NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Awal Pernikahan

Gemerlap lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit ballroom hotel bintang lima ini terasa menusuk mata. Suara denting gelas, tawa renyah para tamu terhormat, dan alunan musik klasik yang lembut seharusnya menjadi hal terindah di hari pernikahanku. Namun, di telingaku, semua itu terdengar seperti dengungan bising yang memekakkan.

Aku, Aerra, terduduk kaku di singgasana pelaminan yang dihiasi ribuan mawar putih. Gaun pengantin rancangan desainer ternama yang membalut tubuhku terasa berat, seolah menarikku ke dasar jurang keputusasaan. Di sampingku, seorang pria yang kini resmi menjadi suamiku, tersenyum tanpa henti. Namanya Aldo. Tampan, kaya, seorang direktur utama. Paket lengkap yang diidamkan semua wanita, kecuali aku.

“Kamu capek, Sayang?” bisik Aldo lembut, tangannya yang hangat menggenggam jemariku yang terasa dingin seperti es. “Senyum kamu sedikit pudar.”

Aku memaksakan seulas senyum. “Nggak, kok, Mas. Cuma sedikit pegal aja dari tadi berdiri terus.”

Dusta. Bukan pegal yang kurasakan, tapi hampa. Jiwaku seakan tercerabut paksa dari raganya, meninggalkan cangkang kosong yang hanya bisa mematuhi perintah.

“Sebentar lagi acaranya selesai. Setelah itu kita bisa langsung pulang, istirahat,” ujarnya lagi, matanya menatapku penuh puja. Tatapan yang membuatku merasa semakin bersalah.

Bagaimana bisa aku membalas tatapan itu saat hatiku menjeritkan nama pria lain? Nama Windu.

Tiba-tiba, Mama mendekati pelaminan. Wajahnya berseri-seri, tapi sorot matanya tajam saat menatapku. “Aerra! Senyumnya mana? Jangan pasang muka kayak orang berduka gitu, dong! Ini hari bahagia kamu!” desisnya pelan, memastikan Aldo tidak mendengar.

“Iya, Ma. Aerra capek,” jawabku lirih.

“Capek, capek! Alasan! Kamu harusnya bersyukur, Nak. Lihat suamimu, lihat semua ini!” Mama menyapukan tangannya, menunjuk ke seluruh kemewahan di sekeliling kami. “Ini semua berkat Mama! Coba kalau kamu masih nungguin si Windu kere itu, kamu mau makan apa? Makan cinta?!”

Setiap kata Mama adalah belati yang mengiris luka lama. Aku hanya bisa menunduk, menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Aldo yang menyadari perubahan raut wajahku langsung angkat bicara.

“Ma, Aerra memang kelihatannya lelah sekali. Mungkin sebaiknya kita persilakan tamu untuk menikmati hidangan saja, jadi kita bisa lebih santai,” ucap Aldo dengan sopan, mencoba menjadi penengah.

Mama langsung mengubah ekspresinya 180 derajat. “Oh, iya, tentu, Aldo. Kamu benar. Aerra ini memang manja dari dulu. Maaf ya, Nak Aldo.” Ia menepuk pundak suamiku dengan ramah sebelum berbalik dan kembali menyapa tamu-tamunya dengan senyum palsu yang sempurna.

Aku menatap Aldo. “Makasih, Mas.”

“Untuk?”

“Udah… belain aku di depan Mama.”

Aldo tersenyum lagi, senyum yang bisa meluluhkan hati wanita mana pun. “Tentu saja. Kamu kan sekarang istriku. Tanggung jawabku. Apapun yang bikin kamu nggak nyaman, itu juga jadi urusanku.”

Aku terdiam. Kebaikan pria ini terasa seperti siksaan. Kenapa bukan dia yang kutemui lebih dulu? Kenapa hatiku sudah terlanjur memiliki pemilik?

Tak lama, adikku, Lika, naik ke pelaminan. Ia tampil memesona dengan gaun berwarna peach, senyumnya terkembang manis, namun matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa kubaca.

“Selamat ya, Kak Aerra, Mas Aldo,” sapanya riang. “Wah, Kakakku sekarang jadi Nyonya Direktur, nih. Hebat banget!”

“Makasih, Lika,” sahutku seadanya.

“Enak banget, ya, jadi Kakak. Nggak perlu pusing mikirin apa-apa lagi. Tinggal duduk manis, semua tersedia,” lanjutnya, terdengar seperti pujian, tapi aku tahu ada nada iri di baliknya. “Nggak kayak aku, masih harus berjuang sendiri.”

Aldo tertawa kecil. “Nanti Mas bantu kenalin kamu sama teman-teman Mas, gimana?”

Mata Lika langsung berbinar. “Beneran, Mas? Wah, baik banget, deh, kakak iparku ini. Kak Aerra beruntung banget, lho, dapetin Mas Aldo.”

Aku hanya tersenyum tipis. *Beruntung? Kamu tidak tahu apa-apa, Lika.*

Lika kemudian berfoto bersama kami sebelum akhirnya turun panggung, meninggalkan jejak perasaan tidak nyaman di hatiku. Aku tahu adikku. Di balik wajah manisnya, ia bisa menjadi ular yang paling berbisa.

Sisa acara terasa berjalan dalam gerakan lambat. Aku seperti boneka pajangan yang hanya bisa tersenyum, mengangguk, dan mengucapkan terima kasih. Pikiranku melayang jauh, kembali ke sore itu, di taman kota tempat aku dan Windu biasa bertemu.

*“Mas, sampai kapan kita begini terus?” tanyaku waktu itu, hatiku resah.*

*Windu menggenggam tanganku. “Sabar ya, Sayang. Aku lagi berusaha. Begitu tabunganku cukup untuk DP rumah dan biaya nikah, aku pasti langsung datang ke orang tuamu.”*

*“Tapi Mama… Mama udah nggak sabar, Mas.”*

*“Aku janji, Aerra. Sedikit lagi. Percaya sama aku, ya?”*

Aku percaya. Aku selalu percaya padanya. Tapi waktu dan takdir, atau lebih tepatnya Mama, tidak memberiku kesempatan untuk memegang janji itu lebih lama.

“Sayang?” Suara Aldo membuyarkan lamunanku. “Udah selesai. Yuk, kita pulang.”

Aku mengerjap, menyadari ballroom sudah mulai lengang. Para tamu terakhir sedang berpamitan dengan orang tua kami. Aku mengangguk dan bangkit berdiri, merasakan gaun ini semakin berat membebani langkahku.

Perjalanan menuju rumah baru kami—sebuah penthouse mewah di pusat kota—terasa sunyi. Aldo sepertinya mengerti aku butuh ruang, jadi ia hanya fokus menyetir sambil sesekali melirikku dengan tatapan khawatir.

Begitu pintu penthouse terbuka, aku terpana. Interiornya begitu elegan dan modern. Semua tertata sempurna. Di tengah ruang tamu, sebuah bingkai foto pernikahan kami yang berukuran besar sudah terpajang gagah di dinding.

“Gimana? Suka?” tanya Aldo, meletakkan jasnya di sofa.

“Bagus, Mas. Mewah sekali.”

“Ini rumah kita sekarang, Aerra. Rumahku adalah rumahmu,” katanya sambil mendekat. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya. “Mulai malam ini, kita akan memulai lembaran baru. Berdua.”

Aku menelan ludah. Inilah saat yang paling kutakutkan. Malam pertama. Malam di mana aku harus menyerahkan diriku seutuhnya pada pria yang sama sekali tidak kucintai.

“Aku… aku mau mandi dulu, Mas,” kataku, mencoba mencari alasan untuk mengulur waktu.

Aldo mengangguk mengerti. “Tentu. Kamar kita di sebelah sana. Aku sudah siapkan semua keperluanmu. Aku tunggu di sini.”

Aku bergegas masuk ke dalam kamar yang ditunjuknya. Jantungku berdebar kencang, bukan karena antisipasi, tapi karena ketakutan. Di dalam kamar mandi yang lebih besar dari kamar tidurku di rumah Mama, aku menatap pantulan diriku di cermin. Wanita dengan riasan sempurna, gaun indah, dan tatapan mata yang kosong.

Setelah membersihkan diri dan mengganti gaun pengantin dengan piyama sutra yang sudah tersedia, aku memberanikan diri untuk keluar. Aldo sudah menungguku, duduk di tepi ranjang. Ia juga sudah berganti pakaian yang lebih santai. Suasana kamar terasa begitu intim dan menyesakkan.

“Sini,” panggilnya lembut, menepuk sisi ranjang di sebelahnya.

Dengan langkah berat, aku menghampirinya dan duduk dengan jarak yang canggung. Tanganku terkepal di atas pangkuan, tubuhku menegang.

Aldo meraih tanganku, merasakan getaran halus di sana. Ia menatapku lekat, mencoba membaca apa yang ada di balik benteng pertahananku.

“Aerra…” panggilnya pelan, suaranya serak. “Aku tahu ini semua terlalu cepat buat kamu. Pernikahan kita memang hasil perjodohan.”

Aku hanya bisa diam.

“Tapi aku mau kamu tahu satu hal,” lanjutnya, tatapannya begitu tulus. “Sejak pertama kali aku lihat fotomu yang diberikan ibumu, aku sudah yakin. Aku tulus mau menjadikanmu istriku. Aku akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu.”

Ia mendekatkan wajahnya perlahan, hendak menciumku. Refleks, tubuhku sedikit tersentak mundur. Gerakan kecil, hampir tak kentara, tapi cukup untuk menghentikan Aldo.

Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh gurat kebingungan dan sedikit kekecewaan. Ia menarik diri, menciptakan jarak di antara kami lagi. Keheningan yang menyiksa menyelimuti kamar megah itu.

“Kenapa?” tanyanya pelan, nadanya tidak menuduh, hanya penuh dengan pertanyaan yang tulus. “Kamu… kamu takut sama aku, Aerra?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!