Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Devan menghela napas kasar, sebuah bunyi berat yang menggema di antara mereka, mengungkapkan gejolak batinnya. Ia ingin sekali mengungkapkan rahasianya, menjelaskan semua pada Nara, tetapi waktu terus berjalan.
Nara memang menunggu penjelasan, tetapi tuntutan pekerjaan juga menanti.
Dengan suara yang lembut, hampir berbisik, Devan berkata, “Kita bicarakan ini nanti, setelah pulang kerja. Kamu nggak mau terlambat, ‘kan?” Ada sebuah rayuan halus dalam suaranya, sebuah usaha untuk menenangkan badai yang mengamuk di hati Nara.
Kekesalan Nara sedikit mereda, tergantikan oleh kesadaran akan waktu. Ia juga tak ingin membuat masalah di kantor, apalagi kalau sampai kehilangan pekerjaannya.
Perdebatan itu terhenti, bukan karena terselesaikan, melainkan karena tertunda. Sebuah gencatan senjata sementara, di mana ketegangan masih membayangi, menunggu ledakan berikutnya di waktu yang lebih tepat. Sebuah bom waktu yang siap meledak, menunggu saat yang tepat untuk mengungkap kebenaran yang terpendam.
**
**
Devan mengusap wajahnya yang lelah. Laporan Dio tergeletak di atas meja, lembaran-lembaran kertas itu seakan menertawakan ambisinya.
Angka-angka itu menusuk matanya: 15% saham Antariksa Hotel yang sudah berhasil ia kuasai, 5% lagi dalam proses negosiasi yang menegangkan. Sisanya? 35% kokoh di tangan keluarga Danu, pamannya sendiri. Sementara modal mereka untuk membeli saham lain, hampir habis.
Dio berdiri di sampingnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Pak Devan,” suaranya pelan, “kita hampir kehabisan dana jika ingin membeli saham lagi untuk mengalahkan milik Pak Danu. Angkanya sangat jauh berbeda dengan milik kita.” Ia ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Mungkin … sebaiknya kita memberitahu Pak David?”
Devan mendongak, matanya tajam. Ia mencengkeram pulpen di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. “Tidak, Dio,” tolaknya tegas, suaranya bergetar menahan amarah. “Ini rencanaku sendiri. Aku tidak ingin melibatkan Papa.” Ia merasa panas di wajah, seolah-olah kegagalan akan menodai harga dirinya. Ini bukan sekadar bisnis; ini pertaruhan harga diri.
Dio mengangguk pelan, mengerti. Ia tahu betapa keras kepala dan ambisius Devan. Namun, waktu terus berjalan.
“Pak Devan.” Dio melanjutkan, suaranya lebih rendah lagi, “dua bulan lagi ada rapat pemegang saham. Mereka akan mengajukan Rendra, anak Pak Danu, sebagai CEO baru. Kita harus bergerak cepat. Kita perlu suara yang cukup untuk melawan mereka. Apa kita bisa dapat suara lebih?”
Devan terdiam, menatap kosong ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta tampak begitu jauh, sejauh mimpi-mimpinya yang kini terasa begitu rapuh. Ia merasakan tekanan yang luar biasa, sebuah beban berat yang menindih dadanya. Tangannya masih menggenggam pulpen dengan erat, jari-jarinya terasa kaku.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lalu, dengan suara berat, Devan berkata, “Dio, aku butuh waktu. Keluarlah dulu.” Suaranya terdengar dingin, tanpa sedikit pun kelembutan.
Dia sendirian sekarang, berhadapan dengan rencananya sendiri, dengan risiko dan tantangan yang begitu besar. Ia harus menemukan jalan keluar, sebelum semuanya terlambat. Tekanan di dadanya semakin terasa, menekan-nekan hatinya yang mulai dipenuhi oleh rasa cemas.
**
Anya, dengan riang gembira, mengoceh tanpa henti tentang proyek yang baru saja ia selesaikan. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, mencerminkan betapa lelahnya ia bekerja selama beberapa hari terakhir. Aroma wangi parfum vanila samar-samar tercium dari kulitnya.
Di sampingnya, Nara hanya mengangguk sesekali, jari-jarinya lincah menari di atas layar ponsel. Matanya fokus pada berita-berita online, mencari informasi tentang Devan, tentang kejadian semalam yang mengubah suaminya menjadi sosok yang disebut Bara. Ia berusaha keras untuk tidak terlihat gugup, pura-pura asyik dengan ponselnya.
Lift perusahaan itu terasa sempit dengan kehadiran mereka berdua, beberapa karyawan dan seorang pria yang baru saja masuk. Dio, sekretaris Devan, menatap Nara dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya yang sedikit melotot menjelaskan rasa terkejutnya akan kemunculan Nara di sana.
Anya, yang tidak menyadari ketegangan antara Nara dan Dio, menyapa Dio dengan ramah, “Hai, Mas Dio! Mau ke mana nih?”
Nara, jantungnya berdebar, mengeleng pelan sebagai jawaban atas kode dari Anya yang menyenggol lengannya dengan siku. Ia tak boleh ketahuan karyawan lain. Janjinya pada Devan masih terngiang di telinganya.
Pintu lift terbuka di lantai dasar. Dio, yang masih menatap Nara dengan penuh selidi, bertanya, “Mau ke mana, Mbak Anya?”
“Ah, Mas Dio.” Anya menjawab dengan senyum lebar, “Aku bosan banget sama makanan kantin. Aku dan Nara mau makan siang di restoran daging bakar dekat sini, yang enak banget itu.”
Dio tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, “Wah, kebetulan saya juga lagi lapar. Boleh ikut?”
Nara kembali menggeleng, kali ini lebih kuat, tetapi Anya dengan genit menjawab, “Boleh dong, Mas! Makin ramai makin meriah!” Ia menarik lengan Nara, menariknya keluar dari kantor.
Mereka berjalan bertiga menuju restoran. Langkah Nara terasa berat. Ia tahu ini bukan ide yang bagus, tetapi ia tak bisa menolak Anya.
Aroma daging bakar yang menguar dari restoran semakin dekat, mencampur aduk dengan rasa cemas yang menghimpit dadanya. Ia harus berhati-hati. Rahasianya tidak boleh terbongkar. Kehadiran Dio di antara mereka adalah sebuah ketidakpastian yang menggantung di udara, sebuah ancaman yang tak terlihat tetapi terasa nyata.
Aroma daging bakar yang harum, kini memenuhi indra penciuman mereka begitu tiba di restoran itu. Setelah memesan, Anya buru-buru berpamitan ke toilet, meninggalkan Nara dan Dio berdua dalam keheningan yang tegang.
Tanpa basa-basi, Nara langsung menyimpan ponselnya, matanya menatap Dio dengan intens. “Dio,” suaranya sedikit bergetar, “Apa yang terjadi dengan Devan? Apa kamu tahu sesuatu tentang kejadian di klub Heaven malam itu?”
Wajah Dio menegang. Ia mengusap bibirnya, seakan-akan menahan sesuatu. “Bu Nara,” katanya pelan, suaranya terdengar berat, “Saya tidak bisa mengatakan apa pun. Kecuali atas perintah Pak Devan.”
Jawaban Dio membuat Nara menggeram dalam hati. Kecewa dan kesal bercampur menjadi satu. “Kau ini—”
Dio buru-buru memotong, “Dengar, Bu Nara. Ini masalah antara suami istri. Lebih baik, bicara langsung padanya. Saya tidak bisa ikut campur.”
Nara mencebik, kemudian mengambil kembali ponselnya. Jari-jarinya kembali menari di atas layar, tetapi matanya tampak kosong, tak fokus pada apa pun.
Dio memperhatikannya, kemudian bertanya dengan hati-hati, “Apakah Pak Devan sudah tahu Bu Nara bekerja di sini?”
Pertanyaan Dio seakan tak didengar. Nara terpaku pada sebuah artikel yang baru saja muncul di layar ponselnya.
Judulnya sederhana, tetapi membuat jantung Nara berdebar kencang: Memahami Dissociative Identity Disorder (DID): Lebih dari Sekadar Kepribadian Ganda. Gambar ilustrasi otak manusia tertera di samping judul, menyertai penjelasan singkat tentang gangguan identitas disosiatif, gangguan yang mungkin … mungkin saja, diidap oleh Devan.
Tangan Nara seketika gemetar saat ia mulai membaca artikel tersebut, seakan-akan sebuah kebenaran yang mengerikan mulai terungkap di hadapannya.
***
Yang bilang kesurupan kemarin siapa 🙃🙃 yuk, bantu bujuk Mas Dev ke psikiater 🤭🤭