~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33 - Pertarungan Abirama, Identitas yang Terkuak
Ledakan pertama dari benturan dua kekuatan itu mengguncang pepohonan sekeliling.
Suara logam beradu menggema keras, seperti petir yang memekakkan telinga. Getarannya menjalar sampai ke tanah, membuat batu-batu kecil meloncat dan tanah merekah.
Abirama dan Raito terpisah beberapa langkah setelah serangan pertama. Keduanya masih berdiri—namun jelas, itu baru permulaan.
Tubuh Raito diselimuti aura ungu pekat yang berdesir seperti asap racun. Di tangannya, dua pedang kembar menari dengan gerakan ringan, hampir seperti ular siap menggigit kapan saja.
Sementara itu, Abirama berdiri tegak. Pedang hitamnya terangkat ke samping. Di belakangnya, bayangan naga semakin jelas—matanya menyala merah darah, mulutnya terbuka lebar seolah hendak melahap seluruh dunia.
“Kecepatanmu… cukup,” ujar Raito, mengangkat satu pedangnya dengan senyum miring. “Tapi apa kau bisa menahan ini?”
Dalam sekejap mata, Raito menghilang—melesat dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya berubah seperti kabut. Gerakannya begitu cepat, hampir seperti teleportasi. Bayangan-bayangan muncul di sekeliling Abirama… lalu—
CLANG!! CLANG!! CLANG!!
Serangan datang dari empat arah sekaligus.
Namun…
ZRAKK!!
Abirama memutar tubuhnya, menangkis semua serangan dalam gerakan tunggal. Pedang hitamnya menciptakan lingkaran energi, menepis pedang Raito dan mendorongnya mundur.
Seketika, tanah di sekeliling mereka retak dan terbelah.
“Kau pikir serangan dari bayangan bisa mengalahkanku?” desis Abirama.
“Aku hanya mengukur… sekarang saatnya membuatmu menyesal.” Timpal Raito.
Raito melempar salah satu pedangnya ke udara—dan seketika, bilah itu pecah menjadi belasan serpihan logam kecil yang berputar dengan kecepatan gila. Ia menjentikkan jari.
WUUUSHH!!!
Logam-logam itu terbang menuju Abirama dari segala arah. Sebuah serangan peluru berpandu mematikan—bukan untuk menebas, tetapi mencabik dari dalam.
Namun…
ZROOOOM!!
Aura naga di belakang Abirama mengaum—dan tubuhnya melompat ke udara, menghindari hujan logam dengan kecepatan dan kekuatan tak masuk akal.
Di tengah udara, ia menggenggam pedangnya dengan dua tangan—lalu mengayunkan ke bawah.
“GEMURUH, ARK-SPAIDE!!”
ZRAAAAAAARRRGHHH!!!
Gelombang energi hitam menggelegar ke bawah seperti petir dari langit. Tanah pecah, pohon-pohon tumbang, dan udara mendesing keras. Serangan itu menghantam tanah dengan kekuatan yang bisa membelah bukit.
Namun Raito cukup cepat—ia meluncur ke sisi kanan untuk menghindar, menjejak batu besar lalu melompat ke arah Abirama yang masih di udara.
Dua bilah barunya muncul dari balik jubahnya—bilah ungu kristal, tajam dan bergetar karena energi.
Mereka kembali bertabrakan di udara—
CLANG! CRAAK! ZRRAK!!
Bilah bertemu bilah. Serangan demi serangan diluncurkan begitu cepat, hingga bayangan mereka tidak bisa diikuti dengan mata biasa. Petir-petir hitam dan ungu melesat di sekitar mereka setiap kali senjata bertabrakan.
Dari kejauhan, Takashi yang menyaksikan dari balik pohon besar, hanya bisa ternganga.
“...Apa mereka manusia?” menelan ludah.
Tiba-tiba, suara dentuman menggelegar.
Tubuh Abirama menghantam tanah dengan keras, menciptakan kawah besar. Tapi ia segera berdiri lagi. Darah mengalir dari keningnya, namun matanya tetap tajam—penuh amarah dan kehormatan yang belum lunas.
Raito turun perlahan, berdiri di atas batu besar yang menjulang.
“Aku harus akui…” katanya sambil mengelap darah dari bibirnya. “Kau lebih kuat dari yang kubayangkan.”
Namun Abirama tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan kirinya—dan untuk pertama kalinya, aura hitam dari tubuhnya mulai meresap ke tanah.
Tanah di bawah kakinya mulai retak, udara mendadak menjadi berat, seolah dunia menahan napas.
“...Apa itu…” gumam Raito.
Bayangan naga di belakang Abirama kini mulai merangkak turun dari tubuhnya—mengambil bentuk raksasa di belakangnya. Empat mata merah menyala. Mulut terbuka lebar. Gigi tajam seperti belati.
“JURUS TERLARANG—BAYANGAN NAGA HITAM, PENEBUS DOSA.”
Langit menjadi gelap. Angin berputar liar. Tanah mulai retak membentuk pola spiral. Bahkan suara burung pun lenyap dari udara.
Raito melangkah mundur, matanya membelalak. Tangannya yang menggenggam pedang bergetar ringan. Ketakutan? Bukan. Tapi sesuatu yang lebih dalam dari itu: kesadaran akan legenda.
Suara Raito terdengar pelan namun berat, seakan menembus dinding waktu.
“Aku... mengenal kekuatan ini.”
Abirama tak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan dingin. Aura naga terus membesar di belakangnya.
Raito menatap bayangan itu—naga hitam.
“Ada kisah tua... yang beredar di antara para pembunuh bayangan, di lorong-lorong tersembunyi dunia bawah. Tentang seorang legenda dari klan Spaide yang menghilang tanpa jejak… Tidak mati, tidak kembali.”
Suara angin mendesis pelan, seperti bisikan dari masa lalu.
“Orang-orang menyebutnya... Sang Iblis Hitam. Sang Seribu Wajah. Tak ada satupun yang tahu seperti apa wajahnya… karena ia selalu menyembunyikannya di balik topeng dan kegelapan.”
Raito menunduk sedikit, lalu menatap tajam.
“Namun satu hal yang tak bisa disembunyikan darinya…”
Ia mengangkat pedangnya dan menunjuk ke bayangan naga yang kini melayang di udara, mengaum dalam keheningan.
“Makhluk itu. Naga hitam pekat... makhluk mitologi dari dasar neraka. Salah satu kemampuan yang dikatakan hanya dimiliki oleh sang iblis itu.”
Diam. Hanya suara napas berat dan angin yang berputar cepat di sekeliling mereka.
“Tidak mungkin. Tapi... mungkinkah… kau orang itu?”
Abirama menatapnya lama.
“Aku telah lama membuang nama itu. Membiarkannya dikubur bersama masa lalu yang telah ku hancurkan dengan tanganku sendiri.”
Ia melangkah maju. Mata hitamnya menyala seiring dengan mata sang naga di belakangnya.
“Namun jika kau ingin memastikan… maka bertahanlah dari ini.”
Tangan Abirama terangkat tinggi ke atas, dan seluruh langit seolah menghitam.
“Dan kau akan tahu… mengapa legenda itu… seharusnya tetap menjadi legenda.”
Raito melompat ke belakang, bersiap. “Ternyata kau memang bukan hanya pewaris... kau adalah penjaga kehormatan itu sendiri.”
Aura ungu di sekeliling tubuh Raito kini berubah—muncul seperti sayap di punggungnya, tipis dan bersinar gelap. Ia merentangkan tangan.
“Kalau begitu…”
“KITA LIHAT SEKUAT APA DIRIMU!”
Dua kekuatan itu pun melesat maju…
ZRRRRRRAAAAAAAKKKKKHH!!!
Bayangan naga hitam meraung dan melesat seperti kilat menuju Raito, dengan kekuatan yang cukup untuk merobek dimensi dan membakar langit.
Pertarungan kembali dimulai. Langit terbelah, tanah meraung, dan waktu seolah melambat…
Namun sebelum benturan itu terjadi... Tiba-tiba saja—
ʂҽɾυ ɳιԋ
ʂҽɱσɠα ʂҽɱαƙιɳ ʂҽɾυ
ʂҽԋαƚ ʂҽʅαʅυ
ʂҽɱαɳɠαƚ Ⴆҽɾƙαɾყα
Ⴆαɾυ Ⴆαƈα ρɾσʅσɠ ʂαʝα υԃαԋ ʂҽɾυ ɳιԋ..
ʂҽɱαɳɠαƚ Ⴆҽɾƙαɾყα ƚԋσɾ ʂҽԋαƚ ʂҽʅαʅυ Ⴆιαɾ Ⴆιʂα υρ ƚιαρ ԋαɾι
jangan kayak novel lain
di gantung tanpa kepastian