Married To Fierce Boss

Loralei jadi terkekeh mendengar permintaan Agathias. Bukannya membuat takut, justru lucu juga. Ternyata suaminya sengaja supaya ia mau memeluk dan mencium. Baiklah, karena biasanya pria itu yang membuatnya kesal, sekarang gantian. Biar tahu si bos bagaimana tak enak menjadi dirinya setiap hari.

“Oh, kalau begitu, lanjutkan saja marahnya. Banting sekalian komputer, laptop, semuanya.” Loralei berhenti memunguti barang-barang yang berserakan di lantai. “Kalau perlu, robohkan gedung perusahaanmu.” Dia memutar tubuh dan melenggang kembali menuju meja kerja.

Agathias membulatkan mata. Tidak salah yang ia dengar dan lihat? Loralei membiarkan dirinya marah? Biasanya wanita itu paling takut kalau sudah mendengarnya naik pitam. “Oh, tentu, kalau perlu kau juga ku banting!” ancamnya dengan mata begitu tajam menusuk bercampur kesal.

Loralei duduk santai di kursinya. Menyilangkan kaki kanan di paha kiri dan kedua tangan terlipat depan dada. “Mau melakukan kekerasan denganku? Silahkan, jadi ada alasan untuk menuntutmu.”

Agathias berhenti memporak porandakan seisi ruangannya. Dia berdiri mencengkeram meja dan menatap Loralei dengan sorot tak percaya. “Kau berubah, sekarang mulai berani melawanku.”

“Lama-lama aku juga bosan menurut dan takut denganmu.” Loralei mengambil ponsel ketika layar berukuran enam koma tujuh inch itu menyala dan menunjukkan caller id seseorang. Dia mengabaikan wajah Agathias yang kesal. Rasakan apa yang setiap hari menimpanya.

“Halo?” sapa Loralei.

“Siapa?” Agathias langsung penasaran dan berjalan mendekat untuk tahu penelepon sang istri.

Namun, pertanyaan itu tak ditanggapi oleh Loralei. Dia terus melanjutkan berbicara. “Sekarang? Oke, aku segera ke sana.”

Tangan Agathias merebut benda tersebut. Tepat sekali panggilan sudah terputus. Dia hendak mengecek siapa yang berani menghubungi Loralei. “Dilarang ada rahasia diantara kita.”

“Dih, bicaranya sudah seperti orang yang menikahiku karena cinta saja.” Loralei mencebikkan bibir dan menekan power supaya ponsel di genggaman suaminya tak bisa dibuka. Hari ini ia yang akan membuat pria itu kesal.

“Kau bukan anak kecil yang harus ku jelaskan secara detail, bukan? Pikirkan menggunakan kepintaranmu tentang semua perlakuanku, seharusnya sudah bisa menyimpulkan sendiri kenapa aku menikahimu.” Agathias menunjukkan layar ke arah Loralei supaya bisa terbuka dengan face id. Tapi, ternyata gagal.

Loralei menertawakan bosnya yang gagal mengakses ponselnya. “Tidak bisa, ya? Kasian.” Ah ... senang sekali bisa mengejek Agathias.

Tangan Loralei langsung menarik paksa benda miliknya. “Tidak penting lagi alasan kau menikah denganku. Sudah tahu, pasti tak jauh dari memanfaatkan diriku saja.” Walau sakit jika sampai benar dugaan itu. Tapi, sudahlah, hidup tanpa memiliki power memang selalu ada dalam genggaman orang-orang berkuasa. Mau sedih juga ada untungnya. Jadi, sekarang cukup dinikmati sampai saatnya berpisah kalau suaminya sudah bosan dengannya.

“Mau ke mana?” Agathias mencekal tangan istrinya ketika melihat wanita itu mengemasi barang dan dimasukkan ke dalam tas.

“Makan siang.” Loralei menunjuk jam di layar komputer kalau sudah waktunya berhenti bekerja dan istirahat.

“Aku ikut.” Agathias merebut tas sang istri dan ia selempangkan ke tubuh sebelum diambil kembali.

“Kau makan sendiri saja, minta sepupumu si perampok sepuluh ribu euro itu untuk menemani,” tolak Loralei sembari menarik barangnya.

“Malas, ada istri, untuk apa pergi bersama sepupu.” Agathias memicingkan sorot mata. “Jangan bilang kalau kau akan bertemu orang yang baru saja menelepon?”

“Memang.” Dan celetukan jujur itu membuat Loralei mendapatkan cekalan di pergelangan tangan.

“Siapa orang yang berani mengajakmu bertemu dan aku tak boleh ikut, ha?!”