OH MY BOSS

Berita duka meninggalnya ayah Nena sudah menyebar luas ke seluruh kantor, yang kemudian langsung menggelar doa bersama untuk Almarhum, juga sedikit menggalang dana, sebagai bentuk bela sungkawa dan tentu saja dana terbesar berasal dari Justin yang membuat semua orang tercengang dengan nominalnya.

Pria itu juga selalu mengantarkan pesanan kue mahal untuk tahlilan yang membuat sebagian tamu dan para tetangga betah berlama lama di rumah Nena. Tentu saja hal itu menjadi pelipur lara tersendiri untuk sang ibu, yang tampaknya semakin cinta dengan si calon mantu impian.

Sudah beberapa minggu berlalu, dan Nena masih tidak bisa tahu kenapa Bimo batal berkunjung ke rumahnya waktu itu, padahal pria itu begitu bersemangat saat Nena bilang akan menunggunya.

Tapi hal itu nyatanya bukan masalah berarti untuk Nena, kesibukannya setelah libur akhir pekan membuatnya lupa akan segalanya, termasuk duka, meski sesekali rindu pada sang ayah masih mampu membuatnya menitikkan air mata.

"Buat jawaban yang waktu itu gagal aku kasih ke kamu, apa kamu masih penasaran?" Tanya Nena pada Bimo saat mereka menyempatkan sarapan pagi sebelum jam kantor dimulai.

Bimo menggeleng, dan Nena mengerutkan dahi bingung. "Kenapa?" Tanyanya.

"Aku tahu, Na. Jawaban kamu pasti masih sama, baik itu waktu lalu atau sekarang, dan aku juga tahu, jawaban kamu seperti apa." Bimo tampak tersenyum getir, dan hal itu jelas membuat Nena semakin merasa bersalah. Bimo tipe pria yang sangat peka dan berpengalaman dengan perasaan seorang wanita, bahkan Nena yang semakin lama menjauhinyapun dia sudah tahu.

Bimo meremas jemari Nena, dan gadis itu tidak kuasa menolak, pria di hadapannya itu sudah terlalu sering ia abaikan. "Dan aku juga tahu hati kamu bermuara di mana," ucap Bimo yang sukses membuat Nena terkejut bukan main.

"Maksudnya?" Tanya Nena, namun pria itu tidak menjawabnya.

"Biarkan aku tetap seperti ini, Na. Menyimpan perasaanku untuk kamu di sini." Bimo menyentuh dadanya sendiri. "Meskipun aku tahu hati kamu bukan untukku, setidaknya biarkan aku terus mencoba membuat jantung kamu berdebar-debar sampai suatu saat nanti seseorang yang kamu mau benar-benar memiliki hati kamu. Jadi tolong, sebelum seseorang itu resmi memilikimu, biarkan kita terus pendekatan seperti ini."

Ucapan Bimo yang panjang dan memilukan itu tidak kuasa membuat seorang Serena berkata 'tidak'. Dan dengan segenap rasa iba, gadis itu mengangguk untuk yang pertama kalinya, bahkan gadis itu tidak tahu anggukan berikutnya akan terus berulang jika dia terus bersikap seperti itu, Nena terlalu ceroboh telah membuat seorang pria menaruh harapan lebih banyak pada dirinya.

***

Selasa pagi Justin yang tampak terburu-buru menuju mobilnya yang terparkir di pelataran rumah, dihadang oleh Carla, calon ibu tirinya.

"Hai, ganteng! Selamat pagi." Carla dengan tidak sopan menarik dasi Justin yang tampak geram terlihat dari raut wajahnya.

Sorot mata elang Justin mengarah pada jemari Carla yang masih mencengkram ujung dasinya. "Lepaskan," ucapnya dingin, pandangannya ia alihkan pada wajah wanita yang semakin mengerling genit mendapat tatapan setajam itu.

"Apa kamu siap, jadi anak tiri tante? Atau kamu ingin lebih dari itu?"

Justin tersenyum remeh, baginya apapun yang keluar dari mulut wanita itu adalah sesuatu yang tidak penting. Dan lebih lama meladeni tante gila di hadapannya adalah hal yang tidak berguna.

Justin meraih jemari Carla, begitu lembut hingga wanita itu tampak jumawa, namun perlahan remasannya berubah kuat hingga membuat calon ibu tirinya itu meringis sakit. Dan dengan kasar menarik tangannya sendiri dari pria muda yang ia goda. Dan kalimat yang keluar dari mulut pria itu benar-benar membuat Carla semakin marah.

"Maaf ya Tante," Justin menyeringai tampak meremehkan, "saya tidak tertarik dengan barang bekas. Terlebih, bekas papa saya sendiri." lanjutnya yang berhasil membuat wajah Carla merah padam, wanita itu benar-benar geram. Justin melengos, meninggalkan wanita itu yang menurutnya sudah gila.

"Justin!! Kamu akan menyesal karena telah merendahkan saya," teriaknya lantang, dan membuat pria itu menghentikan langkahnya. "Usia kamu sudah melebihi batas waktu perjanjian itu, kami akan menikah dengan atau tanpa persetujuan dari kamu. Dan separuh atau bahkan seluruh, harta yang atas nama kamu, akan menjadi milik saya," ucapnya.

Carla merasa tidak lagi perlu menutupi maksud dan tujuannya menikahi Mr Juan, toh sebentar lagi pria di hadapannya ini akan tamat riwayatnya, begitu pikir Carla.

Justin tampak acuh, melanjutkan langkahnya menjauhi wanita itu. Namun sial baginya, ia baru sadar bahwa kunci mobilnya tertinggal, dan pria itu memutuskan kembali masuk kerumah.

"Kenapa? Kamu menyesal dengan ucapan kamu? Atau kamu takut?" sindir Carla yang masih berdiri di tempatnya semula, namun Justin hanya melirik sebentar kemudian tanpa berkata apa-apa dia melengos meninggalkan Carla yang menghentakkan kakinya kesal.

Tidak begitu lama, Justin kembali ke mobilnya, namun kali ini bersama Mr Juan, melihat itu Carla terkejut entah apa yang ada di pikirannya.

"Mas, mau kemana?"

"Ada sesuatu yang harus saya selesaikan di kantor, saya ikut Justin," tutur Mr Juan pada calon istrinya, kemudian menoleh pada sang anak yang sudah bersiap di balik kemudi.

"Mobilnya masih di bengkel?" Tanya Carla dan calon suaminya itu mengangguk. "Aku anter aja ya, Mas."

"Tidak usah, saya duluan, yah."

"Tapi, Mas!" Carla tampak ragu, wanita itu terlihat ketakutan. Namun sang calon suami tidak mendengarkan ucapannya itu. Keduanyapun berlalu dari hadapan Carla yang memilih mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

Tidak ada obrolan yang berarti di dalam mobil Justin, sang papa sekedar menanyakan seputar pekerjaan yang dijawab dengan singkat oleh putranya itu.

Jalanan tampak lengang saat mobil Justin melaju dengan kecepatan cukup tinggi, dan saat di hadapannya itu melintas truk besar bermuatan bahan bangunan, Justin reflek menginjak rem yang ternyata tidak berfungsi, diapun panik dan hal itu tidak lepas dari perhatian sang papa, tanpa pria paruh baya itu bertanya ada apa, Justin berkata.

"Pa, remnya blong!"

***