Penderitaan bisa dikatakan sebagai temannya. Tangis air mata tak pernah lupa untuk hadir. Perih dari luka yang tercipta selalu ia tahan. Namun, bagaimana jika ia harus menikah hanya untuk menggantikan posisi pengantin perempuan.
Elvira Pelita harus menggantikan posisi sang kakak dalam pernikahan, menjadi pengantin perempuan yang bersanding dengan pria yang seharusnya ia panggil kakak ipar.
Arkanio Althaf Zerion harus menikahi sang calon adik ipar karena calon istrinya melarikan diri. Ia selalu membenci pernikahannya karena bagi Arka, Vira penyebab perginya perempuan yang amat dicintainya.
"Jangan mendekat jangan sakiti aku, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak bersalah." Vira was-was karena Arka semakin mendekat.
"Kau salah, kau bersalah!" teriak Arka tepat di muka Vira.
Bagaimana pernikahan yang dipenuhi kebencian itu akan berjalan dan bagaimana cara Vira menyakinkan Arka bahwa ia tidak bersalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nidati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Boleh Melupakan
Lydia sudah membuat temu janji dengan dokter kandungan untuk Vira sehingga menantunya tinggal menemui dokter tersebut tanpa harus repot-repot mengurus pendaftaran. Vira sendiri tidak bisa menolak titah dari Lydia, ia menerima apa yang sudah Lydia persiapkan untuknya.
Siang ini adalah jadwal temu janji dan Vira sudah berada di rumah sakit, tepatnya di luar ruangan pemeriksaan karena ia mendapat kabar jika sang dokter sedang menangani pasien lain.
Vira melihat jam tangan berkali-kali, ia tidak memiliki banyak waktu, ini pun Vira hanga meminta izin selama satu jam pelajaran dan harus segera kembali untuk mengajar.
"Bu Vira, silakan masuk dokter sudah menunggu," ucap perawat.
Vira mengangguk mengucapkan terima kasih sebelum melangkah masuk ruangan.
"Selamat siang, benar dengan Bu Vira?" Sang dokter mengangkat kepalanya dari berkas berisi identitas Vira.
"Vira!?"
"Bian!?"
Mata keduanya bertemu, mematung sesaat dengan keterkejutan yang sama. Vira tidak percaya jika dokter yang direkomendasikan oleh Lydia adalah temannya sendiri, Bian. Dokter yang Lydia sebut sebagai dokter kandungan terbaik. Ia tidak menyangka jika Bian yang Lydia bicarakan.
"Jadi, beneran kamu. Aku kira cuma mirip namanya aja gak tahunya malahan kamu," ujar Bian setelah berhasil mengatur ekspresi wajahnya.
"Iya, ini aku." Entah mengapa Vira menjadi canggung.
"Duduklah," titah Bian.
Vira menarik kursi di depan Bian, lalu mendudukinya. Menarik nafas dalam untuk meredakan rasa gugup yang tiba-tiba datang.
"Ternyata kamu udah nikah ya, sekarang lagi hamil. Kenapa nikah gak ngundang aku."
"Gak punya nomor kamu, lagian udah lama gak usah lah dibahas."
"Jadi, gimana bumil ada keluhan seperti mual, gak selera makan, mudah lelah atau yang lainnya." Bian berubah dalam mode serius.
"Gak ada keluhan sih, aku juga gak ngerasain gejala-gejala hamil."
"Si dede pengertian sama kamu, dia gak mau ngerepotin ibunya." Bian tertawa kecil memecah ketegangan yang tercipta. Vira juga ikut tertawa dengan candaan Bian.
"Kalau gitu ayo kita periksa. Kamu ingin tahu, 'kan berapa umurnya." Vira mengangguk antusias. Momen inilah yang Vira tunggu dari tadi.
Bian mengarahkan Vira harus pergi kemana. Ia menyuruh Vira untuk berbaring di atas brangkar sedangkan dirinya sedang menyiapkan peralatan.
"Maaf yah aku buka sedikit bajunya," izin Bian.
Vira sempat ragu melakukannya, ia malu memperlihatkan bagian tubuhnya. Pada akhirnya Vira hanya bisa mengangguk mempersilahkan. Prosedur seperti ini yang harus Vira lalui untuk mengetahui kondisi kandungannya.
"Coba lihat. Ini adalah calon bayimu, terlihat sangat kecil, 'kan. Umurnya memasuki 6 minggu dan semua dalam kondisi aman. Tidak ada perlu dikhawatirkan. Cuma harus jaga pola makan dan kesehatan, jangan terlalu lelah. Syukur sih kamu gak ngalamin morning sickness, tapi tidak menutup kemungkinan jika kamu tidak akan mengalaminya." Vira mendengar semua yang Bian katakan, tapi matanya tak lepas pada layar monitor yang menunjukkan sebuah kehidupan yang sedang tumbuh dalam rahimnya dan bergantung pada dirinya.
Vira pernah membayangkan melalui momen penting ini bersama dengan orang yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersama vira, tapi realita tak seindah ekspetasi. Ia sadar keinginan kecilnya tidak akan pernah terwujud. Vira sudah berbesar hati menerima hal ini.
"Keluarkan saja, aku tahu kamu terharu dengan pemberian Tuhan yang indah ini." Bian mengutarakan apa yang selama ini ia perhatikan dari setiap ibu hamil yang ia periksa. Mereka akan menangis haru dengan memegang tangan sang suami. Tersenyum bahagia meski air matanya meluncur deras. Momen seperti itu selalu Bian hadapi dan ia ikut merasakan kebahagian dari pasangan yang menanti buah hati mereka.
"Sayang sekali suamimu melewati pemeriksaan pertama. Lain kali ajak dia untuk melihat anak kalian. Aku yakin suamimu akan memberikan tatapan membunuh saat aku melakukan pemeriksaan." Bian terkekeh geli akan bayangan tersebut.
Tak heran jika para suami melakukan hal tersebut. Mana ada suami yang rela tubuh istrinya dilihat oleh pria lain sekalipun itu seorang dokter yang sedang melakukan tugasnya.
"Baiklah, lain kali aku akan membawa suamiku, tapi jangan sedih karena dia lebih tampan darimu." Bian memasang wajah masam, dari dulu ia tak pernah suka saat Vira membandingkan ketampanan Bian dengan standar ketampanan pria menurut Vira dan itu masih berlaku hingga sekarang.
"Ya, ya suka hatimu saja lah, Vi. Asal janji bawa suamimu karena aku penasaran seberapa tampan suamimu itu."
"Heh, dia bahkan tidak tahu ada anaknya yang sedang bersemayam dalam rahimku," batin Vira.
Vira berusaha menampilkan senyum terbaiknya, tidak ingin terlihat lemah di mata Bian. Selesai melakukan pemeriksaan dan juga konsultasi mengenai kehamilan serta diberi obat penguat kandungan. Vira pun sudah diperbolehkan pergi dan secara khusus Bian mengantar Vira hingga keluar dari rumah sakit. Tentu saja Vira ingin menolak, tapi bukan Bian namanya jika tidak bisa merubah keputusan Vira. Mereka jalan bersisihan dengan diselingi pembicaraan kecil. Senyum cerah terbit di wajah Vira saat Bian melontarkan lelucon yang menurutnya garing, tapi demi menghormati Bian Vira pun tertawa.
Tak jauh dari mereka berdua, Arka berdiri dengan tampang yang tak bersahabat terlebih melihat Vira yang jalan bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Kebetulan atau takdir yang mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak baik. Kesalahpahaman akan terjadi jika Arka menyimpulkan sendiri apa yang dirinya lihat.
Arka mengepalkan kedua tangannya saat melihat bagaimana pria berjas putih itu memperlakukan Vira dengan sangat lembut dan penuh perhatian, bahkan Vira tak berhenti tertawa terhadap pria itu dan membuat darah Arka mendidih dengan begitu panas. Arka tak bisa menahan diri lebih lama menyaksikan sesuatu yang salah dalam pandangannya.
Arka berjalan cepat menghampiri kedua insan itu. Memisahkan keduanya dengan berada di antara mereka, membuat jarak yang cukup jauh antara Vira dan Bian. Arka sempat menatap tak suka pada Bian sebelum akhirnya menarik tangan Vira untuk ikut bersamanya. Langkah Bian berangsur mengecil hingga berhenti dengan pandangan yang tak lepas dari Vira dan pria yang ia yakini sebagai suami Vira.
Vira bingung harus bersikap bagaimana pada Arka. Pria yang tiba-tiba muncul dan membawa lari dirinya dari Bian. Vira memandang tangannya yang masih dicekal oleh Arka dengan begitu erat, tapi tak terasa sakit.
Dalam keterdiaman, Arka membawa Vira menuju mobil miliknya, membuka pintu dan mendorong Vira untuk masuk mobil. Barulah dirinya yang masuk kursi kemudi. Arka membawa mobil meninggalkan area rumah sakit. Kondisi bahunya sudah semakin membaik meski rasa sakit itu masih kerap kali Arka rasakan. Setelah pemeriksaan tadi dokter pun memperbolehkan Arka melepas arm sling sehingga sekarang ia dapat mengendarai mobilnya sendiri tanpa bantuan sopir.
"Bagus sekali tingkahmu itu, belum juga kita resmi cerai, tapi kamu sudah menemukan penggantiku."
Seperti itulah Arka semaunya sendiri, tanpa mencari tahu dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bukannya menanyakan apa yang Vira lakukan di rumah sakit. Apa dia sakit atau apa, tidak sama sekali. Arka malah menuduh Vira yang tidak baik.
"Apa yang aku lakukan bukan urusan kamu. Jadi, jangan repot-repot mengomentari kehidupanku." Vira berbicara dengan pandangan yang menatap ke luar jendela mobil.
Kedua orang yang berada dalam mobil, dalam satu hubungan itu tak banyak bicara. Sunyi senyap menyelubungi keduanya dan tidak ada yang berinisiatif membuka pembicaraan.
Jalanan terlihat longgar dan mobil melaju dengan kecepatan rata-rata. Vira tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari jendela mobil. Kehadiran Arka yang tak diduga itu tak menjadikan Vira senang melainkan sebaliknya. Terlebih perkataan Arka tadi yang sangat mengena di hati Vira.
Terbentuk dari apa mulut Arka itu hingga tega berkata demikian tanpa dipikir dahulu, dan sekali lagi Vira terluka karena Arka. Mau sampai kapan Vira harus seperti ini.
"Cepat turun."
Arka menoleh melihat Vira yang menyenderkan kepala pada pintu. Arka sempat mengira jika Vira tertidur. Tangan Arka sudah bergerak hendak menyentuh bahu Vira, tetapi Arka menarik kembali tangannya saat Vira mengambil sikap duduk tegak dan menoleh pada Arka dengan mata bulatnya.
"Kenapa membawaku pulang ke rumah, ini masih jam mengajar seharusnya aku berada di sekolah."
Arka tak sempat membalas sebab Vira sudah terlihat sangat marah. Mata yang biasa menatapnya penuh rasa sakit kini terlihat kobaran api yang menyala dan sulit dipadamkan. Sebuah tatapan yang jarang Arka lihat.
Ya, bagaimana Vira tidak marah. Arka dengan tampang tak bersalah menurunkan Vira tepat di depan rumah yang seharusnya ia kembali ke sekolah.
"Ya mana aku tahu," cuek Arka.
"Kalau tidak tahu ya tanya. Kaya gini siapa yang repot? Aku! Aku yang repot bukan kamu, lagian aku tidak minta untuk diantar. Mulai detik ini jauhi aku, paham."
Brak!
Vira menutup pintu mobil hingga menimbulkan suara yang keras, meninggalkan Arka yang terpelongo dengan sikap Vira. Dirinya sangat tidak menyangka jika Vira dapat bersikap begitu, padahal ia hanya salah mengantar.
Arka sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Marah melihat Vira berduaan dengan lelaki lain, mengantar Vira ke tujuan yang salah, dan menerima saat Vira memarahinya. Arka bingung kenapa ia bersikap seolah peduli pada Vira yang sebentar lagi akan menjadi serpihan masa lalu yang tak ingin Arka ingat.
Vira memasuki rumah dengan perasaan dongkol dan penyebabnya adalah Arka. Pria itu tidak dapat berpikir atau bagaimana, jika tidak tahu ya tanya bukan malah diam dan seolah-olah tahu ke mana Vira akan pergi.
Rasa kesal lebih mendominasi untuk saat ini dan mungkin karena hormon kehamilan yang juga mempengaruhi suasana hati Vira.
Melisa yang sedang merajut di depan televisi pun dilewati begitu saja oleh Vira. Tak ada sapaan yang terlontar dari Vira yang terus berjalan menuju kamar. Melisa menatap heran dengan tingkah sang putri.
"Ada apa dengan anak itu, aneh sekali," gumamnya, kemudian melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
Vira menutup pintu kamar, berjalan cepat menuju tempat tidur dan berbaring telungkup di sana, menenggelamkan wajah pada bantal dengan tangan yang memukul kecil pada bantal yang digunakan. Vira sangat kesal dengan Arka sampai ingin mencabik-cabik sesuatu hingga hancur.
"Oke, stop gak usah pikirin anggap aja sebagai mimpi singkat. Lupakan, lupakan pria itu, dia tidak ada artinya sama sekali."
"Hoek." Vira membekap mulut saat rasa mual tiba-tiba menyerang.
Vira berlari menuju kamar mandi karena mual yang dirasakannya semakin intens. Menunduk di depan wastafel untuk mengeluarkan sesuatu yang sudah berada di kerongkongan.
"Hoek ... hoek." Hanya cairan bening yang keluar dan rasa pahit pun terasa setelahnya. Vira membasuh mulut dan mengusap pelan perutnya.
"Kamu gak suka ya kalau mama ngelupain papa. Maaf ya, Sayang gak bakal mama ulangi lagi."
Mungkin sudah menjadi kebiasaan Vira untuk mengajak ngobrol sang anak meski usia kandungannya masih tergolong kecil.
***
Happy reading
Hari ini aku up loh wkwk. Yang masih setia menanti mana nih hehe, maaf juga kemarin gak up.
Salam sayang dari aku.
Orang berpendidikan kok mau2nya di aniaya sama ayah dan suaminya..gk masuk akal..
Ceritanya terlalu lebay..
Thor coba bikin tokoh perempuan yg kuat dan punya harga diri
Vira kamu jgn bodoh pergi dari rmh itu..kamu seorang pendidik harusnya tegas dan punya sikap..
thor viranya harus di bikin tegas dan punya sikap dong..