Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Kebenaran yang Tersembunyi
Udara malam terasa sesak ketika Nayla duduk sendirian di ruang kerjanya. Angin dari ventilasi mengalir pelan, seakan membawa serpihan kenangan yang enggan pergi. Matanya terus terpaku pada satu berkas lusuh di meja biodata militer yang sejak kemarin membebani pikirannya. Nama di sana. Adrian Valerio. Namun ada sesuatu yang terasa janggal.
“Ada yang tak pas,” bisik Nayla lirih.
Kertas itu kini lecek dalam genggamannya, sudah berkali-kali ia buka dan perhatikan. Wajah dalam foto itu begitu mirip dengan Adrian. Tapi... ada nuansa yang berbeda. Bukan sekadar bentuk mata atau potongan rambut. Lebih dalam dari itu sebuah getaran naluriah yang membuat hatinya menolak menerima semuanya begitu saja.
Beberapa jam sebelumnya, Nayla baru saja kembali dari markas pusat setelah meninjau pelatihan rekrutan baru. Di lantai dua, ia sempat mendengar seseorang berbisik, “Azrael…” Suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat detak jantungnya kacau.
Ia menoleh cepat, matanya menangkap sosok pria muda di ujung tangga. Berdiri dengan tegap, tubuhnya memancarkan aura militer. Tapi wajah itu… wajah yang seolah hidup dalam mimpinya selama ini.
“Adrian?” ucap Nayla, nyaris tak bersuara.
Namun pria itu hanya memandangnya sebentar lalu berkata, “Saya Azrael.”
Kini, di ruang yang sunyi, Nayla memanggil tim IT-nya. Ia ingin jawaban.
“Selidiki lebih dalam tentang pria ini. Periksa ulang data militernya, dokumen medis, semuanya. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya.”
Beberapa jam kemudian, Harlan, analis paling tepercaya Nayla, muncul dengan raut wajah yang serius.
“Nona Nayla,” katanya pelan, “kami menemukan informasi tambahan. Nama aslinya bukan Adrian Valerio... Dia bernama Adrian Villon.”
Deg.
Dunia Nayla seakan berhenti berputar.
“Adrian... Villon?” ulangnya, suaranya patah.
Harlan mengangguk pelan. “Ya. Dia memiliki saudara kembar. Adrian Villon adalah tentara elit yang terlibat dalam misi rahasia dua tahun lalu. Ia terluka parah, mengalami trauma kepala, dan kehilangan ingatannya. Setelah pulih, satu-satunya nama yang ia ingat adalah ‘Azrael’. Nama itu kemudian digunakan sebagai identitas barunya.”
Nayla merasa seluruh tubuhnya dingin. Jika ini benar... berarti selama ini, pria yang ia yakini mati demi dirinya bukanlah Adrian yang sebenarnya?
“Lalu, Adrian yang asli... di mana?” tanyanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
“Tidak ada laporan kematian resmi. Tapi juga tidak ada jejak keberadaan. Bisa jadi... dia menghilang.”
Pikirannya berdenyut hebat. Apa selama ini ia hidup dengan keyakinan palsu? Atau... Tuhan sedang menyingkap tabir lain yang lebih gelap?
Ia melangkah perlahan keluar ruangan. Di lorong markas, bayangan masa lalu seolah hidup kembali sentuhan hangat, bisikan terakhir, tubuh tergeletak dengan darah mengalir di dada. Tapi... jika itu bukan Adrian Villon, lalu siapa yang mati?
Hari itu, Nayla kembali ke lokasi pelatihan. Ia meminta Azrael datang ke ruang briefing khusus. Saat pria itu masuk, Nayla mengamatinya dalam diam. Ia mencoba membaca jawaban dari setiap ekspresi, setiap napas.
“Azrael… bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Azrael mengangguk, diam.
“Pernahkah kau merasa… seolah kau punya saudara kembar?”
Azrael tampak bingung. Tangan kanannya menyentuh pelipis. “Aku... tidak tahu. Aku hanya terbangun di rumah sakit, dunia terasa asing. Tapi nama Azrael... itu muncul begitu saja di pikiranku.”
Nayla hampir menangis. Pria ini adalah korban. Korban dari permainan nasib yang rumit dan tak terduga. Dan sekarang ia harus memilih antara cinta lama yang belum tuntas, dan kenyataan baru yang tak bisa ditolak.
Setelah Azrael keluar, Nayla tetap di ruangan itu. Ia memandangi jendela, melihat langit yang berubah kelam.
“Adrian... di mana kamu sekarang?”
Satu hal sudah pasti, ia tak bisa berhenti di sini. Penyidikan harus berlanjut. Ia akan menggali semua kemungkinan, menembus kabut masa lalu, meski jalan yang ditempuh akan penuh luka. Terlalu banyak yang telah dikorbankan, dan ia tak akan tertipu oleh bayangan semu lagi.
Di luar sana, di tempat yang entah di mana, mungkin Adrian yang asli masih hidup. Atau mungkin tidak. Tapi Nayla bertekad untuk menemukan kebenarannya tak peduli seberapa menyakitkan jawabannya.