Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan Pembunuhan 2
Penyelidikan bersama Dona)
Sesi dua kami lanjutkan. Setelah melakukan pertimbangan untuk dugaan sementara tersangka pertama akhirnya kami putuskan kalau dia memang tidak ada kaitan sama sekali dengan pembunuhan, tapi dia tetap dalam pantauan pihak kepolisian, sebab takut ada bukti lain yang bisa menguatkan jadi pelaku utama.
"Kenapa dengan wajah kamu? Kok kelihatan parah begini?."
Bagas menanyai untuk penyelidikan berikutnya.
"Dihajar suamiku," jawab Dona yang sudah diiringi airmata.
"Apakah sudah sesering ini, suamimu melakukan kdrt? Bukankah kamu dulu pernah melaporkan suamimu, ke pihak kepolisian atas tindakan kekerasan?" tanya Bagas.
"Memang benar, dia sering melakukan kdrt terhadapku."
Yg lain tetap terus mengamati sambil mencatat.
"Kenapa?."
Tangisan Dona semakin pecah atas pertanyaan Bagas, mungkin dia terlalu sakit menceritakan kisahnya yang sungguh tragis.
Aku memberi aba-aba kepada Bagas, untuk memberikan waktu pada Dona, yang agaknya mulai susah memberikan jawaban pada kami.
"Ambilah ini!" sebuah tisu untuk menghapus airmata, serta tak lupa sebuah air minum ku sodorkan padanya.
Para anak buah memutar kepala dengan menatap tajam, seakan-akan mulai curiga kenapa diriku bisa memperlakukan khusus.
"Apa bisa kita lanjut?" Bagas mulai tidak sabar.
Huuuuf, Tarikan nafas Dona untuk menenangkan diri, atas tercekat nya suara akibat tak bisa menjawab pertanyaan kami.
"Apa sekarang bisa diajak kompromi untuk kamu tanyai? Jika iya, ini bisa membebaskan anda dari tuduhan dalang pembunuhan, tapi jika tidak pasti pihak kami akan menuduh ada sebagai otak perencanaan pembunuhan suami sendiri," Bagas menawarkan.
"Eh, bisa ... bisa, Pak. Maafkan aku. Izinkan aku semenit saja untuk lebih tenang."
"Baiklah kalau begitu. Kami akan memberikan waktu kepada anda."
Akhirnya kesepakatan disetujui. Dona meneguk air putih banyak sampai gelas terlihat kosong akibat dia tandas meminumnya.
"Aku sudah tenang, Pak. Bisa kita lanjutkan sekarang."
"Baiklah kalau begitu. Pihak kami akan menanyai beberapa pertanyaan. Kami meminta untuk kerjasamanya."
"Silahkan, Pak. Aku sudah siap."
"Mari kita ulang. Apakah suami kamu sering melakukan tindakan kekerasan fisik?" Bagas masih bertugas yang menanyai.
"Iya, dia sering kali melakukan tindakan pemukulan, dan itupun biasanya hanya gara-gara masalah sepele," akhirnya Dona angkat bicara.
"Baiklah kalau gitu. Kami terima pengakuan anda."
Kami saling memandang. Ternyata masih banyak juga pria kejam, yang tega memukul hanya karena perkara kecil.
"Apakah itu betul anda?."
Sebuah video dari rekaman cctv diperlihatkan Ebi kepada Dona. Sebelum terjadinya saling baku hantam bersama adik tirinya, ternyata Dona dianiaya oleh suaminya terlebih dahulu.
"Ya, itu adalah aku."
Kami semua kasihan dan merinding melihat video. Begitu kejam dan tanpa ampun. Sungguh miris rumah tangga Dona yang padahal tidak kekurangan apapun.
"Apa motif kamu menemui suami? Apakah karena dia sedang berselingkuh bersama adik tiri perempuanmu, sehingga tiba-tiba kamu muncul ditempat parkiran, tapi kenapa suami kamu malah menghajar mu?."
"Begitulah suamiku. Dia menyelesaikan masalah tidak dengan mulut, tapi dengan tangan, contohnya melakukan tindakan kekerasan padaku," jawab Dona pada kami, yang tak henti-hentinya berderaikan airmata.
"Apakah ini punya kamu?."
Sebuah helaian rambut terbungkus plastik diperlihatkan Ebi pada Dona.
"Ini bukan punyaku, sepertinya ini punya selingkuhan suamiku. Rambut ini sama hitam dengan punyaku, tapi lihatlah diujung rambut ada kemerah-merahan seperti kepunyaan adik ipar," penjelasannya.
"Baiklah kalau begitu. Kami akan menindak lanjuti kepada adik iparmu."
"Hm, bisa juga dia menjadi tersangka ataupun saksi utama, sebab perempuan itu selalu menempel pada suamiku, seperti tidak bakalan terpisahkan diantara keduanya."
"Oke, kalau begitu. Kami menerima baik laporan anda."
"Setelah kejadian tindak pemukulan terhadap kamu, kemanakah kamu berada? Dari keterangan orang di rumah, tepat pada waktu kejadian pembunuhan malam itu, kamu tidak pulang ke rumah, jadi kemanakah kamu?" cecar Bagas.
Dona tak bisa berkata-kata lagi, tapi matanya justru melirik melihatku, yang tengah berdiri mengawasi jalannya penyelidikan.
"Ayo jawab!" bentak Bagas yang mulai ada nada marah.
Seketika hanya ada keheningan diantara kami, Dona nampak ketakutan menghadapi Bagas yang sudah emosi. Melihat suasana kurang kondusif, aku berusaha menengahi semuanya agar suasana tenang.
"Huuissst," panggilku pada Bagas, untuk sedikit tenang ketika bertanya.
Bagas malah memicingkan mata ke arahku, seakan tahu dan curiga kode yang kuberikan.
"Sa-ss saya memang tidak pulang ke rumah. Tapi ... tapi, aku sedang menginap di rumah kekasih hati," jelasnya.
Uhuk ... uhuk ... uhuk, leherku tiba-tiba tersedak dan langsung batuk, akibat mendengar pengakuan Dona.
Bagas dan Ebi seketika langsung melihat kearahku, dengan tatapan melotot tajam, seperti sedang mencari jawaban atas pengakuan Dona.
"Kekasih hati? Siapakah dia?" tanya Bagas yang agak kepo.
"Dia adalah mantan kekasihku, tapi kami sudah putus. Dalam pikiranku hanya dialah yang bisa membantuku saat itu."
"Kenapa harus dia? Bukankah masih banyak keluarga kamu yang lain? Berarti kamu masih ada benih-benih cinta padanya, sehingga kekasih hati kamu pun dimintai tolong?" Ke kepoan Bagas lagi.
Muka ini dibuat memerah. Anak buah pada kur*ng ajar. Sudah tahu yang dimaksud Dona adalah diriku tapi masih saja kepo.
"Iya, aku masih mencintainya."
Tidak ada akhlak semuanya. Bukannya merasa bersalah, malahan pada tersenyum menyindir.
Tangan mengepal, ingin sekali menonjok muka mereka.
"Aku adalah anak yatim piatu, dan tak begitu akrab dengan keluarga suami, sehingga dengan terpaksa akupun meminta bantuan kepada kekasih hatiku itu."
Tangan sudah kukipas-kipaskan dibadan, yang terasa mulai panas. Aku begitu terkejut bagai disambar petir disiang bolong, sebab kaget atas pengakuan Dona, yang begitu gamblangnya dia menyrempet diriku, yang padahal sudah berbaik hati membantunya menampung dirumah.
Namun diri ini tidak langsung terperangkap oleh emosi, saat sesuatu telah menguji keprofesionalanku sebagai petugas kepolisian dalam mengurus sebuah kasus.
Tidak ada yang memberatkan untuk menuduh Dona telah melakukan pembunuhan, kecuali ada petunjuk atau pengakuan lain dari keterangannya.
Bukti kurang akurat, sehingga Dona dibebaskan dari tuduhan sebagai tersangka. Tapi dia terus dalam pengawasan kami, takut jika ada kejanggalan lagi bisa ditetapkan sebagai tersangka.
****
Setelah selesai penyelidikan, kini aku tengah istirahat duduk santai, sebelum melanjutkan sesi berikutnya. Anak buah sudah bubar semua untuk menikmati makan siang.
"Permisi, Ryan. Bolehkah aku ngobrol sebentar sama kamu. Maaf jika menganggu."
"Oh, enggak kok. Memang mau ngobrol apa?'
Walau dia pelaku utama mengusik rumah tangga kami, entah mengapa dalam lubuk hati yang terdalam masih saja ingin menolong. Aku orangnya sukar untuk membenci seseorang, walau orang itu sudah jahat sekali.
"Ryan setelah pulang kerja, aku boleh minta tolong nggak?" tanya Dona padaku.
"Memang minta tolong apa?."
"Temani aku ke dokter kandungan. Suamiku sudah meninggal, dan tidak ada yang ku mintai tolong selain kamu. Jadi kali ini saja, boleh ngak kamu membantuku?" pintanya.
Keraguanku mulai datang, antara ya atau tidak. Menjawab iya, sebenarnya tidak mau ada kesalahan yang melebar lagi, tapi kalau menjawab tidak, kasihan pada Dona yang sementara ini tidak ada yang membantunya.
"Insyaallah, kalau ngak terlalu sibuk, nanti akan ku temani," jawaban yang masih dalam keraguan.
"Terima kasih kalau begitu. Akan aku tunggu kabar baiknya."
"Hm, sama-sama."
Dalam hati berdoa terus semoga tidak ada ke salahpahaman. Bisa gawat kalau masalah sudah runyam, bisa jadi nanti kian hancur. Tidak ada permintaan yang berlebihan saat ini, kecuali hanya satu pintaku yaitu merajut kembali rumah tangga yangs sering kali diterpa badai.