Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 (Part 2)
Dua malam berikutnya adalah neraka sekaligus surga bagi Bunga. Arga berubah menjadi klien paling menyebalkan di dunia.
"Font apa ini? Terlalu ramai. Ganti."
"Jangan terlalu banyak teks di satu slide. Orang nggak akan baca. Tunjukkan gambarnya, biarkan gambarmu yang bicara."
"Intonasi kamu datar. Ulangi. Beri penekanan di kata 'efisien' dan 'berkelanjutan'."
"Kontak mata! Jangan lihat ke lantai! Anggap Mas ini direktur utama yang siap membatalkan proyekmu kalau kamu kelihatan nggak yakin."
Bunga nyaris menangis beberapa kali. Arga sangat kejam. Tapi Bunga juga sadar, semua koreksinya benar. Ia dibantai habis-habisan, tapi ia juga belajar dengan sangat cepat.
Pada Kamis malam, setelah latihan terakhir mereka, Bunga sudah bisa presentasi dengan lancar, percaya diri, dan meyakinkan.
"Gimana, Mas?" tanyanya, napasnya sedikit terengah.
Arga menatapnya lama. "Sudah lebih baik," katanya. Itu adalah pujian tertinggi yang bisa Bunga harapkan.
"Besok," kata Arga, "setelah presentasi, langsung pulang. Kasih tahu Mas alamat persisnya di mana. Kalau gedungnya searah sama jalan pulang Mas, nanti Mas jemput."
Tawaran itu datang begitu saja. Logis. Praktis. Dan sangat menenangkan.
"Beneran, Mas?"
"Iya. Biar kamu nggak usah desak-desakan di KRL kalau pulangnya kemalaman," kata Arga. "Sekarang, tidur. Kamu butuh istirahat."
Jumat sore.
Bunga berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia mengenakan blus putih rapi, rok hitam, dan blazer abu-abu pinjaman dari Vina. Ia terlihat... profesional. Jantungnya berdebar kencang.
Presentasinya akan dimulai satu jam lagi.
Ia keluar kamar. Arga sedang duduk di sofa, sepertinya menunggunya.
"Mas, Bunga berangkat," katanya.
Arga berdiri. Ia menatap Bunga dari atas ke bawah. "Oke. Rapi."
Lalu ia berjalan mendekat. Ia merapikan kerah blus Bunga yang sedikit miring. Jarak mereka begitu dekat hingga Bunga bisa melihat pantulan dirinya di mata Arga.
"Nggak usah gugup," kata Arga pelan, tangannya masih di kerah Bunga. "Kamu sudah kuasai materinya. Ingat tiga poin utama yang Mas ajarkan. Dan jangan lupa... bernapas."
Bunga hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat.
Arga melepaskan tangannya. "Alamatnya sudah kamu kirim, kan?"
"Sudah, Mas."
"Gedungnya memang searah. Nanti Mas jemput di lobi bawah jam enam. Jangan keluyuran ke mana-mana setelah selesai."
"Iya, Mas."
Bunga berangkat dengan taksi online, hatinya dipenuhi campuran antara gugup dan rasa percaya diri yang ditanamkan Arga.
Presentasi itu berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan. Ruang rapat perusahaan itu dingin dan mengintimidasi, tapi Bunga menarik napas dan mengingat semua latihan kerasnya bersama Arga.
Ia menjelaskan konsepnya dengan lancar. Saat ia menunjukkan sketsa sambungan modular yang jenius itu, ia bisa melihat para eksekutif di meja rapat saling berbisik dan mengangguk kagum.
Reza, yang duduk di sampingnya bersama tim BEM, menatapnya dengan penuh kebanggaan.
Setelah sesi tanya jawab, presentasi itu selesai.
"Luar biasa, Melati," kata salah satu direktur. "Konsep Anda segar dan sangat aplikatif. Kami setuju untuk mendanai penuh proyek ini."
Aula kecil itu meledak dalam tepuk tangan. Bunga merasa seperti sedang terbang.
"Gila, Bunga! Kamu keren banget!" bisik Reza di sebelahnya, matanya berbinar.
Setelah rapat selesai, tim BEM merayakan euforia mereka. Mereka mengerubungi Bunga, memberinya selamat.
"Ini harus dirayakan!" seru Reza. "Tim! Kita makan-makan malam ini! Gue yang traktir!"
Semua orang bersorak.
"Ayo, Melati. Kamu bintangnya malam ini. Kamu harus ikut," kata Reza, menatapnya penuh harap.
Bunga tersenyum, tapi hatinya mencelos. Ia melirik jam di ponselnya. Pukul 17:45.
"Maaf banget, Kak," kata Bunga dengan tulus. "Saya nggak bisa."
"Lho, kenapa?" Reza terlihat sangat kecewa. "Sekali ini aja. Wali kamu pasti ngerti, kan? Ini buat ngerayain kesuksesan proyek."
"Saya udah janji, Kak. Jam enam saya harus udah di lobi. Wali saya... udah di jalan mau jemput."
Reza terdiam. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang tulus. Rasa penasarannya terhadap sang "wali" sepertinya memuncak.
"Oke," katanya akhirnya. "Kalau gitu... saya antar kamu ke lobi. Saya juga mau tahu, siapa sih wali kamu yang super ketat ini. Saya mau kenalan, minta izin biar kamu boleh lebih fleksibel sedikit."
Jantung Bunga serasa jatuh ke perut. Oh, tidak.
Ini dia. Momen yang ia takuti. Konfrontasi.
"Eh, nggak usah, Kak..."
"Harus," kata Reza, senyumnya kembali, tapi kali ini ada nada menantang. "Ayo."
Mau tak mau, Bunga harus berjalan bersama Reza dan beberapa anak BEM lain yang penasaran, menuju lobi gedung.
Lobi gedung itu luas, megah, dengan lantai marmer yang mengkilap. Saat mereka keluar dari lift, Bunga langsung memindai sekeliling dengan panik.
Dan di sanalah dia.
Berdiri di dekat pilar marmer besar, jauh dari keramaian, adalah Arga.
Ia tidak mengenakan pakaian kantornya. Ia sudah berganti dengan kaus polo hitam polos yang pas di badan, celana jins gelap, dan sepatu kasual. Ia tidak bersandar dengan santai. Ia berdiri tegak, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, memancarkan aura tenang dan dewasa yang begitu kontras dengan hiruk pikuk mahasiswa di sekeliling Bunga.
Ia terlihat seperti seorang eksekutif muda yang sedang menunggu jemputannya, bukan seperti seseorang yang sedang menjemput "adiknya".
Saat ia melihat Bunga, matanya tidak tersenyum. Ia hanya menatap tajam, seolah mengunci targetnya.
Reza, yang berjalan di samping Bunga, mengikuti arah pandangan Bunga. Ia melihat Arga. Senyum percaya dirinya sedikit goyah. Laki-laki itu... bukan seperti "bapak-bapak" yang ia bayangkan. Dia muda, tampan dengan caranya sendiri, dan... mengintimidasi.
"Itu... wali kamu?" bisik Reza, sedikit tidak percaya.
Bunga hanya bisa mengangguk.
Mereka berjalan mendekat. Arga tidak bergerak. Ia hanya memperhatikan mereka datang.
"Mas Arga," panggil Bunga pelan.
Arga mengalihkan pandangannya dari Reza ke Bunga. Tatapannya melembut seketika. "Sudah selesai?"
"Sudah, Mas."
Reza melangkah maju, mengulurkan tangannya dengan senyum yang dipaksakan. "Malam, Mas. Saya Reza, ketua BEM. Temannya Bunga."
Arga menatap uluran tangan Reza sejenak, lalu menjabatnya. Jabatannya singkat, tapi kuat. "Arga," katanya, suaranya dalam dan datar. "Saya yang jemput Bunga."
Ia tidak menjelaskan statusnya. Bukan 'kakak', bukan 'sepupu'. Hanya 'saya yang jemput Bunga'. Sebuah pernyataan kepemilikan yang subtil namun mutlak.
Arga lalu meletakkan satu tangannya dengan ringan di bahu Bunga. Sebuah gestur posesif yang sangat natural. "Ayo pulang. Kamu pasti capek."
"Eh, iya, Mas."
"Tunggu, Mas Arga," kata Reza cepat, tidak mau kalah. "Tadi presentasi Bunga sukses besar. Kami mau ajak dia makan malam untuk merayakan. Boleh, kan? Cuma sebentar."
Arga menatap Reza. Tatapannya dingin. "Lain kali mungkin," katanya, sama sekali tidak terdengar seperti sebuah kemungkinan. "Dia sudah ditunggu di rumah."
Ditunggu. Bukan oleh Arga, tapi seolah-olah ada acara keluarga penting. Sebuah kebohongan putih yang mematikan.
Reza kehabisan kata-kata. Ia tidak bisa berdebat dengan laki-laki ini.
"Oh... oke, Mas," kata Reza, akhirnya menyerah.
Arga mengangguk singkat pada Reza dan anak BEM lainnya, sebuah anggukan sopan yang terasa seperti pengusiran. Lalu, dengan tangan masih di bahu Bunga, ia membalikkan badan gadis itu dan menuntunnya berjalan menuju pintu keluar lobi.
"Permisi."
Bunga hanya bisa menoleh ke belakang sekilas dan memberikan senyum minta maaf pada Reza dan teman-temannya.
Saat mereka berjalan menjauh, Bunga bisa merasakan tatapan Reza dan seluruh tim BEM menusuk punggungnya. Ia tahu apa yang mereka pikirkan.
Sang 'wali galak' itu... nyata.
Dan dia sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan.