestabilan itu.” Ia berhenti sejenak, matanya berkilat penuh perhitungan. “Nama yang dipertimbangkan adalah Lady Evelyne Marclair. Ia cukup berpengaruh, memiliki silsilah kuat, dan dianggap pantas mendampingimu.”

Keheningan turun, tebal dan menyesakkan. Rosella sekadar menunduk lebih dalam, ia mencengkeram nampan kosong tanpa suara.

Orion bersandar, jemarinya mengetuk ringan meja kayu. Tatapannya tidak lepas dari Grand Duchess, suaranya datar namun setiap kata mengandung beban.

“Jadi kalian semua ingin menjodohkanku? Seperti bidak catur yang bisa dipindahkan sesuka hati?”

Grand Duchess tersenyum samar. “Bukan seperti itu. Kau bagian penting Kekaisaran, Orion. Darah, kekuasaan, dan reputasimu harus mengakar kuat. Itu tidak mungkin terjadi jika kau terus hidup sendirian dalam bayang-bayang perang.”

Orion menghela napas lirih, lalu memalingkan wajah ke arah Rosella yang masih membungkuk. Tatapannya hanya sepersekian detik, dingin, menguasai, namun samar-samar seolah menyimpan rahasia yang tak ingin dibagi.

“Aku akan memikirkannya,” jawab Orion akhirnya, datar.

Grand Duchess mengangguk puas. “Bagus. Itulah jawaban yang ingin kudengar. Karena waktu tidak menunggu siapa pun, bahkan seorang Duke.”

Ia lalu berbalik, gaunnya kembali berdesir. Sebelum melangkah keluar, ia menambahkan dengan nada ringan namun penuh sindiran.

“Dan untuk urusan makan malam, aku harap kau menikmati hidanganmu, tanpa gangguan apapun.”

Tatapannya singkat jatuh ke arah Rosella, senyum samar yang sulit dimaknai sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan.

Pintu tertutup. Sunyi kembali merayap. Rosella masih membungkuk, tubuhnya kaku, sementara Orion hanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja menelan bayangan Grand Duchess. Lalu perlahan, bibirnya terangkat tipis.

“Tidak bisa lari dariku,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, tapi cukup jelas untuk membuat Rosella menegang sekali lagi.

~oo0oo~

Punggung Rosella terasa kaku, seakan tulang-tulangnya membatu. Baru setelah napas berat Orion terdengar lagi dari kursi, ia sadar harus segera bergerak. Perlahan ia menarik diri, meraih nampan kosong, dan melangkah mundur dengan kepala tertunduk.

“Letakkan di meja samping,” suara Orion tiba-tiba memecah kesunyian. “Aku akan menyelesaikan makan malamku nanti.”

Rosella menurut, meletakkan nampan itu di meja kecil dekat dinding. Jemarinya bergetar halus, namun ia berusaha keras agar tidak menimbulkan denting porselen yang bisa menyingkap kecemasannya.

Ia berniat memohon izin untuk pergi, sekadar keluar dari lingkaran dingin tatapan itu. Namun sebelum bibirnya sempat terbuka, suara berat Orion kembali menahan langkahnya.

“Aku belum menyuruhmu pergi. Tetaplah di sini.”

Langkah Rosella terhenti seketika. Jantungnya kembali berdentum keras. Ia berdiri kaku di sudut ruangan, seperti bayangan yang dipaksa menunggu, sementara Orion menunduk menulis sesuatu di atas peta seolah keberadaannya tak lebih dari perabotan yang tidak boleh bergerak tanpa izin.

Waktu merayap lambat. Setiap detik hanya diisi suara pena Orion yang menggores kertas, diselingi ketukan jarinya di atas kayu meja. Rosella menunduk semakin dalam, menahan letih yang menumpuk, sementara ketakutan menjerat dadanya semakin erat.

Akhirnya, Orion berhenti menulis. Ia menegakkan tubuh, tatapannya jatuh ke arah Rosella yang masih berdiri patuh. Ada kilatan samar di matanya, bukan sekadar dingin, melainkan sorot yang seakan mengukur seberapa jauh gadis itu mampu bertahan.

Perlahan ia bangkit dari kursi. Mantel hitamnya berdesir lembut ketika tubuh tegapnya bergerak. Suara langkah sepatunya menghantam lantai batu, mantap dan berat, semakin mendekat hingga jaraknya hanya sejengkal dari Rosella.

Rosella menahan napas. Jemarinya yang saling menggenggam di depan tubuh hampir membiru karena terlalu kencang mencengkeram. Ia menunduk, tapi bisa merasakan bayangan pria itu menutupi cahaya lilin yang berderet di meja.

Orion berhenti tepat di hadapannya. Sesaat ia hanya menatap tanpa kata, menegakkan ketegangan yang seolah menindih udara di antara mereka. Hingga akhirnya, suara rendahnya pecah, berat dan menusuk.

“Lihat dirimu. Diam, patuh, menunggu. Begitulah seharusnya kau bersikap di hadapanku.”

Rosella tetap bungkam, meski tubuhnya bergetar kecil.

Orion mencondongkan tubuh, suaranya turun menjadi bisikan, namun setiap katanya menghujam kuat ke dalam dada Rosella.

“Jangan pernah mengira kau punya pilihan. Aku yang menentukan kapan kau bicara, kapan kau bergerak, bahkan kapan kau boleh pergi dari ruangan ini.”

Ia kembali meluruskan punggung, sorot matanya menusuk dalam sesaat sebelum berbalik perlahan. Lalu ia kembali ke kursinya, duduk, dan mengambil pena seakan pembicaraan barusan hanyalah hal sepele.

Hening kembali menjerat ruangan. Rosella tetap berdiri di sudut, tubuhnya kaku, napasnya berat namun tertahan. Yang tersisa hanya dentum jantungnya sendiri di telinga, berpadu dengan gema kata-kata Orion yang mustahil ia lupakan.

Orion kembali menulis di atas peta, seakan sepenuhnya melupakan keberadaan gadis yang ia tahan di pojok ruangan. Namun justru itulah yang membuat Rosella semakin tersiksa. Dipaksa diam, dipaksa menunggu, tanpa tahu kapan ia akan dilepaskan.

Lilin-lilin di meja mulai meredup, bayangan panjang menari di dinding batu. Rosella menelan ludah, tenggorokannya kering. Ia ingin menggerakkan kaki, ingin menoleh sekilas, tapi tak berani. Ia tahu setiap gerakannya bisa memancing teguran dingin itu lagi.

Akhirnya, setelah entah berapa lama, kursi Orion kembali bergeser. Ia menegakkan tubuhnya, menaruh pena, lalu bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatapannya kembali jatuh pada Rosella.

“Cukup.” Suaranya dalam, tajam.

Rosella terangkat sedikit kepalanya, jantungnya berdegup kencang menanti kata berikutnya.

“Pergilah.”

Ia segera membungkuk dalam, lalu melangkah ke pintu dengan langkah terburu, hampir tersandung oleh ujung gaunnya sendiri. Tangannya gemetar ketika menyentuh gagang pintu.

Namun tepat sebelum ia mendorongnya, suara Orion kembali menyambar, rendah tapi jelas menusuk ke telinga.

“Ingat, bahkan ketika aku membiarkanmu pergi, kau tetap tidak pernah benar-benar bebas dariku.”

Tubuh Rosella membeku. Nafasnya tercekat, jemarinya kaku menekan besi dingin gagang pintu. Butuh waktu baginya untuk mengumpulkan keberanian membuka pintu dan melangkah keluar.

Lorong gelap menyambutnya, sunyi dan dingin. Rosella berjalan cepat, hampir berlari kecil, seolah ingin menjauh sejauh mungkin dari bayangan ruangan itu. Namun kata-kata Orion terus bergema di kepalanya, menguntit langkahnya, menempel erat seperti bayangan yang tak bisa ia buang.

Dan di balik pintu yang tertutup kembali, Orion duduk lagi di kursinya. Senyum tipis melintas di bibirnya, samar namun berbahaya. Ia menatap peta di meja, tetapi matanya kosong, seolah pikirannya tidak lagi pada garis-garis wilayah yang tergambar di sana, melainkan pada sesuatu yang lain.

Sesuatu yang baru saja ia kunci, tanpa rantai, tanpa sel, namun lebih kuat dari itu.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!