NovelToon NovelToon
Sang Musafir

Sang Musafir

Status: tamat
Genre:Petualangan / Contest / Fantasi Timur / Kultivasi / Pendekar / Hamil di luar nikah / Tamat
Popularitas:2.8M
Nilai: 5
Nama Author: WestReversed

Jayamantingan adalah seorang pengembara muda miskin yang tetap melanjutkan pengembaraannya meski tidak memiliki tujuan sama sekali. Dirinya terasing akibat penampilannya yang sangat buruk. Ia lebih mirip pengemis tanpa kasta ketimbang pengembara.

Namun, segalanya berubah setelah perjumpaannya dengan seorang wanita aneh yang membuat dirinya harus menemukan sebuah bunga ajaib bernama Kembangmas. Kendati bunga tersebut hanya ada di kisah dongeng semata, Jayamantingan tetap menerimanya mengingat dirinya tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Pengembaraan mencari kemustahilan itu lambat-laun menuntunnya menemui takdir menjadi salah satu Pemangku Langit, pendekar terkuat di atas segala pendekar yang menguasai dunia persilatan.

Mampukah Jayamantingan membawakan Kembangmas kepada Kenanga? Ataukah justru kematian menjemputnya terlebih dahulu di belantara persilatan, yang jumlah kematiannya bagaikan guguran daun diterpa angin badai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WestReversed, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keberanian dari Langit

Jadi, Arkawidya memiliki seorang kakek? Mengapa dia tidak menceritakan itu sebelumnya? Kemanakah si kakek ini saat desa Arkawidya diserang dan mengakibatkan dua orang tuanya tewas?

“Aku tahu kau sangatlah penasaran, Anak. Tetapi tidak bijak jika kita menunggu lebih lama lagi, mungkin ada waktu nanti aku akan menceritakannya pada engkau.” Birawa tersenyum lalu mengencangkan suaranya, “Wahai kalian para prajurit pemberani pembela Tarumanagara, aku titipkan kota ini pada kalian!”

Suara itu menggema keras, yang sangat mungkin terdengar hingga Sundapura. Benar-benar menggetarkan langit. Seluruh prajurit menjura dalam posisi berlutut sambil berkata serentak, “Kami laksanakan, Bapak!”

Birawa kembali tersenyum. “Marilah, Anak. Aku akan membawa tubuhmu melesat agar kita bisa cepat sampai.”

“Tetapi, Bapak ... aku membawa kuda sewaan ....”

Sebenarnya bagi Mantingan, bukanlah alasan uang sewa yang membuat ia berat meninggalkan kudanya. Mantingan tak mengapa empat keping emas itu tidak dikembalikan dan dia dianggap telah membeli kuda sewaan. Tetapi ia tak tega jika kuda ini terlepas begitu saja dengan ancaman perampok-perampok yang akan menemukan kuda itu lalu memperlakukannya dengan kasar.

Bapak Birawa mendekat ke kuda itu dan menyentuhkan jari telunjuknya ke kuda, secara tiba-tiba bagian leher kuda Mantingan muncul sebuah tanda bintang yang dikelilingi lima bunga. Kuda itu meringik dan mengangkat kaki depannya ke atas sebelum menapak tanah lagi.

“Tidak ada perampok yang cukup berani mencuri kuda itu hanya untuk mencari masalah denganku. Kuda ini pasti akan kembali ke tempat asalnya.” Birawa tersenyum hangat pada Mantingan. “Adakah lagi yang engkau tunggu ataukah dirimu sudah siap untuk melesat?”

“Tidak ada, Bapak, dan aku telah siap.”

Birawa menggenggam tangan Mantingan dan menariknya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mereka melesat, hingga hanya dapat dilihat sebagai kelebatan bayangan saja. Mantingan berkibar-kibar bagai bendera sedang tangannya tetap dicengkeram kuat oleh Bapak Birawa. Sampai kapankah Mantingan akan berada dalam posisi seperti ini?

***

Jangkrik tidak banyak berbunyi di sekitaran Mantingan. Memang pada hakikatnya jangkrik tidak berbunyi saat ada manusia di dekatnya, dan kini dua orang manusia tengah bersembunyi di semak-semak menatap kota Kanoman dari jarak jauh.

Benar jika Mantingan sampai ke Kanoman hanya dalam waktu setengah hari saja. Kecepatan luar biasa yang dimiliki Birawa membuat mereka sampai ke sini sangat cepat ketimbang menunggang kuda. Walau Mantingan muntah setelah dirinya melambai-lambai bagai bendera siang tadi, tetapi ia tetap bersyukur bisa sampai Kanoman lebih cepat ketimbang bayangannya.

Kini di balik semak-semak itulah Birawa menjelaskan rencana yang ia miliki. Itu rencana sederhana sebenarnya.

“Anak hanya perlu melarikan Arkawidya dan kawan Anak dari tempat itu secepatnya. Selebihnya, biar aku yang mengurus.” Birawa berkata seraya menampilkan senyum dalam keremangan malam.

Mantingan merasa sedikit khawatir. Di sana pastilah memiliki lebih dari satu pendekar penjaga yang bersembunyi di dalam penginapan. Nyatanya, Mantingan dan Arkawidya merasakan sebuah tatapan sangat tajam yang entah dari mana asalnya. Tak menuntut kemungkinan bahwa yang melakukan itu adalah seorang pendekar.

Dan bukannya Mantingan meremehkan meremehkan kemampuan Birawa, tetapi Mantingan hanya berusaha untuk mewaspadai kemungkinan terburuknya.

“Apakah Bapak akan aman-aman saja?”

“Apakah aku aman atau tidaknya tak perlu dipikirkan, Anak. Yang terpenting, aku bisa menembus dosa aku pada cucuku, walau mati adalah tanggungannya.”

Mantingan tersenyum kagum. Ia merasakan keberanian, kebijaksanaan, dan kewibawaan melebur jadi satu dalam ucapan yang begitu menggetarkan hatinya itu.

“Lekas kita berangkat, Anakku.”

Mantingan mengangguk dan mengikuti Birawa keluar dari semak-semak. Walaupun berjalan di belakang Birawa, tetapi Mantingan berjalan dengan gagah dan penuh keberanian mengikuti langkah kaki Birawa yang serupa, baru kali ini dirinya merasa menjadi pria yang tidak gagal.

***

Mantingan sampai di Penginapan Tanah bersama dengan Birawa. Seperti biasa, penjaga yang menyamar sebagai orang biasa menghadang mereka. Baru Mantingan ingin menjawab sandi yang diperlukan, tetapi rupanya Birawa yang menjawabnya terlebih dahulu.

“Jangkrik masuk tanah!”

“Masuklah ke dalam tanah dan jadilah jangkrik yang tidak berisik.”

Birawa dan Mantingan dipersilakan masuk. Setelah mereka sampai di dalam, Mantingan bisa melihat banyak lelaki yang berbaris di depan meja penerimaan tamu, Arkawidya terlihat melayani tamu-tamu itu yang hendak menyewa kamar ataupun pelacuran itu.

Terkejut campur Arkawidya melihat kehadiran Mantingan dan Birawa masuk, tetapi lekas ia menutupi itu, kembali tersenyum selayaknya lacur.

“Temukan kawanmu itu, dan lekaslah kembali ke sini untuk membawa Arkawidya pergi.”

Mantingan segera menuruni tangga dan pergi ke lantai tempat kamar sewaannya berada. Tak terlalu sulit menemukan kamarnya, Mantingan sudah menghapalnya sebelum ia berangkat ke Sunda. Maka diketuklah pintu kamar.

Tidak ada balasan.

Mantingan mengetuknya lagi, lebih keras. Tetap tidak ada jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tidak ada jawaban. Kemana Rara?!

Mantingan menggunakan tongkatnya untuk menjebol pintu kamar. Dipukulkan beberapa kali ke gagang pintu sebelum akhirnya bisa terbuka setelah dirusak. Mantingan menendang pintu itu hingga terbuka lebar dengan cepat.

Dalam keremangan kamar yang merah itu, Mantingan terkejut. Tubuh Rara diikat dan mulutnya disekap bangku yang tak pernah ada di kamar itu sebelumnya, matanya membeliak minta bantuan dan mulutnya mengeluarkan gumaman akibat tak bisa berteriak. Tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, bukan karena kondisi Rara yang diikat dan disekap mulutnya.

Seandainya Rara disekap pun tidaklah mengapa asalkan ia tidak terancam bahaya. Tetapi berbeda dengan kondisi saat ini, ada orang lain yang berlutut di samping Rara, dam kini tengah menatap Mantingan dengan tatapan kelewat tajam.

Perlahan orang itu bangkit, berdiri menghadap Mantingan dengan tatapan mengancam.

Tatapan itu seolah mengisyaratkan Mantingan untuk segera pergi dari tempatnya dan melupakan segalanya yang baru saja Mantingan lihat, atau jika tidak Mantingan akan dibunuh tanpa ampun. Tetapi dapatkah Mantingan pergi meninggalkan Rara? Walau dapat diakui olehnya bahwa tatapan itu sangat menakutkan dan orang itu juga sama menakutkannya, tetapi kembali pada pertanyaan: dapatkah Mantingan pergi meninggalkan Rara? Dan dapatkah dia melupakan hutang nyawanya pada Rara?

“Siapa dirimu? Mengapa ada di kamar ini?”

“Pergi.”

“Kau yang pergi.”

“PERGI!!!”

Mantingan menggeleng. Dan untuk pertama kalinya, seolah sebuah keberanian turun dari langit, merasuk menyatu dengan seluruh tubuhnya. Dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki Mantingan mengandung keberanian tingkat tinggi. Keberanian untuk membela, keberanian untuk melawan, keberanian untuk berubah!

Sehingga Mantingan menghunuskan ujung tongkatnya yang lancip itu ke arah musuh. Ya, orang itu pantas disebut musuh, karena dia jelas membahayakan Rara! Dalam kondisi kesadaran penuh ini, dirinya menyerang, melesat bagai anak panah ke arah musuh.

1
setyo
yah akhirnya setelah dua tahun tidur tidak lupa bangun siang musafir
Doni Gunawan
lanjut lagi
Doni Gunawan
lanjutkan
Doni Gunawan
selanjutnya
Doni Gunawan
lanjutkan
Doni Gunawan
lanjutkan lagi
Doni Gunawan
lanjut
Doni Gunawan
selanjutnya
Doni Gunawan
lanjutkan lagi aja
Doni Gunawan
lanjutkan lagi
Doni Gunawan
lanjut
Doni Gunawan
lanjutkan
Doni Gunawan
lanjut aja
Doni Gunawan
lanjutkan
Doni Gunawan
lanjut lagi
Doni Gunawan
lanjut
Doni Gunawan
lanjutkan lagi
Doni Gunawan
lanjutkan
Doni Gunawan
ngopi Thor ngopi
Doni Gunawan
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!