Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menawarkan jadi istri kedua suamiku?
Pagi itu, matahari mengintip malu di sela tirai kamar mewah tempat Al dan Nayla menginap semalam. Setelah sarapan sederhana bersama keluarga besar Al, keduanya pamit untuk kembali ke rumah mereka yang lebih sederhana namun penuh ketenangan. Mama Al sempat menitipkan banyak makanan dan pakaian bayi untuk Raihan, sementara Papa Al hanya menepuk bahu Al pelan, tanda restu dan kebanggaan yang mulai tumbuh.
Perjalanan pulang diwarnai obrolan ringan antara Nayla dan Al. Nayla yang kini sudah terbiasa hidup sederhana, justru mengaku rindu dengan dapur kecilnya dan suara adzan dari mushola dekat rumah. Al tersenyum mendengarnya.
Setiba di rumah mereka, suasana tenang menyambut. Al segera mengganti gamis dengan baju koko sederhana, bersiap untuk mengisi kajian dhuha dan memantau kegiatan sosial di yayasan yatim dan rumah tahfidz yang ia dirikan.
“Banyak yang menunggu Abinya Raihan,” ucap Nayla lembut sambil menyuapi anak mereka yang kini sudah bisa duduk sendiri.
Al mencium kening Nayla, “Dan aku selalu menunggu ibu Raihan setiap kali pulang.”
Pagi itu, sinar mentari menerobos lembut lewat celah jendela rumah sederhana mereka. Udara sejuk, aroma kopi yang diseduh Nayla, dan suara ocehan kecil Raihan menciptakan suasana hangat yang sulit dilepaskan.
Al Ghazali duduk di tepi ranjang sambil mengenakan peci dan jas rapi. Di depannya, Raihan yang kini berusia tujuh bulan tertawa-tawa sambil menggenggam jari ayahnya erat. Matanya yang bulat dan bening menatap sang ayah seolah tak rela ditinggalkan.
“Abi kerja dulu, ya, nak…” ucap Al pelan, suaranya sedikit berat.
Namun tangan mungil itu tetap menarik baju Al, dan Raihan merengek kecil saat sang ayah hendak berdiri. Nayla yang dari tadi mengamati hanya tersenyum lembut, lalu menghampiri sambil menggendong Raihan.
“Anak kita makin pintar merayu. Bikin abinya susah berangkat,” goda Nayla sambil mencium pipi Raihan dan kemudian pipi suaminya.
Al tersenyum kecil, lalu menunduk dan mengecup kening putranya dengan dalam. “Doakan abi, ya… jadi guru yang amanah, biar kamu bangga nanti.”
"Ummahnya engga di cium?" Nayla mencebikkan bibirnya.
"Duh, Ummahnya enggak mau kalah ya." Al pun mencium kening Naylam
“Dia pasti bangga. Aku juga,” bisik Nayla pelan.
"Aku pergi dulu ya sayang."
Dengan langkah pelan dan beberapa kali menoleh ke belakang, Al akhirnya melangkah keluar. Di balik jendela, Nayla dan Raihan melambaikan tangan kecil mereka, mengantar seorang ayah yang pergi menunaikan amanah ilmu, dengan hati yang penuh cinta dan harapan.
---------
Pagi itu setelah Al Ghazali pergi ke pesantren, Nayla duduk di dekat jendela rumah dengan Raihan dalam gendongannya. Bayi mungil itu baru saja selesai menyusu, matanya masih sayu menahan kantuk, namun sesekali tersenyum saat ibunya bersenandung lembut.
Di sudut hatinya, Nayla ingin sekali ikut ke kajian yang dibawakan suaminya. Sudah beberapa kali ia menahan keinginan itu, hanya mendengar suara Al dari rekaman atau melihatnya lewat siaran media pesantren. Rasa rindunya terhadap suasana majelis ilmu, apalagi disampaikan oleh suaminya sendiri, membuat hati Nayla terus bergemuruh.
Namun Nayla menunduk melihat wajah Raihan.
“Kalau Ummah ikut kajian, kamu capek ya, Nak?” gumamnya pelan sambil mengelus rambut halus bayi itu. “Masih terlalu kecil buat diajak duduk lama di aula pesantren. Mama enggak mau kamu kelelahan.”
Ia mendesah, lalu memeluk bayinya lebih erat. “Nanti kalau kamu sudah kuat dan bisa jalan, kita ikut ayah sama-sama, ya. Kita duduk paling depan. Kamu yang paling semangat nyimak ceramahnya.”
Raihan tertawa kecil, seolah mengerti.
Dan meski tak bisa hadir secara langsung, Nayla membuka buku catatan kajian, lalu mendengarkan siaran ulang suara Al dari ponsel. Di sudut rumah itu, seorang istri dan ibu tetap menjemput ilmu dengan kesabaran, sambil menggendong amanah kecil yang jadi cahaya hidupnya.
Gedung tempat kajian pagi itu penuh sesak. Kursi-kursi hampir tak tersisa, dan sebagian peserta rela duduk di lantai hanya agar bisa mendengar langsung ceramah dari Ustadz Al Ghazali—sosok muda, karismatik, dengan wajah tampan dan ketegasan lembut yang memancarkan wibawa.
Dengan jubah putih bersih dan peci hitam sederhana, Al naik ke atas mimbar dengan tenang. Suaranya lantang tapi teduh, setiap kalimatnya menyentuh, membuat siapa pun terdiam dan terhanyut dalam ilmu.
Namun di antara deretan jamaah, para santri putri dan ibu-ibu muda terlihat tak mampu menyembunyikan decak kagum. Ada yang hanya menatap diam-diam, namun ada pula yang lebih berani—tersenyum menggoda, berbisik satu sama lain, dan bahkan diam-diam menuliskan pertanyaan bernada pribadi di kertas tanya-jawab.
Salah satu ibu muda bahkan dengan suara yang cukup lantang, berkata saat sesi tanya-jawab dibuka:
“Maaf Ustadz... kalau boleh bertanya, bagaimana hukum wanita yang rela dipoligami asal menjadi istri seorang alim dan sholeh seperti Ustadz?”
Ruangan mendadak hening. Beberapa hadirin bahkan terkesiap, sebagian tertawa kecil menahan geli, dan sebagian justru ikut memperhatikan reaksi sang ustadz.
Al tersenyum tipis, tak terganggu sedikit pun. Ia menunduk sebentar sebelum menjawab, “Poligami adalah hukum yang diperbolehkan dalam syariat Islam, namun bukan ajang untuk berlomba-lomba. Bukan tentang siapa yang paling ingin, tapi tentang siapa yang paling memahami tanggung jawab dan keadilan. Dan saya… bukan suami yang sedang mencari istri lagi. Saya masih belajar untuk menjadi yang terbaik… bagi satu istri saya.”
Riuh tepuk tangan mengalun, sebagian menahan tawa, sebagian mengangguk salut. Namun satu hal pasti—jawaban itu langsung menusuk lembut ke sanubari, dan jauh di rumah, Nayla yang mendengar cerita dari salah satu pengurus yayasan hanya bisa tersenyum haru.
Karena meskipun banyak mata terpikat, hati Al tetap memilih untuk menatap ke satu arah: rumah kecil mereka, tempat Nayla dan Raihan menunggu dengan cinta paling tulus.
Di rumah sederhana mereka, Nayla sedang menyuapi Raihan yang kini sudah mulai belajar makan MPASI. Di meja kecilnya, ponsel Nayla menyala, menampilkan siaran langsung dari kajian yang diisi oleh suaminya, Ustadz Al Ghazali.
Wajah Al tampil jernih di layar, begitu tenang dan berwibawa. Nada suaranya lembut namun tegas, membawa suasana penuh hikmah bagi ribuan orang yang menyaksikan—baik yang hadir langsung maupun yang menonton dari rumah, termasuk Nayla.
Namun senyum Nayla perlahan pudar ketika mendengar suara seorang ibu muda dari balik kamera bertanya lantang tentang poligami, dengan terang-terangan mengatakan rela menjadi istri kedua Ustadz Al.
Wajah Nayla seketika menegang.
Raihan yang duduk di pangkuannya hanya menepuk-nepuk sendok kecil ke mangkuk makanannya, tak tahu bahwa hati ibunya baru saja diguncang rasa cemburu.
Tapi lalu... Al menjawab. Tenang, jujur, dan menghentakkan hati Nayla.
> “Saya… bukan suami yang sedang mencari istri lagi. Saya masih belajar untuk menjadi yang terbaik… bagi satu istri saya.”
Mata Nayla mulai berkaca-kaca. Tangannya berhenti menyuapi, dan ia menatap layar ponselnya lama-lama, seolah ingin masuk ke dalam dan memeluk laki-laki yang baru saja menegaskan bahwa cintanya tak terbagi.
Raihan pun tiba-tiba tertawa kecil, melihat wajah ibunya yang berubah bahagia.
“Abi kamu hebat, ya, Nak…” bisik Nayla, mengecup kepala putranya. “Dan kamu… alasan Mama tetap kuat.”
Langkah kaki Al memasuki rumah terasa ringan usai mengisi kajian pagi yang penuh keberkahan. Namun begitu membuka pintu, suasana rumah terasa terlalu tenang. Tak ada suara tangisan manja atau tawa kecil Raihan yang biasanya menyambutnya dari pelukan ibunya.
Al meletakkan peci dan tas kecilnya, lalu menghampiri kamar anaknya. Di sana, ia mendapati Raihan telah terlelap di atas tempat tidur kecilnya, mengenakan piyama bermotif bulan bintang. Wajahnya tampak bersih dan harum, rambutnya rapi, dan selimut sudah ditarik hingga dada. Ada aroma bedak bayi dan minyak telon yang menguar menenangkan.
Al tersenyum tipis, membungkuk mencium kening putranya. "Anak sholeh abi udah tidur, ya..."
Namun kemudian ia menyadari sesuatu, tak ada tanda-tanda keberadaan Nayla. Kamarnya kosong. Dapur pun senyap. Pintu kamar mandi terbuka dan lampunya mati. Al sempat mengernyit, penasaran.
Hingga saat ia membalikkan badan menuju ruang tamu, matanya langsung terbelalak.
Nayla berdiri di depan pintu kamar mereka, mengenakan pakaian dinas malamnya, gaun tidur satin berwarna merah marun yang menggantung anggun di tubuh rampingnya. Rambutnya yang biasa tertutup di luar, kini digelung rapi dengan beberapa helaian membingkai wajah. Make-up-nya lembut, tidak menor, namun cukup untuk menghidupkan tatapan matanya yang bening.
Tatapan Nayla menggoda, tapi juga penuh cinta. Ia menyandarkan tubuhnya ringan di kusen pintu, sambil berkata pelan, “Selamat datang di rumah, Ustadzku…”
Al mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tersenyum menahan kekaguman dan rasa syukur. "Dan ini... pulang yang benar-benar ditunggu," gumamnya pelan sambil melangkah mendekat.
Malam itu, rumah mereka kembali penuh cinta. Bukan hanya dari kajian dan nasihat agama, tapi dari hangatnya perhatian seorang istri dan lembutnya pelukan seorang suami yang tahu, surga dunia dimulai dari rumah yang dijaga dengan kasih dan iman.