Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Langkah-langkah kecil Zahira terdengar pelan di koridor menuju perpustakaan. Sementara yang lain berlarian ke kantin, tertawa riang, ia justru memilih tempat sepi—tempat di mana suara tawa tak mengolok, dan buku tak menilai.
Tangannya meremas buku matematika yang di pelukannya. Wajahnya terlihat lelah, tapi tekad di matanya menyala. Ia harus bisa. Ia tau, otaknya sebenarnya cepat menangkap, hanya saja perbedaan pelajaran antara di sekolah ini dengan sekolah lamanya membuatnya kesulitan untuk memahaminya. Tapi, semua orang menganggapnya bodoh dan menjadikan dirinya selalu jadi bahan tertawaan—Zahira ingin berubah.
“Permisi…” gumamnya pelan saat masuk ke perpustakaan.
Ruangan itu sepi, hanya beberapa murid duduk menyendiri, sibuk dengan bacaan masing-masing. Zahira memilih tempat di sudut paling belakang. Ia membuka bukunya, mengambil pulpen, dan mulai mencoret lembar soal, mengerutkan kening dengan serius.
Dari kejauhan, seseorang memperhatikannya.
Zayn.
Duduk sendiri di barisan meja tengah, wajahnya tampak biasa. Netral. Bahkan sedikit acuh. Tapi matanya… sejak awal tak lepas dari gadis berhijab polos di sudut ruangan.
Ia melihat cara Zahira mengangkat alis saat bingung, menggigit bibir pelan saat kesal pada soal yang tak terpecahkan. Matanya kadang memanas, kadang sayu… namun tetap bertahan.
Zayn menunduk sedikit, tersenyum kecil. Gadis itu keras kepala juga, ya. Ku kira ia akan menyerah begitu saja.
Namun suasana sunyi itu pecah saat suara langkah berisik mendekat.
“Lo di sini ternyata!” suara Aldrich terdengar terlalu nyaring untuk ukuran perpustakaan.
Zayn langsung menoleh tajam.
Aldrich melenggang dengan Ares dan Ryon di belakangnya. Ketiganya mengenakan seragam lengkap, tapi ekspresi mereka seperti anak-anak nakal yang baru saja menemukan mainan baru.
Zahira mengangkat wajah, kaget.
“K-kalian ngapain di sini?” suaranya pelan, cemas.
Aldrich menarik kursi di depan Zahira tanpa izin. Ares bersandar di rak buku, dan Ryon duduk santai di pinggir meja Zahira.
“Lagi belajar? Wah… serius amat,” Ares terkekeh.
Ryon menunjuk bukunya, “ini? Kamu bisa ngerti soal beginian?”
“Kalau enggak ngerti, tinggal tanya kami aja, kan Rich?” sahut Ares.
Aldrich menyeringai, menyender santai, “tapi… ngajarin kamu itu kayak ngajarin tembok sih. Percuma juga, ya?”
Mereka tertawa pelan. Tidak terlalu keras. Tapi cukup untuk membuat telinga Zahira memanas dan hatinya seperti diremas.
Zayn mengepalkan tangan.
Ia hendak bangkit. Wajahnya berubah tegang. Tapi sebelum sempat melangkah…
“Hey!”
Suara tegas penjaga perpustakaan memotong udara.
“Kalau mau berisik dan bikin onar, keluar saja dari sini! Ini bukan tempat nongkrong!”
Aldrich langsung bangkit. “Iya, iya, Ma’am. Kita pergi kok.”
Ryon dan Ares ikut berdiri, dan mereka bertiga berjalan keluar sambil menyeringai.
Zahira masih diam, matanya berkaca-kaca.
“Halo? Kamu juga. Kalau gak belajar, silahkan keluar,” tegur penjaga lagi, melirik Zahira.
Zahira buru-buru mengangguk. “I-iya Bu…”
Ia berkemas dengan cepat, menyimpan bukunya.
Zayn yang masih duduk diam, menatapnya dalam. Ada sesuatu di sorot matanya—ketegangan, rasa marah yang tak tersalurkan… dan entah apa lagi.
Zahira buru-buru menunduk dan melangkah pergi, menahan genangan yang hampir jatuh.
Zayn hanya bisa menatap punggungnya menghilang di balik pintu.
*****
Zahira berjalan pelan menyusuri lorong belakang sekolah. Tempat ini jarang dilewati. Udara terasa dingin dan sepi, jauh dari keramaian kantin dan kelas yang hiruk-pikuk.
Langkah kakinya bergetar. Ia menggenggam erat bukunya, berusaha menahan air mata yang sedari tadi menggantung di pelupuk.
Kenapa mereka selalu begitu padaku?
Apa aku sebodoh itu?
Apa aku memang pantas jadi bahan lelucon?
Ia berhenti di bawah jendela yang menghadap taman kecil. Menunduk. Menutup wajah dengan buku.
Air matanya akhirnya jatuh juga, diam-diam.
Tapi Zahira tak tahu—seseorang berdiri tak jauh dari sana.
Seseorang yang sedari tadi mengikutinya dalam diam.
Zayn.
Ia bersandar pada tembok, tak mengatakan apa-apa. Tapi matanya tak lepas dari gadis itu.
Ada sesuatu yang mengaduk-aduk hatinya saat melihat Zahira menangis. Bukan sekadar iba. Tapi sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Tanpa suara, Zayn membuka tasnya perlahan. Mengeluarkan satu kaleng minuman cokelat dingin yang baru saja ia beli sebelum masuk perpustakaan tadi. Ia mendekat, tanpa langkah terburu-buru.
Zahira terkejut saat merasakan kehadiran seseorang. Ia menoleh cepat, menghapus air mata dengan panik.
Zayn berdiri di depannya. Tak bicara. Tak senyum.
Ia hanya mengulurkan kaleng minuman itu ke arah Zahira, dengan ekspresi datar tapi matanya tajam menatap.
Zahira bingung. Tangannya ragu menerima.
“A-aku…?” gumamnya pelan.
“Kalau nangis terus, pusing. Minum,” ucap Zayn akhirnya. Suaranya rendah, dingin, tapi tak terdengar kasar.
Zahira makin bingung, “kamu… lihat?”
Zayn tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, memasukkan tangan ke saku celana.
“Jangan dengerin mereka,” katanya akhirnya, “Bmbodoh itu bukan masalah. Yang masalah itu kalau lo nyerah.”
Zahira terdiam.
Kalimat itu bukan disampaikan dengan manis atau penuh perhatian. Tapi justru karena ketusnya, ucapan itu terasa lebih tulus. Lebih nyata. Lebih menampar.
Zayn menatapnya sebentar, “gue balik dulu.”
Ia berbalik, melangkah pelan, menyusuri lorong tanpa menoleh lagi.
Zahira memandangi punggungnya yang menjauh. Tangan kecilnya menggenggam kaleng minuman itu erat-erat.
*****
Suara bel menggema di seluruh penjuru bangunan elit yang menjulang megah itu. Dalam sekejap, koridor-koridor dipenuhi langkah-langkah terburu-buru, tawa riang, dan sorakan anak-anak orang kaya yang tak sabar meninggalkan sekolah. Mobil-mobil mewah satu per satu memasuki halaman, deretan supir berseragam membuka pintu dengan sopan, menunduk memberi hormat pada majikan cilik mereka.
Anak-anak itu melangkah anggun, mengenakan seragam yang terlihat seperti keluaran butik ternama. Sepatu mereka mengilap, tas ransel mereka keluaran brand luar negeri. Semuanya tampak sempurna. Semua… kecuali satu orang.
Zahira.
Ia tidak melangkah menuju gerbang seperti yang lain. Ia memilih menepi, menghindar dari keramaian. Dengan cekatan, ia menyelinap ke lorong belakang sekolah—lorong sempit yang jarang dilalui. Di sanalah ia bersembunyi, berdiri diam di balik tembok, memeluk tasnya erat-erat.
Matanya menatap kosong ke arah lantai.
Butuh waktu hampir tiga puluh menit hingga suara anak-anak menghilang sepenuhnya. Gerbang sekolah pun nyaris tertutup. Baru setelah itu Zahira melangkah keluar dari persembunyiannya. Dengan langkah lunglai dan pandangan lelah, ia menyusuri koridor yang kini sunyi.
Angin sore meniup pelan ujung jilbabnya. Zahira menghela napas panjang, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan perasaan yang sejak tadi ingin meledak.
“Kalau begini terus, lebih baik besok aku bawa baju ganti saja…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. "Jadi, aku tidak perlu malu jika jalan sendirian begini," gumamnya lagi.
ini bidadari yg sayap baru tumbuh 😭 belum bisa terbang dh mau patah
❤❤❤❤❤
udah up banyakkkk..
❤❤❤❤❤❤❤
so sweet bangettttt..
❤❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀😀❤❤❤❤❤❤
kirain gak diterusin seperti novel santi adam..
kapan2 lanjutin ya kakkk...
❤❤❤❤❤
yg lagi jqtuh cintaaaaa...
❤❤❤❤❤❤❤
zayn3..
❤❤❤❤❤
zayn cemburuuuuuu....
samperin aja kontrakan zahira nanti malam..
.
bilang kmu cemburu..
biar zahira gak nemuin caren lagi..
❤❤❤❤❤
zahira3..
❤❤❤❤❤
padahal tadi kan udah dibilang.
salah jg agpp.
tunjuk tangan aja harusnya..
❤❤❤❤❤❤