Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Tidak Butuh Itu
Desy dan Rendi yang baru saja mengemas ruang depan di buat terharu melihat anak dan mantunya tampak akur di dapur.
"Padahal udah Mama larang loh, Pa ...," ujar Desy berbisik tanpa mengalihkan pandangannya dari kedua anaknya.
"Biarin aja, Ma ... biar mereka belajar berumahtangga." Rendi mau tak mau tersenyum, ia sangat senang melihat kekompakan anak dan mantunya.
"Kita tinggalkan mereka, Ma ... sebaiknya jangan diganggu." Rendi mengamit bahu Desy dan menuntunnya ke kamar.
***
"Udah?" Darren sudah selesai mengepel lantai yang basah, dan menyimpan kembali peralatan pel di luar kamar mandi dekat dapur. Manik mata pria itu tak tahan melihat kekacauan penampilan Jen.
Jen yang mengelap tangannya dengan kain lap yang menggantung di rak piring menoleh ke arah Darren.
Jen mengangguk, "Apa boleh aku pinjam baju Dinka?" Jen pikir jika mengatakan pada Dinka sudah pasti tidak boleh, tapi jika Darren yang meminjamkan pasti boleh.
"Kamu ngga bawa baju ganti?" Darren merasa kasihan, mungkin begitu mendengar kabar kematian neneknya, Jen hanya segera datang ke sini, tanpa berpikir akan menginap.
"Aku ngga berpikir kalau ... akan menginap, sebenarnya." Jen menggigit bibirnya, takut jika ucapannya menyinggung Darren. "Maksudku, aku terburu-buru dan kupikir kalau kita akan pulang ke rumah papa lagi."
Darren tertawa, membuat Jen yang takut mengerutkan keningnya. "Aku ngerti kok, kenapa jadi takut begitu?"
"Ngga enak hati saja, takut kamu tersinggung."
Darren mendekat, ia berniat merangkul Jen, tetapi ia urungkan. Takut Jen menolak, sehingga ia menjaga jarak. "Sejak kapan kau memikirkan perasaanku? Hari ini kau banyak berubah? Apa kau salah minum obat?"
Jen merengut lalu berdecak. "Kau seharusnya memberiku awards karena aku sungguh-sungguh berusaha agar mamaku atau mamamu tidak tahu—em."
Jen tak habis berkata sebab telapak tangan Darren telah mengurung bibir Jen. "Jaga mulutmu!" Darren mengulurkan kepalanya ke arah pintu dapur. Takut jika ada yang mendengar karena ini bukan rumah Jen yang dindingnya bisa menjaga rahasia.
Jen meronta dan bergumam tak jelas, lalu Darren melepaskannya setelah Jen memukul tangannya.
"Apa sih? Kenapa keras sekali kau membekapku? Apa kau berniat membuatku kehilangan napas?" Sepertinya Darren menekan tombol 'annoy' di tubuh Jen sehingga wanita ini kembali bertingkah menyebalkan.
"Habisnya kau bicara keras-keras, sih!" Darren mengecilkan volume suaranya tetapi matanya mendelik nyaris lepas.
"Bicara apa? Aku 'kan biasanya bicara seperti ini!" kesal Jen sambil membalas tatapan Darren.
"Tapi ini tidak seperti di rumahmu, yang bisa bicara semaunya tanpa takut ada yang dengar! Sudahlah, jadi tidak kupinjamkan bajunya Dinka?" Darren berucap cepat demi menyudahi hal baik yang hampir kembali kacau.
"Jadilah ... masa aku tidur pakai baju basah begini!" balas Jen sedikit menyolot.
"Ya sudah, sana ke kamar! Biar aku ke kamar Dinka dulu."
Jen segera melangkah ke kamar Darren, sementara Darren memastikan keamanan rumah. Tetapi melihat lampu depan telah padam, ia berbalik dan menyusul Jen yang masih terlihat di ujung tangga.
Jen mendesah kesal saat melihat pakaiannya yang basah di cermin yang menempel di pintu lemari. Baju Jen mencetak jelas bagian dalam tubuhnya. Ia yakin dalamaannya juga basah. Astaga, bagaimana ini?
"Apa aku telepon Ranu saja, ya ... biar dikirimi baju ganti." Selain Ranu, siapa lagi yang bisa ia mintai tolong. Masa iya, saudara lelakinya. Jen bergegas mengambil ponselnya, jemarinya mencubit bajunya tepat diantara dada dan perut agar tak terasa lengket menyentuh kulitnya.
Sofa malas Darren adalah tempatnya melemparkan badannya yang lelah. Ia menekan nomor Ranu dan menempelkan ponselnya ke telinga. Namun sayang, hingga nada 'tut' berakhir, tak ada jawaban lain dari seberang. "Ranu udah bobok kali ya," gumamnya.
Jen melempar ponselnya ke samping. Ia bangkit dan segera menuju lemari Darren, badannya sungguh tak tahan lagi dengan lepek yang menyentuh kulitnya. Jen segera melepas bajunya, usai mengambil kaos Darren. Cepat-cepat ia memakai kaos Darren, takut jika Darren tiba-tiba masuk.
Satu hal lagi yang membuat sialnya bertambah, seluruh busananya tak bisa di selamatkan dari basah. Jen mengemas seluruh bajunya di sebuah keranjang biru yang kosong di dekat lemari. Lalu dengan cepat menggulung tubuhnya di dalam selimut yang masih terlipat rapi. Meski tidak tebal, sepuluh menit dalam balutan selimut itu, pasti akan kepanasan.
Jen termangu dalam diam, menghitung waktu yang amat lama baginya. "Darren lama amat, sih?" gerutunya sedikit melonggarkan selimutnya. Ia memandang ke bawah, kaosnya hitam. Astaga, Jen menepuk keningnya.
Manik mata Jen mengawasi pintu dan lemari bergantian. Telinganya berdiri tegak, menguping suara. "Ganti lagi, masih sempat ngga, sih?" gumamnya mengadu peruntungan. Ia melompat dengan cepat dari kasur ala cowok milik Darren. Jika sampai Darren tahu penampakannya, ia pasti sangat malu. Kaos Darren ini ... Jen menggigit bibir membayangkan kalau kakinya sungguh bersih dari sehelai kain.
Jen berniat mengunci pintu, tetapi ....
Krek!
"Din—"
Astaga!
Darren melebarkan matanya melihat Jen setengah polos. Matanya yang semula malas, bergerak rajin melihat kaki Jen yang menyilaukan. Buih-buih kegirangan mengumpul menjadi senyum yang sangat lebar di balik dada Darren. Ada yang bergerak naik, tapi bukan pesawat take off.
Jen membeku ketika matanya menabrak Darren yang membuka mulutnya. Tangannya secara refleks menarik turun ujung kaos yang ia paksa menjangkau pertengahan paha. Tetapi itu malah membuat bagian belakang naik. Jen kelabakan, ia segera mengalihkan tangannya ke ujung kaos bagian belakang. Wajah Jen panas seketika, melihat Darren yang tampak merona dan tak mau berpaling.
Otaknya? Ya Tuhan ... pasti mikir kemana-mana, tuh!
Jen merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Ia menggeleng, entah apa maksudnya. Respons itu yang mencuat pertama kali dari tubuh Jen.
"Ke-kenapa ...?" Jen mengerjap, dipalingkan wajahnya menjauhi wajah Darren. Kenapa kau melihatku begitu?
"Kau ... lama sekali?" lisan Jen berucap terbata. Ingin rasanya mencongkel bola mata yang tidak berkedip itu dan meletakkannya di kusen jendela dapur seperti saringan keran tadi. Tangan Jen sibuk menurunkan kaosnya menutupi paha.
Darren menurunkan salivanya ke leher, memadamkan lidah api yang menyalat naik dan membuat tubuhnya gerah. Ia perlahan mengatur napasnya. Mengalihkan matanya dari kaki yang mampu mengobrak abrik naluri kejantanannya.
Tenang Darren, tenang!
"Kenapa gak nyalain kipasnya, biar gak gerah begini?" Darren melangkahkan kakinya yang masih tertinggal di ambang pintu ke dalam ruangan kamar. Canggung. Ekor matanya sesekali masih asyik mencuri pandang ke arah kaki Jen yang baru pertama ia lihat dalam keadaan berdua dan boleh banget untuk di sentuh.
Jen mundur dengan lutut masih menekuk, ekor matanya melirik selimut. Satu-satunya penyelamat mukanya. Isi kepalanya berputar mencari ide.
"Ren, itu apa?" teriaknya cepat sambil menunjuk bawah kaki Darren.
Darren yang sepi terkejut mendengar teriakan Jen. Ia menunduk tetapi tak mendapati apapun. "Apaan?" tanyanya sambil mengangkat lagi kepalanya. Namun, Jen sudah melompat dan tenggelam ke dalam selimut.
Hati Darren menjadi tidak rela dan mendadak kecewa keindahannya hilang, tetapi ia segera melapangkan dirinya dan melegakan sesak di tubuh bawahnya.
'Dia' nakal sekali, sih?
Langkahnya terasa aneh, lalu menyalakan kipas angin dan sedikit berlama-lama di depannya. Mengusir jauh-jauh 'kehidupan' yang tak akan bertemu terminal. Setidaknya hanya untuk sekarang, jika begini terus, tidak akan ada jaminan. Ibarat menunggu angkutan, Jen adalah busway yang akan membawanya ke nirwana. Sekata hujan, Jen adalah hujan bintang yang jatuh tepat dipangkuan. So, apa salahnya?
Ruangan hening, hanya deru putaran kipas angin yang menjadi pengisi kekosongan udara.
"Dinka sudah tidur sepertinya." Suara Darren memecah kebisuan. "Mau kupinjamkan baju mama?" tanya Darren sambil berbalik menghadapi Jen yang masih tak terlihat bentuknya. Hanya gerakan kecil di balik selimut yang ia lihat.
"Aku pakai bajumu ini saja ...," jawab Jen lirih.
"Keluarkan kepalamu, Jen ... kau bisa kehabisan napas!" Darren menarik sedikit selimut itu hingga terlihat wajah Jen yang mengembun dan merah. Rambutnya tersurai kacau.
"Anu ... aku, ganti kaos yang gak hitam, boleh? Ini sangat panas," keluhnya lirih nyaris tak terdengar.
Darren tertawa, "Ambil aja ... banyak kok." Darren masih bergeming.
Jen membasahi bibirnya yang kering, lalu meneruskannya ke tenggorokan yang tak kalah gersang. "Ambilin ...," ujarnya sambil menggeser selimutnya lebih rapat. Seakan mata Darren mampu menembus lapisan selimut itu.
Darren membuang napasnya, ribet sekali, pikirnya seraya menggeleng, tetapi dengan segera ia menuju lemari dan mengambil kaos berwarna putih di urutan paling atas, lalu menyerahkannya pada Jen yang hanya mengulurkan tangannya.
"Apa kau haus?" Melihat bibir Jen yang kering dan keringat terlihat meniti rambutnya, Darren berniat mengambilkan air minum sementara Jen bertukar baju.
Jen berpikir sejenak, lalu mengangguk. Namun ....
"Balik badanmu! Jangan berani mengintip!"
"Aku—"
"Balik badan aku bilang!" sentak Jen menyambar ucapan Darren. Mata indah itu mendelik penuh peringatan.
Darren mau tak mau menurut dan memutar badannya membelakangi Jen.
"Jangan nengok atau kau akan bintitan seumur hidup!"
Darren memutar kepalanya, mencari sudut agar bisa berbicara dengan Jen. "Aku—"
Jen yang masih tak memercayai Dareen, berteriak lebih kencang. "Jangan nengok, atau mau kubuat kau tak bisa memandang lurus lagi!" Mata itu kembali mendelik, lebih galak.
Darren hanya membuang napas sebagai jawaban. Isi kepalanya nyaris rontok saking seringnya menggeleng karena tingkah Jen. Kini matanya lurus menatap ke depan. Ia tak mau Jen sungguh-sungguh mencongkel matanya.
"Bintitan kalau ngintip!" serunya lagi.
"Gak usah banyak bicara, cepet ganti bajumu!" Darren ingin sekali mengguyur lehernya dengan adonan semen agar mau bersikap tegak. Sejak tadi otot lehernya ingin menoleh saja.
"Ngintip, ilang nikmat dunia!" kata Jen seiring suara gerakannya keluar dari selimut.
Darren berdecak, sebal sekali dengan bibir wanita itu.
"Ngintip ilang rezekinya!"
Darren tak menghiraukan ucapan Jen ia hanya menggerakkan bola matanya ke sudut-sudut yang mampu dijangkaunya. Akan tetapi, Darren nyaris pingsan, rasanya darah mengucur dari hidungnya. Tulang lehernya bergerak naik turun saat matanya tertuju pada bayangan di cermin.
Kelopak matanya mengerjap, bola matanya berlarian dan jatuh di keranjang biru yang berisi pakaian Jen. Seluruh pakaian Jen tampak di sana.
Pantas dia begitu salah tingkah. Tak pakai apa-apa rupanya.
Napas Darren berlarian di rongga hidungnya. Tangannya lalu mengambil sikap di depan tubuhnya, tetapi matanya lekat menyusuri bayangan itu tanpa jeda. Seperti di pompa, aliran darah ditubuh Darren naik dan mendidih. Jika tak ada kata halal diantara mereka, Darren sudah lari kalang kabut, tetapi ini ....
Kuatkan imanku, Tuhan! Kuatkan!
Kaki Darren melemah dan lumpuh. Sekalipun pernah melihat tapi itu hanya sebuah replika bukan visual nyata. Telapak tangan Darren meremas punggung tangan yang lain saat matanya terpaku pada sesuatu yang bulat dan tampak padat. Alis Darren tanpa permisi terangkat dan membatin nakal.
Wow ... sama seperti pemiliknya! Menantang!
Meremasnya semakin kuat kala kewarasannya semakin hilang. Ia mengutuk lehernya yang tidak kuasa untuk tidak menoleh.
"Jen ...," Darren membalik tubuhnya dengan perasaan yang masih bertentangan.
Jen baru saja memasukan kepala ke dalam kaos dan kedua lengannya masih terangkat ke atas, terkesiap melihat Darren yang mirip zombi. Mata itu berkabut merah, bibirnya kehilangan warna, dan wajahnya pun merah.
Manik mata Jen seakan melompat dari tempatnya, ia langsung menarik turun kaosnya, bahkan ia tak bisa berkata-kata karena gugup. Terlebih saat gerakan Darren seperti lupa cara berjalan itu mendekatinya.
"Kita tak butuh kaos itu!"
.
.
.
.
.