Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Sementara ditempat lain, tepatnya dipusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang.
Saat ini Ayuna tengah menikmati permainan mandi bola bersama anak-anak lainnya. Hafsah sibuk mengambil gambar sang Putri, yang dia potret secara diam-diam.
'Ayuna pasti senang, setelah melihat videonya' Hafsah memasukan kembali ponselnya kedalam tas, lalu bergerak menghampiri kearah Dista yang sedang duduk memainkan ponselnya.
Namun baru dua langkah, Hafsah mengernyit saat mendapati ada seorang ibu-ibu setengah baya, sedang berdiri disamping Dista, dengan tatapan bengis penuh kebencian.
"Huh!" desah wanita tua itu, sambil melipatkan tangan kedada. "Masih juga belum punya anak, ternyata!" ejeknya menatap Dista.
Dista membuang muka, menghela nafas dalam. Entah mengapa dia dapat bertemu wanita tua itu didalam Mall ini. Hal yang paling Dista hindari 4 tahun belakangan ini, rupanya muncul hari ini didepan matanya.
"Belum puas, mengurusi hidup saya? Apa Anda begitu mengkhawatirkan hidup Saya, setelah Saya berpisah dari putra Anda?" tandas Dista dengan wajah datarnya.
Hafsah segera mendekat, lalu berdiri disamping sang sahabat. Wajahnya terlihat bingung, ada apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.
"Berpuluh-puluh kali kamu menikah, tetap saja tidak akan memiliki anak, Dista! Untung saja putraku menceraikan wanita sepertimu. Sekarang, putraku hidupnya bahagia, karena sebentar lagi istri barunya akan segera melahirkan!" sahut wanita tua tadi, sambil menunjuk wajah Diasta.
Hafsah mulai tidak terima melihat sahabatnya dihina seperti itu. Dia lantas segera menjauh kembali, untuk meminta Ayuna bersandiwara.
"Oke, sayang!"
"Oke, Bunda!" Setelah diberi paham oleh Bundanya, Ayuna lantas segera berlari kearah Dista.
"Ibu ... Aku susah selesai mainnya," teriak Ayuna menghampiri Dista.
Spontan Dista terkejut. Tanganya mengkap tubuh Ayuna, namun tatapanya kearah Hafsah yang sedang berjalan kearahnya. Dia tahu, apa yang sedang sahabatnya rencanakan.
"Hei sayangnya Ibu ... Apa Yuna bahagia bermainnya," ucap Dista, seolah sedang mengejek mantan mertuanya itu.
"Apa Anda buta? Setelah saya menikah lagi, saya langsung hamil! Dan lihat, putriku sangat cantik!" cerca Dista menatap sinis wanita tua tadi.
Merasa terpojokan, wanita tua itu langsung melenggang pergi dengan tatapan sinisnya.
"Aku tidak tahu, kalau tidak ada kalian! Terimakasih," ucap Dista merasa terharu, sambil memeluk Hafsah serta Ayuna.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan ucapannya! Mereka sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan rumah tanggamu yang baru, Dis!"
Dista mengangguk. Dia benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Hafsah.
Setelah puas bermain, mereka memutuskan untuk pulang, karena Hafsah merasa kasian jika meninggalkan sang Neneknya terlalu lama.
Mereka bertiga berjalan bergandengan, hingga tiba di lantai dasar. Disaat baru ingin keluar, tiba-tiba ponsel Hafsah berdering sangat kencang.
Drrt.. Drrt..
"Dis, Ibu telfon! Aku kesana dulu bentar, ya! Titip Yuna, disini brisik banget."
Dista mengangguk, lalu dia menggenggam tangan Ayuna agar bocah kecil itu aman. Dapat Dista lihat, dari arah luar ada seorang bocah kecil laki-laki seusia Ayuna, yang sedang berlari kencang menuju kearah mereka.
Karena terlalu kencang, sehingga bocah kecil itu tidak memiliki keseimbangan, sehingga terjungkal tepat didepan Ayuna.
Huaaa .... Bunda!
Melihat itu, Dista dan Ayuna lantas membantu bocah kecil itu untuk bangkit.
"YA ALLAH, Narendra ...." pekik wanita dibelakangnya, yang ternyata si Ibu dari bocah kecil itu.
"Lain kali, nggak usah lali, ya! Sebental, aku tiup dulu lukanya," Ayuna mengerucutkan bibirnya, meniup lutut bocah pria itu, yang kini masih terisak kecil.
"Terimakasih, sudah menolong putra Saya," ucap si Ibu tadi.
"Tidak masalah! Lain kali pelan-pelan saja ya, jalannya!" ucap Dista mengusap kepala bocah tadi.
Setelah itu, bocah kecil tadi dibawa Ibunya masuk kedalam.
"Bibi, Yuna ingin ice cream itu! Kita beli sebentar yuk."
Dista mengangguk, lalu mengajak Ayuna kesamping untuk membelikan putri sahabatnya itu ice cream.
Dari arah pintu masuk, seorang pria tengah mengembangkan senyum hangat, saat bocah pria tadi melambaikan tangan kearahnya. Bastian? Benar, pria itu adalah Bastian. Sementara bocah kecil dan wanita tadi adalah Narendra dan Aisyah.
"Om Bas, aku tadi habis jatuh disana! Untung ada temen aku yang bantuni," adu Narendra setelah Bastian tiba didepannya.
Bastian lalu menatap Aisyah dengan tatapan penuh tanya.
"Setiap anak kecil yang dia temui, maka dianggapnya sebagai teman, pak Bastian!" jawab Aisyah menjelaskan.
"Ya sudah, jangan menangis! Kita bermain hari ini, oke!"
"Oke, Om! Yuk," Narendra menarik tangan Aisyah dan juga Bastian untul diajaknya masuk kedalam.
Setelah selesai menelfon, Hafsah kembali lagi ketempat semula. Namun seketika dia terkekeh kecil, saat melihat sahabat dan putrinya tengah berjalan kearahnya sambil membawa ice cream.
"Sudah, yuk pulang!"
Sepanjang jalan, Ayuna menceritakan tentang bocah kecil tadi yang jatuh kepada sang Bunda. Ayuna begitu antusias saat menjabatkan kalimatnya yang begitu belepotan.
Hafsah dan Dista hanya dapat tertawa, karena kadang ada kalimat yang mereka tidak mengerti, namun hanya di'iyakan saja.
Dasar Ayuna, hehe ....
*
*
*
Sore ini, hujan turun begitu lebat. Namun Hafsah harus tetap pulang kerumah Ibunya, karena mendapat kabar tadi siang, bahwa sang ayah sedang sakit.
Sudah 1 minggu, pak Mulyo terjatuh sakit, akibat gula darahnya naik. Pria tua itu juga menderita riwayat darah tinggi. Dan bersamaan, kedua penyakitnya itu kambuh.
Adiknya sedang kuliah, dan tidak ada orang yang bisa bu Mirna andalkan untuk membelikan obat, karena pak Mulyo enggan dibawa ke rumah sakit.
"Nunggu hujannya reda, Sah! Simbok nggak mau, kalau kamu kenapa-kenapa." Mbok Nah juga ikut berdiri di luar, menemani sang Cucu yang akan pergi tadi.
Selang menunggu 5 menit, hujan tidak sederas seperti tadi. Hafsah lalu segera memakai jas hujannya, serta helmnya.
"Mbok, titip Yuna sebentar ya! Nanti setelah selesai isyak, Hafsah segera pulang," pamit Hafsah sambil mencium tangan sang Nenek.
"Hati-hati ... Jangan pikirkan Yuna! Dia aman sama Simbok."
Setelah itu Hafsah mulai menjalankan sepeda motornya. Jika diingat, terkadang Hafsah masih merasa sakit hati, atas apa yang telah orang tuanya lakukan terhadap rumah tangganya, terutama suaminya~Raga.
Jalanan begitu sepi, sama seperti sepinya hati Hafsah saat ini. Perasaan serta pikiranya sudah lelah, mencari tahu masalah, yang bahkan dia sendiri tidak tahu kebenarannya. Dia juga hampir menyerah mencari keberadaan Bastian.
Air hujan turun lagi semakin deras. Kilat diatas sana saling bersahutan, hingga membuat jantung Hafsah berdebar lebih kencang.
"Mas, aku takut dengan petir! Aku tidak setegar yang orang lain kira. Aku rapuh, Mas! Aku ingin menceritakan semua hari-hariku padamu seperti dulu." Hafsah bersuara, meluapkan segela hal yang mengganjal dalam hatinya. Air matanya sudah bersatu dengan air hujan, yang masuk melalui celah helmnya.
Dint! Dint!
Cruatttt!!!!
Aww!
Pekik Hafsah, saat tubuhnya terkena cipratan genangan air hujan, akibat ulah pengendara mobil yang melewati dirinya dengan cepat.
"Heii ... Pelan-pelan dong!" teriak Hafsah, walaupun hanya terdengar oleh dirinya saja.
Sementara didalam mobil, pria itu sibuk bercengkrama dengan seseorang disebrang telfon. Wajahnya sedikit menahan kesal, karena baru saja mendapat telfon dari sang ayah, perihal kepergiannya hingga sore
"Dimassss!!!!!" teriak pria itu, yang ternyata Bastian.
"Awas saja pria itu, berani-beraninya dia mengadukan kepergianku pada Papah!" gerutu Bastian kembali, menahan kesal.
** **
Hampir pukul 18.00 Hafsah baru tiba dirumah ibunya. Abaya bawahnya basah, dan sebagian hijabnya juga basah terkena cipratan air hujan.
Setelah membuka jasnya, dia langsung masuk kedalam begitu pintu terbuka dari dalam.
"Kamu sendirian?" tanya bu Mirna mengedarkan pandang, saat tidak mendapati sang cucu ikut.
"Ayuna dirumah, bu, sama Simbok! Oh ya ... Ini obatnya." Hafsah memberikan obat, yang tadi dia beli di apotik.
"Dimana, Bapak?"
"Dia ada dikamar! Sudah 2 hari nggak mau makan, katanya minta kamu yang suapin!"
Hafsah lalu masuk kedalam kamar Ayahnya. Pria tua itu tertidur meringkuk, dengan selimut yang menutup setengah badannya. Kepala pak Mulyo diikat menggunakan seutas kain, karena yang dirasakannya terlalu berat.
"Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"
"Bapakmu nggak mau, Sah! Katanya nanti juga sembuh," jawab bu Mirna merasa lelah.
Mendengar ada suara didekatnya, pak Mulyo berlahan berbaring, hingga dia dapat melihat putrinya sudah ada didepannya.
Bu Mirna mendekat, saat sang suami ingin bangkit bersandar. "Dimana putrimu, Sah? Kenapa nggak kamu ajak?" tanya pak Mulyo yang kini terdengar parau.
"Hujan! Nggak mungkin diajak, kasian nanti kedinginan." Bukan Hafsah yang menjawab, melainkan bu Mirna.
"Untuk apa Bapak menanyakannya, jika dulu saja kehadirannya tidak Bapak inginkan!" pungkas Hafsah dengan wajah datarnya.
"Maafkan Bapak, Sah! Dulu Bapak sangat kecewa terhadapmu! Orang tua mana yang tidak marah, mendapati putrinya tiba-tiba hamil sendiri, tanpa tahu siapa yang sudah menghamilinya."
"Sudah, Pak! Nggak usah diungkit lagi!" bisiki bu Mirna merasa tidak enak hati terhadap putrinya.
Hafsah mendesah pelan, sambil membuang muka.
"Ajaklah putrimu pulang disini, Hafsah! Bapak ingin mengajaknya bermain, seperti orang-orang diluaran sana, yang terlihat asik bermain dengan cucunya," pinta pak Mulyo.
"Bagaimana bisa aku meninggalkan Neneku hidup sendirian? Sementara dulu, wanita tua itu yang sudah mau menerima kekurangan Hafsah, tanpa pernah memojokan sedikitpun. Jika saja, Neneknya mas Raga orang jahat juga, maka apa yang terjadi dengan hidup Putrimu ini, setelah kalian sia-siakan!" tolak Hafsah merasa kecewa dengan sikap orang tuanya dulu.
Rasanya teramat sakit mengingat perjuangan Suaminya dulu.