Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Profesional
Hari ini Embun ada kelas pagi. Karena itu, sejak jam setengah 7 dia sudah tampak rapi dan siap berangkat. Blouse berwarna baby yellow yang dipadukan dengan celana kulot jeans biru muda membuat penampilannya terlihat manis dan segar. Warna-warna lembut itu cocok dengan kulitnya yang cerah. Rambut panjangnya diikat menjadi satu dengan karet berwarna senada, agar tidak mengganggu aktivitasnya selama di kampus.
Udara pagi yang masih terasa sejuk membuat suasana rumah kecil Embun terasa tenang. Di meja makan, aroma nasi goreng buatan tangannya sendiri masih mengepul hangat. Embun menatapnya dengan senyum kecil, lalu mengambil sendok dan duduk untuk menikmati sarapannya.
"Hem, enak juga," gumam Embun pelan setelah suapan pertama.
Dia tidak sedang memuji dirinya berlebihan, hanya menyampaikan fakta. Rasa nasi goreng itu memang pas—gurih, sedikit pedas, dengan aroma bawang putih yang harum. Makanan sederhana seperti ini selalu berhasil memperbaiki mood-nya di pagi hari. Sambil mengunyah, Embun menatap ke arah jendela yang tirainya tersibak sedikit, membiarkan sinar matahari pagi menyelinap masuk dan menyinari ruang makan kecil itu.
"Semoga urusan hari ini berjalan lancar," ucapnya lagi dengan nada ringan.
Setelah menghabiskan makanannya, Embun meraih gelas air putih di sebelah piring, meminumnya sampai habis, lalu berdiri sambil merapikan meja. Matanya sekilas melirik jam di pergelangan tangan. Jarum pendek menunjukkan angka tujuh. Masih ada sekitar tiga puluh menit sebelum kelas pertamanya dimulai.
Dia tidak ingin terburu-buru, jadi memutuskan untuk segera berangkat agar bisa santai di jalan. “Oke, waktunya berangkat,” katanya pelan sambil menarik napas panjang.
Setelah mencuci piring dan wajan bekas memasak, Embun menata peralatan dapur seperti biasa. Setiap pagi dia selalu memastikan semuanya rapi sebelum keluar rumah. Setelah itu, dia berjalan ke pintu depan, memeriksa ulang saklar lampu, lalu memastikan jendela dan pintu sudah terkunci rapat.
Begitu yakin semuanya aman, Embun mengambil helm dari gantungan di dekat pintu dan keluar rumah. Udara luar langsung menyapa wajahnya—campuran aroma embun, dedaunan, dan sedikit asap dari kendaraan yang mulai ramai di jalan.
Di halaman, motornya sudah terparkir rapi. Embun menyalakan mesin dan membiarkannya hidup beberapa menit untuk memanaskan. Sambil menunggu, dia sempat merapikan tali sepatunya dan memastikan tasnya sudah berisi semua perlengkapan kuliah: laptop, catatan, dan botol minum.
“Baiklah,” ujarnya pelan sambil mengenakan helm.
Begitu yakin semuanya siap, Embun menaiki motornya dan mulai melaju perlahan keluar gang. Jalanan pagi itu cukup lengang. Matahari yang baru naik memantulkan cahaya keemasan di sepanjang jalan. Embun tersenyum kecil di balik helmnya—pagi yang indah, hati yang tenang, dan nasi goreng buatan sendiri yang lezat tadi membuatnya bersemangat memulai hari.
Dia menyalakan lampu sein kanan, berbelok ke arah jalan besar, lalu melaju menuju kampus dengan perasaan ringan dan semangat yang penuh.
Begitu Embun sampai di kampus, suasana sudah cukup ramai. Suara deru kendaraan, tawa mahasiswa, dan langkah kaki yang bersahutan menciptakan kesibukan khas pagi hari di lingkungan perkuliahan. Ia menepikan motornya ke area parkir, mematikan mesin, lalu menurunkan helm dari kepalanya. Beberapa helai rambut yang terlepas ia rapikan cepat dengan tangan sebelum akhirnya berjalan ke arah gedung fakultas.
Begitu matanya menangkap sosok Amara yang sedang duduk di kursi dekat parkiran, senyumnya langsung mengembang. Sahabatnya itu tampak sedang sibuk menatap layar ponsel, mungkin sedang membaca pesan atau sekadar melihat waktu.
“Udah dari tadi, Ra?” tanya Embun begitu ia menghampiri sambil menepuk pelan bahu Amara.
Amara menoleh, lalu tersenyum hangat seraya menggeleng pelan. “Baru lima menitan. Bang Tama udah ke ruangannya dulu, Sya,” jawabnya santai.
Embun mengangguk kecil. “Oh, ya udah,” gumamnya sambil melirik sekilas ke arah gedung tempat ruang dosen berada. Ia tahu Tama memang selalu datang lebih awal setiap kali mengajar. Lelaki itu bukan hanya dosen yang disiplin, tapi juga teladan bagi banyak mahasiswa karena sikapnya yang tegas namun tetap ramah.
Sambil merapikan tali tas yang melintang di bahu, Embun menatap jam di pergelangan tangan kirinya. Jarum panjang sudah hampir tepat di angka dua belas. “Ya udah, kita langsung ke kelas aja yuk. Lima menit lagi kelas mau dimulai. Jangan sampai kita telat di kelas Bang Tama,” ujarnya sambil tersenyum.
Amara langsung berdiri, mengangkat tas ranselnya, lalu berjalan berdampingan dengan Embun menuju gedung kuliah. Di sepanjang jalan, mereka melewati beberapa mahasiswa lain yang juga sedang tergesa menuju kelas masing-masing. Langkah mereka cepat, tapi tetap diselingi obrolan ringan.
“Kayaknya hari ini materinya agak berat deh,” celetuk Amara dengan wajah sedikit cemberut.
Embun terkekeh kecil. “Kayaknya iya. Tapi untung tadi aku udah baca ulang catatan minggu lalu, jadi lumayan ngerti dikit.”
Amara menatapnya heran. “Serius? Aku aja belum sempat buka buku, Sya. Semalam ketiduran gara-gara nonton drama.”
Embun hanya tertawa kecil mendengarnya. “Pantesan matamu agak sembap.”
“Ah, parah banget, ya!” Amara menepuk pelan lengan Embun sambil ikut tertawa.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di depan kelas. Dari luar, terdengar suara beberapa mahasiswa yang sudah lebih dulu datang, obrolan kecil bercampur dengan suara langkah kaki di lantai. Embun mendorong pintu perlahan, dan mereka berdua segera masuk.
Kelas masih belum penuh. Beberapa kursi di barisan depan sudah terisi, tapi bagian tengah masih cukup kosong. Embun memilih duduk di kursi baris kedua dari depan, tempat favoritnya karena bisa memperhatikan papan tulis dengan jelas tanpa harus terlalu mencolok. Amara duduk di sebelahnya, lalu mengeluarkan buku catatan dari tas.
Sambil menunggu kelas dimulai, Embun merapikan alat tulis dan memeriksa kembali jadwal di ponselnya. Ia sempat menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Meskipun kini statusnya adalah kekasih Tama, ia selalu berusaha memisahkan urusan pribadi dengan urusan kuliah.
Di kelas, Embun tetap bersikap seperti mahasiswa lainnya. Tidak ada perlakuan istimewa dari Tama, dan tidak ada juga tanda-tanda yang menunjukkan hubungan mereka di depan umum.
Tama pun, sebagai dosen, selalu menjaga sikapnya. Ia memberikan nilai secara objektif, menilai dari kerja keras dan hasil, bukan karena kedekatan pribadi. Hal itu justru membuat Embun semakin menghormatinya.
“Kayaknya Bang Tama bentar lagi masuk,” bisik Amara sambil melirik ke arah pintu.
Embun mengangguk, lalu menegakkan duduknya. Ia menarik napas pelan, mencoba fokus.
Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka dan Tama melangkah masuk dengan langkah tenang, membawa beberapa berkas di tangannya. Semua mahasiswa langsung diam, suasana berubah menjadi lebih tertib.
Embun tersenyum tipis, menatap ke depan dengan pandangan penuh perhatian—seolah ingin mengingatkan dirinya sendiri, bahwa di ruangan ini, ia bukanlah kekasih Tama. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang siap belajar.