Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menembus Tembok Putih
Hari belum terlalu sore ketika Dion tiba di rumah. Ia memanfaatkan sisa sore untuk berlari dengan semangat hingga sekujur tubuh bermandikan keringat. Ia sangat menginginkan rasa sakit itu, sebagai perayaan kebangkitan dirinya.
Belum tengah malam Dion sudah tertidur lelap mungkin karena ia melakukan joging dua kali hari itu. Seperti biasa, ia kembali bermimpi dan bertemu Melati.
Dion yang membuka mata mendapati Melati sedang tiduran berbantalkan kasur sementara tubuhnya rebah di lantai begitu saja tanpa alas.
“Kak, sudah tidur?” tanya Dion.
“Nggak. Cuma baringan menunggu Dion bangun,” sahut Melati yang sudah bangkit duduk.
Dion tersenyum dan ikut duduk di dekatnya. “Aku ada kabar baik, Kak!”
Dion lalu bercerita bahwa ia sudah mendapat pekerjaan baru. Melati mendengarkan dengan mata berbinar menyiratkan perasaan senang pada berita yang disampaikan Dion.
“Aku senang Kakak ada di sini. Rasanya lebih berarti kalau ada yang mendengarkan kabar baikku,” ujar Dion.
Melati mengangguk pelan. “Perlahan-lahan hidupmu akan membaik. Bersabarlah,” katanya lembut. Dion merasakan simpati itu dalam tatapan matanya yang indah. Sepasang mata kebiruan itu seakan ikut tersenyum bersamanya.
Namun, kegembiraan pudar ketika Dion mengajukan pertanyaan. “Bagaimana dengan Kakak? Sudah ada perkembangan tentang ingatan Kakak?”
Melati terdiam. Tatapannya jatuh ke lantai, lalu sayu dan penuh kesedihan. “Aku masih belum ingat apa-apa,” suaranya lirih, hampir seperti gumaman.
“Dion bosan ya, aku di sini?” tanyanya dengan suara bergetar. Setitik air mata tampak menggantung di sudut matanya.
“Tentu saja tidak, Kak! Aku malah senang punya teman,” sahutnya cepat, khawatir ucapannya tadi telah menyakiti Melati.
“Tapi… apa selamanya aku akan begini?” bisik Melati, isak kecil mulai terdengar.
Dion merasa iba. Ia ingin membantu, tapi tak tahu harus berbuat apa. Dengan ragu, ia menyentuh lengan Melati. Dalam sekejap, perempuan itu malah menghamburkan diri ke pelukannya, menangis tersedu di dada Dion.
Dion membeku sesaat. Namun, rasa kasihan menggerakkan tangannya untuk mengusap pelan pundak Melati.
“Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membantu Kakak, katakanlah,” ucapnya tulus.
Melati semakin membenamkan wajahnya.
“Aku bahkan tak tahu apa yang kuinginkan, Dion. Ingin pulang, tapi tak bisa membayangkan kalau pernah punya rumah,” suaranya tercekat dalam isak.
“Sabar ya, Kak. Mudah-mudahan akan ada titik terang. Kakak boleh tinggal bersamaku selama yang dibutuhkan,” hibur Dion, menepuk bahunya dengan lembut.
Melati mengangkat wajah, menatap Dion penuh keraguan. “Kamu yakin tidak keberatan kalau aku tetap di sini?”
“Bukankah kita sudah membahas ini sebelumnya? Aku tidak punya siapa-siapa, Kak. Selama butuh tempat, Kakak bisa tinggal bersamaku.”
Tangis Melati mereda. Ia melepaskan diri dari pelukan Dion, mengusap air mata yang masih tersisa, lalu menatap pemuda itu—masih dengan sisa kesedihan di matanya, tapi kali ini bercampur dengan secercah kehangatan.
Dion pun menyampaikan rencananya kepada Melati soal pindah ke kos yang lebih murah. Keuangannya semakin menipis, dan bertahan di tempat sekarang bukan pilihan.
“Tapi kalau aku pindah, gimana caranya supaya Kakak bisa ikut?” tanyanya ragu.
Melati terdiam dan menatap Dion dengan ekspresi cemas. “Aku juga nggak tahu. Mudah-mudahan bisa ikut serta-merta. Tapi, kalau tidak? Apa aku akan terjebak di kamar ini selamanya?” suaranya mengandung kepanikan yang tersamar.
“Begini saja. Kita jalan ke sana jadi Kakak akan tahu jalannya. Nggak terlalu jauh dari sini. Paling-paling 30 menitan,” cetus Dion seraya bangkit berdiri meraih tangan Melati agar ikut dengannya.
Keduanya pun berjalan menuju tempat dimaksud Dion. Sepanjang perjalanan Dion merasa heran, karena jalanan tampak sepi padahal siang itu cukup cerah.
“Loh, ternyata bisa lewat jalan ini?” tanya Melati heran ketika Dion membawanya memasuki lorong kecil di antara deretan bangunan tua.
“Bisa, Kak. Lewat sini lebih cepat,” jawab Dion.
Tapi baru beberapa langkah memasuki lorong itu, Dion merasa Melati tidak lagi berada di sampingnya. Dion menoleh ke belakang, Melati hanya berdiri diam.
“Kenapa berhenti, Kak? Ada sesuatu?” tanya Dion khawatir sambil membalikkan badan.
“Kok Dion bisa menembus tembok?” Melati malah balik bertanya membuat Dion semakin terheran.
“Tidak ada tembok, Kak. Lihat! Kan tidak ada,” jelas Dion menunjuk ke arah jalan yang akan mereka tuju. Melati menggeleng-gelengkan kepala.
“Pegang tanganku, Kak. Kita jalan perlahan,” ajak Dion lalu kembali memegang pergelangan tangan Melati.
Meskipun Dion berusaha menariknya, namun Melati tetap tak mau bergerak mengikutinya. Ia kembali menatap Dion sambil geleng-geleng kepala.
Tapi Melati kaget karena di belakang Dion, tembok putih itu telah sirna.
“Aneh, temboknya hilang!” seru Melati bingung. Tapi ketika melepaskan tangannya dari genggaman Dion, tembok putih tinggi kembali muncul.
“Kalau aku lepas tangan, temboknya muncul lagi,” gumam Melati yang tentu saja membuat Dion semakin bingung tak mengerti. Ia tak melihat tembok apapun di sana.
“Kalau begitu, pegang tanganku, Kak! Kita akan coba melewatinya, perlahan saja,” ajak Dion.
Meskipun ragu, tapi Melati mengikuti saran Dion. Dia membalas genggaman tangan Dion dengan erat dan membiarkan pemuda itu menuntunnya melewati jalan yang tadi terhalang tembok besar.
Setelah beberapa langkah, Melati tidak merasa jalannya terhalang tembok apapun. Ia lalu menoleh ke belakang di mana tembok tadi berada. Dia melepaskan tangannya dari Dion, dan tidak lagi melihat tembok putih di sana.
“Dion berhenti. Aku ingin kembali ke belakang,” ujar Melati penasaran. Dion mengikuti langkah Melati kembali ke tempat semula mereka berdiri.
“Temboknya sudah hilang!” seru Melati. Dion yang sedari tadi tidak mengerti akan tembok dimaksud hanya diam saja memandangi perempuan itu.
“Dion, temboknya hilang!” ulang Melati tersenyum dan setengah berlari mendekati Dion lalu melanjutkan perjalanan.
“Dion harus sering-sering mengajakku jalan seperti ini. Siapa tahu masih ada banyak tembok lain yang bisa kita lenyapkan,” harapnya. Dion hanya mengangguk, merasa aneh sekaligus penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.
Akhirnya keduanya sampai di depan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan, mirip sekolah. Dua gedung besar berlantai tiga berdiri megah membentuk huruf “L”. Kedua gedung itu pastinya terdiri dari kamar-kamar, terlihat dari jajaran pintu-pintu coklat pada setiap lantainya.
Meskipun hanya bisa melihat dari luar pagar, Dion lalu menunjukkan dua paviliun yang terpisah, di seberang bangunan utama.
“Kedua paviliun itu dulunya dipakai untuk gudang. Salah satunya kini sudah disulap jadi kamar. Kita akan tinggal di sana. Bagaimana menurut Kak Melati?” tanya Dion.
Melati mengangguk. Dia terharu mendengar kalimat “kita” yang diucapkan Dion. “Aku menyukainya,” jawabnya.
Dion menarik tangan Melati dan membawanya berjalan keluar dari lorong. “Nah, Kakak harus lihat apa yang ada di depan sini.”
“Ini alasan utamaku ingin tinggal di sekitar sini,” sambung Dion sambil menunjuk sebuah lapangan sepak bola. Tempat itu adalah fasilitas olahraga sebuah perguruan tinggi swasta yang dibuka untuk umum.
Dion lalu berjalan memasuki lapangan. “Aku ingin berlari mengelilingi lapangan ini setiap hari.”
Melati mengikuti langkah Dion yang semakin cepat menuju tengah lapangan rumput luas.
“Sini, Kak! Nggak ada orang kok. Lari saja!” seru Dion yang sudah berada di tengah-tengah. Melati ingin berlari menghampiri Dion tapi rok yang ia kenakan membatasi langkahnya.
Sebenarnya tak ada keistimewaan tempat itu selain dari rumput yang terawat baik. Hanya saja berada di tempat luas memberikan perasaan bebas dan leluasa.
Melati memutar tubuhnya memandangi area sekitar. Benar saja, semua tampak jauh dan luas, hanya ada dirinya dan Dion.
Suasana itu memberikan rasa bahagia bagi keduanya. Dion tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. “Luar biasa bukan? Sekilas tak ada istimewanya tempat ini. Tapi ketika berada di tengah-tengah, kita akan merasa lega, rasanya terlepas dari segala himpitan.”
Dion lalu memandangi langit. “Lihat, Kak! Di tempat luas seperti ini, langit lebih rendah dari biasanya.”
Ikut merasakan antusiasme Dion, Melati juga memandangi langit. “Benar. Bintang-bintang bersinar lebih terang di lapangan ini.”
Dion terpana mendengar kata-kata Melati. “Ha?! Bagaimana mungkin? Satu-satunya bintang yang terlihat di siang hari kan cuma matahari,” pikirnya.
Ia semakin bingung ketika berusaha mencari matahari di langit tapi tak menemukannya. “Astaga! Ada apa dengan dunia ini? Mengapa hari sangat terang tapi matahari tidak ada?” batinnya kebingungan.
Dion ingin menanyakan hal itu pada Melati, tapi urung karena tak ingin merusak suasana hati Melati yang tersenyum menatapi langit. Perempuan itu tampak sangat menikmati suasana lapangan itu.
Mungkin lelah menengadahkan kepalanya, Melati lalu merebahkan tubuh di atas rumput.
“Dion lihat! Bintang-bintang bersinar indah. Hei, aku ingat, itu rasi Ursa Major, Hydra dan Virgo,” seru Melati.
Dion ikut merebahkan dirinya di samping Melati. “Kak, aku tak punya pengetahuan tentang rasi bintang,” akunya malu-malu.
“Sini aku jelaskan! Deretan yang kanan itu disebut Ursa Major,” jelas Melati bersemangat sambil menujuk ke arah langit.
Tak tega membohongi Melati dengan sikap pura-pura, Dion pun mengaku sambil perlahan menoleh ke arah Melati. “Kak, ini siang. Aku tak melihat satu pun bintang di langit.”
Melati terdiam heran.
“Ah..,” ucapnya lirih dan sedih. Ia membalas tatapan Dion yang menyesal. “Aku lupa kalau kita terjebak di antara dunia nyata dan dunia mimpi.”
“Begini saja, Kak. Anggap saja aku bisa melihat bintang dan coba jelaskan bagaimana rasi itu,” usul Dion, ia tak ingin Melati bersedih.
Sesaat perempuan itu kembali memandangi Dion yang rebahan di sampingnya menatap langit. Ia tahu pemuda itu berusaha menghiburnya.
Ingin menghargai usaha Dion, Melati kembali menjelaskan tiga rasi bintang yang terlihat di langit dan berpura-pura bahwa Dion juga bisa melihat bintang-bintang itu.
Untuk beberapa saat Dion berusaha memahami penjelasan Melati. Tapi konsentrasinya buyar ketika menoleh ke arah Melati yang bercerita dengan semangat. Ia melihat wajah Melati yang berseri-seri menjelaskan rasi bintang dan menunjuk ke arah langit.
Dion kembali sadar. betapa cantiknya wanita itu. Melati memiliki karisma memesona dan menghadirkan rasa nyaman.
Wajah dan mata kebiruannya memiliki pancaran agung dan kelembutan, seperti yang sering dituliskan para sastrawan menggambarkan para dewi, bidadari atau wanita priyayi dalam dongeng-dongeng.
Lamunan Dion terhenti ketika Melati tiba-tiba menoleh padanya. Dion yang merasa malu tertangkap basah memandangi Melati lalu segera menoleh ke arah langit.
“Dion mengerti penjelasanku?” tanya Melati dengan alis terangkat.
“Maaf, Kak! Aku sudah coba, tapi tak bisa mengerti,” sahut Dion lalu tertawa membuat Melati juga tertawa.
“Berjanjilah bila suatu saat kita melihat langit yang sama, Kakak menjelaskan ulang seperti tadi,” pinta Dion.
Melati masih tertawa menyadari kekonyolan mereka berdua. “Hmm, baiklah!” sahutnya.
“Kabar baiknya. Aku yakin kakak akan menemukan jalan pulang. Buktinya kakak sudah bisa mengingat rasi bintang. Tinggal menunggu waktu saja,” ujar Dion kembali menoleh ke arah Melati yang masih menatapnya.
Kata-kata Dion tampaknya memberikan semangat luar biasa pada Melati.
“Aku mulai menaruh harapan itu,” ujar Melati dengan senyum dibalas dengan senyum dan anggukan kepala Dion.
***
Paginya Dion terbangun dengan rasa penasaran. Meski sudah berkali-kali memimpikan Melati, ia masih tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya. Apalagi ia kembali mencium aroma parfum Melati di kamarnya pagi itu.
“Mungkinkah ia sekarang ada di sini dan aku tak bisa melihatnya? Apa Melati akan tidur di tempat tidurku?” tanya Dion dalam hati.
Ia merapikan tempat tidurnya dengan mengganti sprei dan sarung bantal, seolah-olah malu dan tak ingin Melati mendapati tempat tidur itu berantakan.
Hari masih gelap ketika Dion memulai aktivitas lari paginya dengan menyusuri jalan yang ia lalui bersama Melati dalam mimpi menuju lapangan olahraga.
Sesampainya di tengah lapangan, ia menatap ke langit yang bertabur bintang bersinar cemerlang.
“Oh, malam tadi pasti sangat indah,” pikir Dion.
Ia berusaha mengingat penjelasan Melati akan rasi bintang tapi tak berhasil memahaminya.
Ia pun melanjutkan aktivitas lari paginya karena beberapa orang juga sudah mulai beraktivitas di lapangan itu.
***
Hari-hari berikutnya, Dion sudah sibuk karena minggu itu dia menghadapi ujian akhir semester. Semangat untuk menyelesaikan kuliahnya sudah kembali.
Di kantor, Dion masih belum bekerja secara regular seperti jam kerja biasanya karena kantornya masih dalam persiapan.
Sementara itu, di lingkungan tempat tinggal Dion mulai muncul pergunjingan bahwa teror hantu wanita selama dua bulan terakhir terkait dengan Dion. Apalagi beberapa hari lalu beberapa warga mengaku melihat Dion berjalan sendirian tengah malam disertai sebaran wangi bunga.
Pergunjingan itu juga sampai ke telinga induk semang Dion, Marini dan suaminya Adian. Meskipun suami-istri itu tidak meyakini gunjingan itu apalagi selama ini mereka mengenal Dion adalah pemuda yang baik.
Tapi mereka harus mengakui keanehan pada diri Dion dalam dua bulan terakhir. Pemuda itu sering melamun dan kesukaannya mengurung diri di kamar selama berjam-jam.
Pergunjingan itu juga sampai ke telinga Dion. Pemilik warung langganan, yang memiliki nama keluarga sama dengannya, mengingatkan Dion agar berhati-hati. Ia bercerita bahwa warga mencurigainya sebagai pembawa makhluk gaib.
Pemilik warung itu tak membual. Dion segera saja merasakan keganjilan sikap beberapa tetangganya. Beberapa anak-anak di lingkungan itu bahkan mulai berlari ketakutan setiap Dion berjalan memasuki atau keluar lorong.
Dion tidak sepenuhnya menyalahkan pergunjingan itu, karena ia sendiri juga tak memahami apa yang terjadi.
“Mungkin sudah waktunya pindah dari lingkungan ini sebelum prasangka berkembang semakin buruk,” pikir Dion sebelum tidur.
Pagi sehabis lari, Dion menyempatkan diri berbicara dengan induk semang. Kepada Adian dan istrinya Marini, Dion mengutarakan keinginan untuk pindah ke tempat baru.
Tentu saja keinginan Dion membuat suami istri itu kaget. Mereka berusaha meyakinkan Dion agar urung pindah.
Keduanya menyukai Dion yang ramah, sopan, penurut dan selalu menawarkan bantuan mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan Yenni anak mereka sangat manja pada pemuda itu.
Tapi Adian dan Marini harus merelakan Dion yang berdalih tabungannya menipis sementara kantor barunya belum memberikan gaji penuh.
“Abang dan Kakakmu tampaknya tidak bisa menahan Dion untuk tetap tinggal di sini. Baik-baiklah di tempat barumu dan kunjungi kami kalau punya waktu,” pesan Adian yang sedang bersiap-siap berangkat ke kantornya.
“Iya Bang. Aku akan sering main ke sini. Aku pasti akan rindu Yenni,” sahut Dion.