Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Suara-suara dalam gelap
“Jika masih sayang sama nyawa, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk kesana anak muda.” Kata Tom memberi peringatan.
“Memangnya ada apa di sana pak?” tanya Varania.
“Tidak ada apa-apa.” Tom berdiri kemudian berkata pada Jordan, “Jordan, saya akan ke balai desa. Jika mereka mau menginap di sini malam ini, bawa saja ke penginapan dekat kebun tebu.Masih banyak kamar kosong disana.”
Setelah mengatakan itu, Tom si kepala desa pun pergi. Tom mengingatkan Varania pada ibunya yang aneh. Entah kenapa saat melihat Tom, Varania langsung ingat dengan ibunya. Ada kemiripan di antara mereka berdua.
“Jangan terlalu diambil hati kata-kata kepala desa. Beliau kelihatannya tidak peduli, tapi sebenarnya dia adalah orang paling peduli di desa ini.” Kata Jordan yang masih menatap Tom yang sudah semakin jauh.
“Jadi, kenapa tidak boleh pergi ke Ravenswood?” Varania mengulang pertanyaannya.
Wajah Jordan menegang, entah karena masih memikirkan peringatan Kepala desa untuk tidak berkata aneh atau karena sesuatu yang lain.
“Katanya, di sana hidup seorang iblis neraka. Dia sudah merasuki manusia di sana selama berpuluh tahun.” Jordan bercerita dengan suara pelan.
“Lalu apa yang akan dia lakukan kalau kami pergi kesana?” Tanya Rea yang sudah pulih dari ketakutan.
Jordan berdiri untuk mengunci pintu rumah. Lalu memberi isyarat supaya Varania dan Rea mengikutinya ke sisi lain rumah. Di sisi kanan rumah, mereka bisa melihat sungai air kuning dari kejauhan.
“Di seberang sungai itulah gerbang kota Ravenswood berdiri, kabut itu sudah menyelimutinya sangat lama. Kabut itu pertanda bahwa iblis masih ada. Jangan pergi ke sana, kalian tidak akan bisa keluar hidup-hidup.”
Varania mendengarkan cerita itu dengan pikiran yang bercabang. Ia melirik Rea. Jika orang yang pergi ke Ravenswood tidak bisa keluar hidup-hidup, kenapa Rea masih hidup? Dan sekarang ia juga keluar dari Ravenswood dalam keadaan hidup.
Kepala Varania agak pusing. Semuanya bercampur dalam kepalanya. Ia ingin percaya bahwa kota Ravenswood memang berbahaya, tetapi ia baik-baik saja selama ini. Ya, ia memang di teror sejak melanggar larangan, tapi sebelumnya ia baik-baik saja.
“Tapi, kami harus pergi kesana.” Kata Varania karena kan rumahnya memang ada disana. Mustahil ia tidak kembali.
“Hati-hati.” Jordan tidak menanyakan kenapa mereka pergi kesana. Dia menjawab saat Varania atau Rea bertanya, namun dia tidak menanyakan apa-apa.
“Terimakasih pak Jordan. Kami pergi dulu.” Pamit Varania dan Rea.
Jordan mengangguk, mengantarkan kepergian Varania dan Rea dengan matanya.
“Gadis-gadis malang.” Gumam Jordan. Dia melanjutkan kembali pekerjaannya.
\=\=\=\=
Dalam ruangan gelap tanpa ventilasi terdengar suara dengusan kesal. Lalu, suara pecahan kaca menggema.
“Berhenti! Apa-apaan ini? Kita berlima ada disini untuk mendiskusikan masalah ini, bukan untuk mengamuk memecahkan properti.” Tegur seseorang dengan suara berat. Bisa dipastikan orang ini seorang pria.
“Cih! Kalau begitu, katakan kenapa kamu tidak bisa mengatasinya?” Suara lain terdengar. Lebih lembut dan halus. Suaranya merdu, cocok untuk seorang gadis muda.
“Sudahlah. Laporkan apa masalahnya?” Suara lain menginterupsi. Berwibawa dan dingin. Karena tidak ada cahaya dalam ruangan itu, tidak ada yang bisa saling melihat wajah satu sama lain.
“Bulan ini sudah ada dua orang yang melanggar larangan. Seperti Samuel, mereka pasti akan mencari cara untuk bisa lepas.” Suara perempuan lainnya terdengar lebih tenang seperti air musim semi. Ada keanggunan dalam caranya berbicara.
“Baiklah. Apa yang harus kita lakukan?” Pria berwibawa bertanya.
“Akan lebih baik membereskannya secepat mungkin.” Sahut satu-satunya suara yang sedari tadi diam. Dia akan menjadi pria muda yang tampan jika mendengar suaranya yang menenangkan.
Diam cukup lama. Ruangan gelap itu sunyi senyap, seperti tidak ada orang di dalamnya.
“Aku melihat keduanya pergi bersama perahu Bon-bon pagi tadi.” Si pemuda melanjutkan.
“Kalau begitu, seharusnya Bon-bon datang kesini untuk melaporkan. Mengapa dia tidak datang?” Pria berwibawa terdengar tidak senang. Dia tidak suka orang lalai yang mengabaikan otoritas nya.
Tidak ada yang menyahut. Lagipula, mereka juga tidak ada yang tahu kenapa Bon-bon tidak datang.
Menunggu selama beberapa menit dan masih tidak ada yang memberikan jawaban, membuat pria itu kesal. Ia mendengus dingin. Ingin sekali memberi kuliah kepada orang-orang ini caranya bekerja dengan benar.
"Kalian memang tidak berguna. Kembali dan seret dia kemari! Dia sudah harus ada disini dalam dua jam."
"Baik." Semuanya menjawab kompak.
Pria berwibawa itu adalah pemimpin diantara lima orang ini.
"kenapa masih disini?!" Dia membentak karena tidak satupun yang bergerak.
Mendengar itu, keempatnya bergegas pergi.
Setelah pintu tertutup, lampu dalam ruangan itu menyala. Hanya lampu minyak sederhana tetapi dapat menerangi seluruh ruangan yang tidak terlalu besar.
Dinding tanah, dan lantai tanah menandakan ruangan ini ada dibawah tanah.
Ruangan ini sangat sederhana, ada meja kayu serta empat kursi saling berhadapan dan satu kursi tinggi tempat duduk pria berwibawa.
...***...