Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA BELAS : VERSUS
Wira berdiri gagah. Tatapannya tertuju lurus kepada Gita, yang menatap malu-malu.
“Nama saya Gita,” ucap gadis cantik itu menyebutkan namanya, tanpa melepas senyuman
“Iya, um ….” Wira jadi salah tingkah. Daripada terlihat bodoh, dia memilih kembali duduk.
“Aku harus melanjutkan pekerjaan. Permisi,” pamit Gita. Dia berbalik, kembali ke dekat etalase.
Sepeninggal Gita, Wira melanjutkan santap siang, berhubung masih ada sisa beberapa suap lagi di piring.
“Bagaimana jika saya membantu mengatur pertemuan secara pribadi dengan Gita?” tawar Rais cukup pelan, tetapi terdengar sangat meyakinkan.
Wira yang tengah mengunyah makanan, langsung terdiam. Ditatapnya Rais dengan sorot tak dapat diartikan. Satu sisi hatinya ingin menolak tegas tawaran itu. Namun, godaan paras menawan Gita teramat kuat sehingga membuat keteguhannya jadi goyah.
“Maksud Anda?” tanya Wira, berpura-pura tak mengerti ucapan Rais.
Rais yang sudah menghabiskan makanannya, meletakkan sendok dan garpu secara terbalik. Dia menatap Wira dengan sorot aneh. “Gita adalah anak angkat saya, Pak. Saya tidak akan mencegah bila Anda tertarik padanya.”
Ucapan Rais bagai lampu hijau yang diinginkan semua pria. Ketika yang lain merasa ragu untuk mendekati gadis cantik itu, Wira justru mendapat keistimewaan.
Tak dapat dipungkiri. Alasan utama dari sikap baik Rais pasti tentang status sosial. Dia tahu betul bahwa Wira Zaki Ismawan merupakan salah satu pengusaha properti di Indonesia yang namanya diperhitungkan d kalangan para pebisnis.
“Anda membuat saya jadi serba salah,” ucap Wira, diiringi senyum canggung. Pasalnya, ada pertimbangan besar yang membuat pengusaha tampan 40 tahun tersebut untuk menerima tawaran dari Rais.
“Jangan khawatir, Pak,” ucap Rais, seakan paham dengan apa yang Wira pikirkan. “Katakan saja kapan dan di mana, Gita pasti siap bertemu secara pribadi dengan Anda.”
Wira tak langsung menanggapi. Dia berpikir beberapa saat, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan meja. Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibir pria metroseksual tersebut.
Sesaat kemudian, Wira tersenyum samar. “Suruh saja dia datang ke Jalan Kemangi. Tunggu saya di depan Grand Showroom besok malam pukul 19.30,” putusnya yakin.
“Tentu.” Rais tersenyum lebar menanggapi ucapan Wira. “Gita pasti ke sana.”
Wira kembali mengembuskan napas berat dan dalam, kemudian berdiri. “Biar saya yang membayar,” ucapnya, seraya berlalu ke meja kasir. Berhubung Gita sedang ke dapur, maka Ratih lah yang melayaninya.
“Anda tidak keberatan kembali ke area proyek sendirian?” tanya Rais. “Saya harus bicara sebentar dengan Gita.”
Wira mengangguk, kemudian berlalu dari sana sedangkan Rais masuk ke dapur.
“Astaga.” Wira menggeleng tak mengerti, seraya melangkah gagah menuju area proyek. Di jalan, dia berpapasan dengan beberapa pekerja yang hendak ke warung nasi untuk makan siang.
Namun, Mandala tidak ada di antara mereka. Seperti biasa, pria itu lebih memilih merokok seorang diri sambil menikmati angin yang berembus cukup kencang.
Apa yang Mandala lakukan tak luput dari perhatian Wira. Dia yang awalnya hendak masuk ke mobil, mengurungkan niatnya.
Selama beberapa saat, Wira terpaku sambil terus memperhatikan pria berambut gondrong itu. Sesekali, dia memicingkan mata, seakan tengah meyakinkan penglihatannya.
Tak ingin terus dilanda rasa penasaran, Wira memutuskan menghampiri Mandala yang tengah duduk sambil menatap ke arah lain.
“Apakah saya tidak salah orang?” tanya Wira, setelah berdiri tak jauh dari Mandala.
Mandala tak langsung menoleh. Dia mengisap, lalu mengepulkan asap rokok sebelum membuang ke tanah dan mematikannya menggunakan kaki. Setelah itu, barulah memandang ke arah Wira.
“Anda bicara padaku, Pak?” Mandala balik bertanya, seraya berdiri.
“Tidak ada orang lain di sini,” jawab Wira penuh wibawa.
Mandala tidak menanggapi. Dia mengalihkan perhatian ke arah lain, seolah tak ingin bertatap muka dengan Wira.
“Jangan berpura-pura tidak mengenal saya,” ucap Wira, diiringi tatapan yang teramat serius.
“Sudahlah.” Dari sikap serta bahasanya, terlihat jelas bahwa Mandala memang tak ingin berbicara dengan Wira. Dia bahkan berniat meninggalkan pria itu tanpa basa-basi.
“Saya bisa meminta Pak Rais untuk mengeluarkanmu dari sini,” gertak Wira.
Mandala langsung tertegun. “Ya. Anda bisa melakukan apa pun,” balas Mandala dingin tanpa menoleh.
Wira menyunggingkan senyum kecut mendengar ucapan Mandala. Dia berjalan mendekat, sekadar memangkas jarak, meski lawan bicaranya dalam posisi membelakangi.
“Kenapa Tuhan mempertemukan kita di sini? Apakah karena ada urusan yang belum selesai?” Entah apa maksud pertanyaan yang dilayangkan Wira.
Mandala hanya menanggapi dengan senyum dingin. “Sudahlah. Jangan ganggu aku,” tolaknya, seraya hendak melanjutkan langkah.
“Kamu takut, Mandala Buana?”
Mandala yang sudah menjauh beberapa langkah, kembali tertegun. Dia berdiri sambil mengepalkan tangan. Andai Wira makin mendekat, Mandala tak segan untuk langsung menghajarnya.
“Kamu tahu siapa yang pemberani dan siapa yang pecundang?” balas Mandala sinis.
“Waktu berjalan dengan cepat. Semua tak seperti dulu lagi. Kebangganmu telah sirna tanpa harus kuhilangkan. Tuhan sendiri yang melakukannya karena Dia mengetahui kesombonganmu,” cibir Wira dingin.
Bukannya tersinggung, Mandala justru menanggapi dengan senyum sinis penuh cibiran. Ocehan Wira tak berarti sama sekali baginya. “Bicaralah semaumu, Wira.”
Mandala menggumam pelan, kemudian melanjutkan langkah. Dia meninggalkan Wira yang masih terpaku di tempatnya.
Entah ada permasalahan apa di antara Mandala dengan Wira. Kedua pria itu jelas tak saling menyukai. Namun, sepertinya Mandala tak takut, meskipun bisa saja berpengaruh pada posisinya di sana.
......................
Rasa kecewa atas ucapan Mandala, membuat Gita menerima ajakan bertemu dari Wira. Gadis itu pergi beberapa saat sebelum jam yang telah ditentukan. Warung nasi sengaja tutup lebih awal, berhubung Ratih kewalahan harus melayani seorang diri.
Sesuai janji, Gita menunggu di depan Grand Showroom. Tak sampai setengah jam, sebuah sedan mewah berhenti di depannya. Tanpa banyak bertanya, Gita langsung masuk dan duduk di jok depan.
“Hai,” sapa Wira, yang menyetir sendiri.
Gita membalas dengan senyum manis, seraya memasang sabuk pengaman.
“Sudah lama menunggu?” tanya Wira, setelah melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang.
“Tidak juga. Aku baru sampai beberapa menit yang lalu,” jawab Gita agak malu-malu.
Kikuk dan masih canggung. Wira beberapa kali menelan ludah dalam-dalam. Sesekali, dia menggenggam erat kemudi, demi mengurangi perasaan tak nyaman tadi.
“Kita akan ke mana, Pak?” tanya Gita lembut.
“Terserah. Kamu ingin ke mana?” Wira balik bertanya.
“Um ….” Gita terdiam sambil berpikir sejenak. “Anda pasti lebih tahu,” ujarnya kemudian.
“Anda?” ulang Wira, seraya menoleh sesaat. “Terlalu formal.”
“Lalu?” Gita balas menoleh, tanpa melepas senyuman.
“Kamu bukan karyawanku, Gita.” Wira menanggapi kalen.
“Baiklah, Mas Wira.”
“Itu terdengar lebih baik,” balas Wira, seraya kembali menoleh dengan tatapan penuh arti.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua