NovelToon NovelToon
Mantan Terindah

Mantan Terindah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:91k
Nilai: 5
Nama Author: Lailatus Sakinah

Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Tak Terduga

Hujan sore baru saja berhenti saat Maryam keluar dari mobil online yang dipesannya melalui aplikasi di depan Blue Jasmine Café. Aroma kopi hijau khas kafe itu langsung menyambut. Ia menyesap udara lembab, mencoba melegakan pikiran usai rapat dengan investor boutique-nya.

Saat membuka pintu, ia mendengar denting bel dan seseorang yang tidak asing mendekat ke meja tempat Maryam berada.

Satu suara tampak dikenalnya, dalam, dan sedikit gugup. Ia menoleh, menahan detak jantung saat melihat Ibra berdiri di sudut, memegang secangkir kopi.

Matanya menatapnya. Semuanya seperti slow-motion, tatapan itu, kerlip lampu kafe, hingga denting sendok di gelas. Waktu seolah berhenti.

“Maryam ...” suaranya pelan tertahan.

Ibra melangkah mendekat, suara berdebar tak disembunyikan. Ketika Maryam memberi anggukan singkat, Ibra langsung menarik kursi di seberang meja kecil itu.

“Boleh… aku duduk di sini?" tanyanya hati-hati.

Maryam mengangguk pelan, kedua tangannya menggenggam pegangan gelas di depannya.

“Sudah lama, ya.” ucapnya pelan.

“Begitu banyak yang belum sempat dijelaskan. Aku… aku ingin bilang, aku bukan lelaki yang sama dengan yang pernah kamu kenal dulu.” Ibra menyandarkan tubuhnya dengan tenang, tatapan tidak lepas dari wanita yang selalu dirindukannya.

“Kalau bukan masa lalu, berarti kamu dari…” Maryam membalas dengan menatap dalam.

“Masa depan. Aku berharap… kamu bisa memberi aku kesempatan—meski sedikit.” Ibra tersenyum lega, sementara Maryam menarik nafas dalam.

Musik jazz lembut mengalun, iringi aroma kopi dan suara sepatu berderit di lantai kayu. Mereka duduk beberapa saat dalam keheningan hangat.

“Aku tahu, belum terlambat mungkin sekadar kata mutiara. Tapi dari hati aku yakin selama masih ada ruang untuk ada harapan dan usaha, aku akan berjuang. Bukan untuk memaksa, tapi untuk menunjukkan… betapa aku telah berubah.” ucapnya tegas namun penuh kelembutan.

“Akang benar-benar sudah mengerti… ya. Ini bukan sekadar soal perasaan, tapi tentang memberi ruang, menunjukkan penghormatan, kesiapan untuk setara, bukan menaklukkan.”

“Iya, tepat. Aku telah dewasa dengan caraku sendiri, belajar dari kesalahan. Kalau kamu kasih aku waktu, maka aku janji aku akan jadi lebih baik. Bukan yang dulu.”

“Akang, aku… aku dibilang banyak orang bahwa aku terlalu parno. Namun setelah menerima tawaran Mas Agam, lalu mendengar kamu berkata dari masa depan… aku tak bisa langsung jawab ya atau tidak.”

“Aku paham. Aku di sini bukan minta jawab cepat. Aku cuma ingin… kamu tahu kalau aku siap.”

***

Beberapa hari setelah pertemuan tidak sengaja itu, Maryam pulang ke Garut keluarga besar Maryam berkumpul di ruang tengah rumah. Lampu hangat, sofa empuk, tujuh orang dewasa duduk mengelilingi meja kecil—dua orang tua, dua kakak, dua ipar dan Maryam di tengah. Sementara keponakan-keponakan Maryam tengah asik membuka oleh-oleh yang dibawa Maryam di ruang lainnya.

Suasana penuh kehangatan.

“Iam, bagaimana pertemuan dengan Nak Ibra?” sebelumnya Maryam sudah menceritakan pada Ambunya perihal pertemuan yang tidak disengajanya dengan Ibra beberapa hari yang lalu.

“Ambu… dia bilang dia bukan masa lalu lagi. Bahwa masih ada harapan. Tapi dia tak menuntut lebih.” sejak dulu putri bungsu dari tiga bersaudara itu memang selalu terbuka pada keluarganya, semua orang menyimak apa yang disampaikan Maryam.

“Abah tahu kamu pernah terluka, tapi orang bisa berubah. Apalagi kalau dia sudah belajar dari luka sendiri.” Abah yang pertama menanggapi.

“Teteh pernah lihat caption Instagram dia: ‘Tak ada kata terlambat selama masih ada kesempatan untuk berjuang’. Beda rasanya kalau kata itu keluar dari mulutnya langsung.” Khadijah, kakak pertama Maryam menimpali.

“Nah! Kalau itu kata tulus, dan bukan manis doang, kamu rasa gimana?” Kakak kedua Aisyah menyahut dengan antusias dan senyum jenaka.

Maryam mengerjap, merasa ditodong oleh sang kakak.

“Teteh ..." rajuknya,

"Jujur saja Iam."

"Iam… merasa hangat. Tapi juga takut. Ini besar. Bukan sekadar asa.”

“Iam, kalau hatimu bilang sudah ada ruang, izinkan dirimu juga menerimanya. Kita di sini mendukung apapun keputusanmu.” Ambu menimpali sambil menggenggam tangan putri bungsunya itu.

“Terlepas dari kesalahan yang dilakukannya di masa lalu, dia pria berpendidikan, bekerja keras, punya integritas. Toh kita masih keluarga. Kalau hatimu bilang dia masih layak, Abah dukung.”

“Tapi pelan-pelan saja, pikirkan dengan matang, jangan lupa minta petunjukNya melalu salat Istikharah Iam." Khadijah mengingatkan,

“Aku bantu ademin suasana, ya! Kalau kamu sakit hati lagi nanti… aku yang jadi penghibur!” seloroh Aisyah, kakak kedua Maryam memang selalu mencairkan suasana.

Mereka tertawa ringan, namun suasana tetap hangat, penuh empati.

Waktu beranjak malam, lampu makin remang. Mereka bertiga, Maryam dan kedua kakaknya duduk di sofa, orang tua ke ruang televisi menemani cucu-cucu dan menantu mereka, sejak dimulai obrolan kedua kakak ipar Maryam memilih jadi pendengar dan mendukung apa yang dikatakan istri-istri mereka serta Abah dan Ambu.

“Iam, Teteh boleh jujur gak?" tanya Khadijah hati-hati, Maryam pun mengangguk.

"Sepertinya Iam masih ragu, tepatnya seperti masih trauma, benar atau salah feeling Teteh?" Khadijah menggenggam satu tangan adik bungsunya itu.

“Iya Teh, Iam sebenarnya takut… kalau Iam ambil kesempatan ini, Iam nanti terluka lagi. Tapi kalau Iam menolak kemungkinan… apakah Iam harus menahan cinta yang telah tumbuh lagi? Bingung.” matanya memanas hingga setetes air mata berhasil lolos membasahi pipinya.

“Kita coba bahas plus minus ya: plusnya, potensi bahagia bareng orang yang benar-benar paham kamu. Minusnya… kalau tidak berhasil, kamu patah lagi. Tapi itu wajar. Kita tim Abah, Ambu, da di belakangmu.” Aisyah menguatkan.

“Terima kasih Teteh-Teteh, Iam nggak ingin terburu. Iam hanya ingin kesempatan… bukan jawaban pasti.”

“Ya udah. Kita kasih jarak waktu boleh seminggu diskusi bareng, boleh juga kamu ketemu Ibra lagi. Jangan tutup pintu.” saran Aisyah.

“Kita belanja besok, biar pikiran ga di rumah terus.” lanjutnya, disambut tawa ketiga bersaudara itu.

Beberapa hari kemudian, Maryam sudah kembali ke kota Kembang. Dia harus bersiap untuk acara launching produk barunya. Setelah petang menjelang Maryam berdiri di balkon lantai dua rumah yang kini telah resmi dibelinya, memandangi taman kecil hasil kreasinya.

Jantungnya berdetak cepat, memikirkan undangan yang dia siapkan untuk Ibra. Ia menutup mata, mengambil napas dalam.

“Kang Ibra bilang dia datang dari masa depan, yang aku lihat bukan hanya janji, tapi usaha. Aku takut… tapi hatiku dipenuhi keinginan untuk percaya sekali lagi.” monolog hatinya.

Proses, bukan keputusan segera, itulah yang diinginkan Maryam saat ini. Semua setuju perlahan, tidak ada deadline emosional, semuanya sepakat soal membuka kesempatan untu Maryam kembali menerima Ibra.

1
C I W I
keren ceritanya, tata bahasanya enak dibaca walaioin ada bbrp missthypo spt nama uh kadang2 jd Raka ato Inayah .. semangat kk author .. ditunggu cerita lain nya yaa
Rabiatul Addawiyah
Semua bahagia Iyam sdh kembali😍
Rabiatul Addawiyah
🥹🥺😭😭
Rabiatul Addawiyah
sedih ngebayangin hal seperti Maryam & Ibra
penapianoh: Halo kak baca juga d novel ku 𝙖𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙜𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profilku ya. trmksh🙏
total 1 replies
dyah EkaPratiwi
Alhamdulillah akhirnya Maryam kembali
viemah
ditempeli wanita yg kau idam2 harusnya x bikin kau risih ibra..sblm cerai kau bersukacita tuh dkejar2 mntan terindah
viemah
sinting memang...didepan istri pura2 x akrab sma pelakor tpi dibelakang mesra😤
viemah
kalo menurut sya kata cuma teman yg diucap berulg2 itu seperti penyangkalan dri perasaan yg sbnr yg mna berarti ibra sadar msh sgt memuja tasya tpi jga menginginginkn maryam
Nurhartiningsih
lama nggak update... sekali nya update bikin nyesek
dyah EkaPratiwi
😭😭😭 udah bikin nangis aja
Sukliang
untuk apa suami plin plan
Sukliang
sedih thor
Sukliang
kasihan Maryam
nangis aku
Rabiatul Addawiyah
Lanjut thor
Yhanie Shalue
bahagia selalu ya Maryam, ibra sekeluarga 🥰
dyah EkaPratiwi
Alhamdulillah
Yhanie Shalue
semoga semuanya baik2 aj baik ibunya dan juga debaynya🥰
dyah EkaPratiwi
Alhamdulillah sehat2 selamat sampai melahirkan
Rahmawati
Maryam banyak yg sayang km
Rabiatul Addawiyah
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!