Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti dan Saksi Kunci Yang Lengkap
Lian He kembali melaporkan hasil mata-mata.
"Target mereka:
memaksa kepala desa yang menolak menyerah,
atau... membungkam mereka selamanya."
"Kalau kepala-kepala desa itu mati...
tak ada lagi saksi kunci di depan rakyat maupun istana."
Jing Rui mengetuk pelan permukaan meja.
"Kita sudah siap, bukan?"
Lian He tersenyum kecil, menahan kegembiraan dingin.
"Semua sudah sesuai rencana, Yang Mulia."
"Penjaga bayangan kita sudah ditempatkan di sekitar rumah masing-masing kepala desa."
"Jika mereka menolak bekerjasama. Mereka akan dilindungi,
dan hidup untuk menjadi saksi atas pengkhianatan ini."
Lian He mengeluarkan satu gulungan kulit tipis, terbungkus lilin merah tua.
Ia meletakkannya di meja Jing Rui dengan penuh hormat.
"Dan ini," katanya.
"Surat perjanjian rahasia yang sudah berhasil kami curi."
"Antara pihak pengkhianat,
kepala-kepala desa yang sudah dibeli,
dan utusan dari Hui Hui."
"Kerja bagus," Jing Rui membuka perlahan.
Di sana, dengan tinta tebal:
Nama-nama pejabat setempat yang berkhianat,
Nama kepala desa yang menjadi target sasaran tanda tangan,
Dan meterai negeri Hui Hui di sudut bawah surat.
Semua bukti ada di tangan. Tinggal mengamankan saksi kunci yang ada.
"Semoga ada satu orang jujur yang tidak mengecewakan. Lebih baik lagi kalau lebih," Pangeran Keempat duduk tenang di dalam kamar kayunya.
Satu lilin kecil menyala.
Gulungan surat bukti terbentang di hadapannya.
Ia menutup matanya sesaat.
"Besok... bukan aku yang berbicara."
"Tapi kebenaran."
Dan di luar sana,
musuh-musuhnya masih percaya...
mereka hampir menang.
---
Di sebuah rumah bambu tua yang sunyi,
tersembunyi di balik ladang jagung kering,
beberapa pria berbaju gelap berkumpul malam itu.
Udara terasa berat, seperti menahan napas.
Di depan kediaman kepa desa, seorang lelaki paruh baya—Kepala Desa Zhang,
duduk bersila, wajahnya keras tapi penuh keraguan.
Di depannya,
salah satu komplotan utama tersenyum licik sambil menggeserkan segulung kertas ke arahnya.
"Sudah 90% kepala desa mengikuti rencana kami. Satu tanda tanganmu saja," katanya lembut.
"Dan hidupmu akan berubah."
Zhang tidak bergerak.
Pria itu terus berbicara:
"Hasil ladangmu, ternakmu, emas kecil yang kalian punya—akan dilindungi Hui Hui."
"Sebagai kepala desa, kau akan diberi jabatan resmi di pemerintahan baru mereka."
Ia mencondongkan tubuh, matanya berkilat.
"Dan... sebagai imbalan tambahan—"
"Ada bagian untukmu.
Emas, rumah batu di kota, jaminan untuk anak-anakmu."
Kepala Desa Zhang mengerutkan kening.
"Emas... rumah..."
"Dan apa yang terjadi pada rakyatku?"
Pria itu terkekeh.
"Itu urusan mereka nanti."
"Kita jual tanah ini, bukan nasib mereka."
"Kalau mereka jadi budak atau mati kelaparan setelah ini...
itu bukan salah kita."
Tawa kecil terdengar dari rekan-rekan komplotan lain di sudut ruangan.
Kepala Desa Zhang menatap mereka satu per satu,
mata tuanya bersinar marah.
Ia berdiri perlahan,
menyambar gulungan surat itu dan meremasnya erat.
"Kalian bukan penyelamat."
"Kalian penjagal."
"Menjual tanah air sendiri—
hanya untuk mengisi perut kalian yang busuk."
"Aku akan melaporkannya kepada Pangeran Keempat!"
Salah satu komplotan bangkit, matanya berkilat dingin.
"Berani sekali kau."
"Kalau begitu... kau tidak kembali dari sini hidup-hidup."
Kepala Desa Zhang membanting surat itu ke dalam sakunya, ia menyimpannya sebagai bukti, lalu
bersiap melawan walau tahu dia kalah jumlah.
Para pria berbaju gelap menghunus pisau tipis dari pinggang mereka,
melangkah mendekat perlahan.
Beberapa pria berbaju hitam mengangkat pisau mereka,
bergerak melingkari Kepala Desa Zhang dengan senyum kejam.
"Kau pikir bisa menantang kami, tua bangka?"
Zhang tetap berdiri tegak, walau napasnya berat.
Saat pisau pertama hendak meluncur—
Praakk!!
Suara kayu jendela pecah bergema.
Bukan dari depan.
Bukan dari belakang.
Tapi dari atap.
Dari balik bayang-bayang balok kayu,
tiga sosok berpakaian kelam melompat turun.
Gerakan mereka cepat dan presisi seperti bayangan.
Penjaga Bayangan Pangeran Keempat.
Mereka tidak menyerang langsung.
Mereka hanya menyebar, membentuk perisai manusia di sekitar Kepala Desa Zhang.
Salah satu dari mereka—seorang pemuda berwajah tajam—berbisik:
"Tuan Kepala Desa.
Kami utusan Pangeran Keempat."
"Ikut kami. Anda aman."
Sementara itu, dua penjaga lain membuat gerakan tipuan,
mengalihkan perhatian komplotan.
Tidak ada senjata yang dihunus.
Tidak ada darah.
Semua bergerak cepat, bersih, dan diam.
Dalam hitungan detik,
Kepala Desa Zhang sudah ditarik keluar lewat lubang kecil yang disiapkan di dinding samping,
menyelinap ke dalam lorong ladang jagung.
Komplotan tersisa berteriak marah tapi terlambat mengejar.
---
Malam itu,
Kepala Desa Zhang tiba di kediaman cadangan Pangeran Keempat.
Ia dibawa ke ruang rahasia,
diberi air hangat, dibalut luka goresnya,
dan duduk di depan meja bundar sederhana.
Lian He mendekat dengan senyum tipis:
"Tuan Kepala Desa," katanya sopan,
"Anda tidak perlu takut lagi."
"Mulai malam ini...
Anda saksi kerajaan."
Di tangan Lian He,
terbentang surat titah kekaisaran—
yang memberi hak perlindungan penuh kepada siapa pun yang bersaksi atas pengkhianatan dalam negeri.
Mata Zhang bergetar.
Untuk pertama kalinya malam itu,
ia merasa benar-benar aman.
"Ikut saya menghadap Pangeran Keempat," ajak Lian He sopan.
---
Pintu ruangan itu terbuka pelan.
Kepala Desa Zhang melangkah masuk,
langkahnya berat namun penuh tekad.
Di dalam, berdiri seorang pria muda—
gagah, tenang, dan memancarkan wibawa yang jarang dilihat Zhang seumur hidupnya.
Pangeran Keempat.
Rong Jing Rui.
Kepala Desa Zhang sempat tertegun sejenak.
Begitu muda... begitu bersih wajahnya.
Bukan sosok tua berhias emas,
bukan penguasa yang bau darah.
Buru-buru ia menjatuhkan diri ke tanah,
bersujud dalam-dalam.
"Yang Mulia...
hamba... hamba siap memberi semua kesaksian!"
Suara tuanya bergetar, penuh emosi.
Jing Rui melangkah pelan, membungkuk sedikit, membantu pria tua itu bangkit.
"Tidak perlu berlutut, Tuan Kepala Desa," katanya hangat.
"Hari ini... Anda berdiri bukan di hadapan tuan.
Tapi di hadapan kebenaran."
Mata Zhang bergetar. Ia mengangguk keras.
Dari sakunya yang lusuh,
Zhang mengeluarkan sesuatu.
Gulungan kertas, lecek dan sedikit bernoda debu.
Dengan tangan gemetar, ia menyerahkannya.
Jing Rui menerima gulungan itu.
Membukanya perlahan di bawah lentera minyak.
Huruf-huruf besar terpampang jelas—
tinta merah, segel asing, dan perjanjian busuk:
Nama ketua komplotan lokal.
Tanda tangan agen negara Hui Hui.
Perjanjian pembagian emas, tanah, dan jabatan untuk kepala-kepala desa yang mau menjual wilayahnya.
Jaminan perlindungan dari Hui Hui untuk pengkhianat.
Semua... terang, kejam, menjijikkan.
Jing Rui tersenyum samar, penuh makna.
"Hanya satu orang."
"Hanya satu orang tua...
di tengah ratusan, yang menolak harga emas untuk tanah leluhurnya."
Ia menggeleng perlahan, nyaris menahan tawa getir.
"Apakah manusia sungguh begitu murah...?"
Tapi Kepala Desa Zhang,
yang wajahnya digerogoti keriput dan usia,
mengangkat kepalanya tegak.
"Yang Mulia..." katanya parau.
"Batu besar mungkin hancur oleh badai."
"Tapi bukan semua batu kecil... ikut menggelinding."
"Ada yang tetap berdiri.
Meski dunia berubah."
"Saya Zhang Shu He tidak akan sekali sekali menyerahkan negeri hanya untuk kekayaan yang fana!" tangisnya miris atas kejahatan yang ia saksikan sendiri sebelumnya.
Jing Rui menutup gulungan itu perlahan.
Menyelipkannya ke dalam lengan bajunya.
"Mulai malam ini, Tuan Kepala Desa..."
"Anda... adalah tiang negeri ini. Aku sangat menghargai dan mencari orang yang bisa dipercaya seperti Tuan Kepala Desa."
Di luar jendela, angin dingin mulai berembus.
Tapi di dalam ruangan kecil itu—
sebuah api kecil mulai menyala.
Api keadilan.
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya