NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tak Terduga By Leo Nuna

Cinta Yang Tak Terduga By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.

Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.

Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.

Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"

Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.

Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CYTT(Part 30) Retakan di Balik Pelukan

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Keesokan paginya, cahaya matahari perlahan menyusup melalui celah jendela kamar apartemen. Sienna terbangun dengan kepala berat dan tubuh lemas. Tenggorokannya terasa perih, matanya panas, dan seluruh tubuhnya seperti menolak untuk diajak bergerak. Jet lag yang semula hanya terasa seperti kelelahan biasa, kini berubah menjadi gejala yang lebih nyata.

Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun pandangannya langsung berkunang. Tubuhnya tidak bisa diajak kompromi, meskipun ia berusaha keras terlihat baik-baik saja.

Neo yang menyadari perubahan itu, langsung panik saat melihat kondisi Sienna. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk membatalkan rencananya ke sekolah.

“Aku nggak akan ninggalin kamu sendiri,” ucapnya tegas, duduk di sisi tempat tidur. Matanya penuh kekhawatiran saat menatap Sienna yang terbaring lemah.

Namun Sienna memaksakan senyum tipis, meski jelas tubuhnya butuh istirahat. “Neo, please. Aku cuma butuh tidur yang cukup. Kamu harus tetap pergi ke sekolah. Kamu tahu sendiri gimana Papa kamu.”

Neo diam sejenak, jelas tak rela meninggalkannya. Tapi Sienna menggenggam tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan.

“Aku baik-baik aja. Kalau kamu khawatir, minta tolong sama Noah buat carikan seseorang yang bisa nemenin aku di sini. Aku janji, kalau aku merasa makin parah, aku bakal langsung hubungi kamu.”

Dengan berat hati, Neo akhirnya mengangguk. Tatapan Sienna yang meyakinkan, serta keinginannya untuk tetap menjaga Neo dari masalah dengan ayahnya, membuatnya tak bisa membantah lebih lama. Ia segera menghubungi Noah untuk mencarikan perawat pribadi yang bisa menjaga Sienna selama ia sekolah.

Satu jam kemudian, seorang perawat khusus datang—dikirim oleh Noah, lengkap dengan peralatan dan semua yang dibutuhkan untuk menjaga Sienna selama ia istirahat.

Neo masih terlihat ragu saat hendak pergi, tapi Sienna mengangkat tangan dan melambai kecil. “Pergilah... aku bakal nunggu kamu pulang.”

Sebelum pergi, Neo mengecup kening Sienna dengan lembut. “Jangan bandel,” bisiknya.

Lalu, dengan langkah berat dan hati yang penuh kekhawatiran, ia meninggalkan apartemen pagi itu.

Setibanya di sekolah, Neo masih bisa merasakan sisa atmosfer dari kejadian kemarin. Bisik-bisik soal “pacar Neo” masih menggema di lorong-lorong, memenuhi udara dengan rasa penasaran yang belum tuntas. Tapi pagi itu, Neo terlalu lelah untuk peduli. Fokusnya hanya satu, memastikan Sienna baik-baik saja.

Namun saat masih berada di dalam mobil matanya menangkap sebuah pemandangan di halaman depan sekolah.

Amara—bersama dua temannya—mengelilingi Luna yang berdiri diam, menunduk. Di depannya, tergeletak tiga tas sekolah yang berbeda, pastinya bukan milik Luna.

“Bawa ke kelas kita,” perintah Amara santai sambil memeriksa kuku-kukunya. “Dan hati-hati, di tas gue ada parfum mahal. Jangan sampai pecah.”

Luna tak berkata apa-apa. Tangan kecilnya bergetar saat berusaha mengangkat semua tas sekaligus.

Neo yang baru turun dari mobil langsung melihat adegan itu. Wajahnya mengeras.

Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat ke arah mereka dan merebut tas-tas itu dari tangan Luna.

Brakk!

Ia menjatuhkannya tepat di kaki ketiga gadis itu.

“Lo punya tangan, kan?” ucapnya dingin. “Selagi masih berfungsi, gunain sendiri. Jangan perlakukan orang kayak budak.”

Amara dan teman-temannya terdiam, kaget dengan reaksi Neo yang tak biasa. Amara menatapnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi.

Di saat bersamaan, Max baru tiba di area sekolah. Melihat keributan itu, ia mendekat dengan langkah santai.

“Ada apa nih?” tanyanya datar, menatap Neo dan kemudian Amara.

Ketegangan terasa semakin mengental. Beberapa siswa mulai melambatkan langkah, mencuri dengar.

Neo hanya melirik Max sekilas sebelum kembali menatap Amara. Tatapannya tajam, penuh peringatan.

“Urus cewek lo,” ucapnya dingin.

Tanpa menunggu jawaban, Neo menggenggam pergelangan tangan Luna dan menariknya pergi, meninggalkan keheningan yang membekas.

Mereka berjalan menyusuri koridor tanpa banyak bicara. Neo masih memegang tangan Luna, langkahnya cepat, napasnya berat. Begitu sampai di ujung lorong yang sepi, ia berhenti mendadak dan berbalik menghadapnya.

“Sejak kapan ini terjadi lagi?” suaranya rendah, tapi nadanya tegas.

Luna menunduk, tak segera menjawab. Matanya menghindari tatapan Neo.

“Gue udah bilang, kan?” lanjut Neo, suaranya menekan. “Lawan. Jangan diem aja.”

Luna akhirnya membuka suara, lirih. “Aku cuma… nggak mau bikin masalah.”

Neo mengepalkan tangan. “Masalahnya udah ada bahkan waktu lo diem,” potongnya cepat. “Mereka nyiksa lo bukan karena lo salah, tapi karena mereka tahu lo nggak bakal lawan.”

Luna menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Neo menarik napas panjang. Kali ini nadanya melembut, tapi tetap serius.

“Apa harus gue yang terus-terusan turun tangan buat hal kayak gini?”

Luna mengangkat wajahnya perlahan, lalu menggeleng pelan. “Enggak… Tapi hari ini… makasih.”

Neo menatapnya lama. Amarahnya belum sepenuhnya reda, tapi sorot tulus di mata Luna perlahan meluruhkan emosi yang tersisa.

Ia mengangguk kecil. “Besok… kalau kejadian ini terulang lagi, lo bilang ke gue.”

Mereka kembali melangkah, meninggalkan lorong yang kini sunyi.

Namun mereka tak menyadari bahwa pembicaraan itu… didengar oleh seseorang dari balik dinding kaca koridor atas.

Seseorang yang akan menjadikan hari-hari Luna dan Sienna—jauh lebih sulit dari hari ini.

Sementara itu halaman depan Everest Academy masih ramai dengan siswa yang baru datang, tapi sorot mata sebagian besar dari mereka masih tertuju pada kejadian barusan—Neo yang dengan lantang membela Luna dan meninggalkan kerumunan dengan sikap dingin.

Amara berdiri kaku, wajahnya merah padam karena marah dan malu.

Dengan gerakan cepat, ia hendak melangkah masuk ke gedung, berniat menyusul Neo. Tapi langkahnya terhenti saat Max tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

“Baby, tunggu dulu.” Suara Max tenang, tapi nada waspadanya tak bisa disembunyikan.

Amara menoleh dengan wajah penuh emosi. “Lepasin, Max. Aku harus kasih pelajaran ke cowok itu!”

Max menghela napas pelan, masih menggenggam tangan Amara. “Sebenernya ada apa sih ini, baby?”

Amara menatap Max tajam, ekspresi wajahnya berubah jadi tak percaya. “Kamu masih nanya? Dia ngatain aku di depan banyak orang, Max. Ngejatuhin harga diriku. Dan kamu diem aja?”

Max menghela napas, melepaskan pegangan di tangannya pelan.

“Aku nggak suka cara dia ngomong ke kamu, iya. Tapi… kamu juga nggak harus maksa Luna kayak gitu. Kamu tuh tahu dia bukan tipe yang bisa melawan.”

Amara melipat tangan di dada, nadanya meninggi. “Oh jadi sekarang kamu bela dia?”

“Bukan masalah bela siapa,” Max mulai terlihat tak nyaman. “Tapi yang kamu lakuin tadi... itu keterlaluan, Mara.”

Amara mendengus tak percaya, menatap Max seolah tak mengenalnya. “Sejak kapan kamu mulai nyalahin aku?”

Max menatapnya dalam diam. Lalu ia berkata pelan, “Sejak kamu mulai berubah jadi orang yang ngerasa harus selalu di atas semua orang.”

Ucapan itu membuat Amara terdiam sejenak, dan untuk sesaat, ada rasa tertohok di matanya. Tapi ego menguasainya.

“Aku cuma mempertahankan posisi aku, Max."

Max menatapnya tajam. “Tapi bukan berarti harus nginjak orang lain.”

Mereka terdiam beberapa detik. Udara di antara mereka jadi berat dan penuh ketegangan yang tak kasat mata. Ini bukan pertama kalinya mereka berbeda pandangan—tapi ini adalah pertama kalinya Max merasa... lelah.

“Dulu kamu nggak kayak gini, Mar,” ucapnya pelan.

Amara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan amarah dan gengsi yang berdesakan di dadanya. Ia ingin membantah, tapi tak ada kata-kata yang bisa menepis kebenaran dari ucapan Max barusan.

“Kalau kamu udah nggak tahan, kamu bisa bilang langsung, Max,” suaranya terdengar dingin. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan kendali atas sesuatu yang selama ini ia pikir bisa ia pegang sepenuhnya, Max.

Dan tanpa sadar, ketegangan pagi itu tak hanya mengubah suasana sekolah… tapi juga retakan kecil dalam hubungan yang selama ini terlihat sempurna.

»»——⍟——««

Hallo semua✨

Sebelum makasih udh mampir🐾

Buat yg suka cerita aku mohon dukungannya ya, biar aku semangat updatenya💐

Dan jangan lupa follow akun ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls. Karena disana aku bakal post visual dan beberapa cuplikan.

Oke see you semua!(⁠◠⁠‿⁠◕⁠)

1
Saryanti Yahya
karya yg cukup bagus, lanjut thor, semangat
Leo Nuna: Makasih Kak😻
total 1 replies
Suluk Pudin99
Semoga sya jga sperti cinta mereka ,tak terduga.Sampai ke pelaminan,Amin Allahumma istajib dua,na ya Robb🤲🏻🤲🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!