—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Malam itu langit Argueda dipenuhi bintang. Istana Panglima Aiden berdiri gagah dengan cahaya lampu yang menyala hangat, membuat seluruh halaman terlihat seperti lukisan malam berbalut emas. Musik lembut sudah terdengar bahkan sebelum mereka turun dari kereta kerajaan.
Ellion turun lebih dulu, mengenakan jubah resmi warna gelap yang membuat posturnya semakin mencolok. Ia mengulurkan tangan untuk menuntun Lyeria turun.
Dan saat Lyeria menginjakkan kaki di karpet marun di depan istana Aiden, tak satu pun mata yang tidak menoleh.
Meski wajahnya tersembunyi di balik topeng berwarna perak lembut dengan ukiran mawar kecil, pesonanya tetap menonjol.
“Kau terlihat seperti… putri dari dongeng tua,” komentar Ellion, bangga namun juga khawatir.
“Kau yakin ingin ikut pesta ini?”
Lyeria hanya tersenyum samar.
“Tenang saja.. Tidak ada yang tahu siapa aku. Lagipula, bukankah ini pesta untuk mencari jodoh bagi putri Aiden? Aku hanya menonton.”
Tapi Ellion tidak yakin semua pria akan cukup tahu diri untuk hanya menonton balik.
Wajah adiknya terlalu mirip Yuki saat muda—dan itu bisa berarti bencana jika dilihat oleh mata yang salah.
Begitu mereka masuk ke aula pesta, gemerlap lampu gantung kristal menyambut mereka. Musik dansa klasik dimainkan oleh orkestra. Para bangsawan muda—lelaki dan perempuan—berbaris anggun, mengenakan topeng, menyembunyikan niat di balik senyuman.
Putri Aiden duduk di sisi depan bersama ayahnya. Cantik, ramah, tapi jelas malu-malu. Di sisinya, berdiri seorang pemuda berpakaian hitam, mengenakan topeng dengan ukiran sayap di sisinya. Ia berdiri tegap, pendiam, dan tidak satu pun perempuan mendekatinya.
Hanya sedikit yang tahu nama pria bertopeng hitam itu: Kael, anak tiri dari Jenderal Aiden.
Kael tidak suka pesta. Bahkan tidak seharusnya ia berada di sana malam ini. Tapi Aiden memintanya, dengan alasan yang Kael tahu tidak sepenuhnya jujur. Ia berdiri seperti bayangan di sisi ruangan, tak menyatu dengan keramaian, seperti roh yang hanya mengawasi, bukan ikut hidup.
Lalu matanya menangkap gadis itu.
Gadis dengan gaun pink lembut, rambut digelung berantakan, dan sebuah mutiara kecil yang berkilau di sela sematannya. Ia terlalu mencolok untuk tidak diperhatikan, tapi bukan karena kecantikan yang dibuat-buat. Ada sesuatu dalam caranya berdiri—tenang, seperti seorang anak rusa yang tak sadar tengah dikepung serigala.
Kael tidak tahu siapa dia. Bahkan namanya pun tidak.
Tapi ada sesuatu yang menusuk di dalam dadanya. Bukan cinta, bukan juga ketertarikan kosong seperti yang biasa ia lihat pada pria-pria muda di sekitarnya.
Ini semacam kesadaran. Bahaya.
Namun, seperti semua bahaya yang dikemas dalam rupa indah, ia tidak berpaling.
Kael tetap berdiri diam di tempatnya. Tapi dalam pikirannya, satu nama lain bergema—Tania.
Perempuan yang pernah ia cintai. Masih ia cintai. Perempuan yang membuatnya menolak semua kedekatan dan menggembok hatinya. Ia belum bisa—belum berani—mencintai siapa pun lagi.
Termasuk gadis bermata besar di hadapannya.
Musik lembut dari alat petik kuno mengalun di seantero ruangan. Para bangsawan mulai berdansa perlahan, tersenyum, bercanda, dan menyembunyikan ambisi mereka di balik topeng-topeng berkilau.
Jenderal Aiden, mendekat dengan langkah ringan dan senyum kecil yang tak sampai ke mata.
“Kael,” bisiknya pelan, sambil menyesap anggur. “Temani gadis itu berdansa.”
Kael menoleh sedikit. “Yang mana?”
Aiden mengangguk ke arah gadis bergaun pink lembut. “Yang berdiri di dekat pilar ketiga. Rambutnya digelung asal-asalan. Lihat mutiara itu?”
Kael memicingkan mata. Ia sudah melihat gadis itu sejak awal. “Kenapa aku?”
Aiden menatapnya lebih lama. “Karena dia penting.”
Kael menunggu penjelasan yang lebih jelas, tapi yang ia dapat hanya dua kata pelan yang dibisikkan sangat hati-hati:
“Putri Lyeria.”
Tubuh Kael menegang. Sebuah nama yang tidak pernah muncul di tempat umum. Nama yang hanya dibisikkan dalam lingkaran tertentu. Nama yang… seharusnya tidak muncul di pesta ini. Lyeria adalah rahasia keluarga kerajaan Garduete, disembunyikan dari mata dunia—jika ini benar…
“Yakin?”
Jenderal Aiden hanya tersenyum kecil. Tapi bukan senyum ringan—melainkan senyum seorang lelaki tua yang telah memegang terlalu banyak rahasia dan terlalu lama menahan luka.
“Aku masih menjaga Putri Yuki sampai sisa hidupnya,” katanya pelan, “sesuai perintah Pangeran Sera. Mana mungkin aku salah mengenali darahnya sendiri?”
Ucapan itu seperti beban yang dijatuhkan perlahan ke bahu Kael. Tak terdengar mengancam, tapi menenggelamkan. Nama Yuki. Nama yang tak pernah disebut dengan enteng. Nama yang mewakili cinta, tragedi, dan kehancuran yang menyelimuti dua kerajaan besar.
Diam Kael semakin panjang. Kepalan tangannya mengeras di balik mantel. Ia belum siap. Belum ingin tahu. Bahkan tak yakin ingin ikut masuk dalam apa pun yang ada di sekitar nama Yuki atau Lyeria.
Tapi tatapan Aiden tajam, seperti pengingat bahwa di dunia ini, ada utang yang harus dibayar bukan dengan uang—melainkan dengan kesetiaan.
Kael akhirnya bergerak. Tubuhnya dingin, tetapi langkahnya mantap saat berjalan menembus kerumunan. Langkah demi langkah, menuju gadis bergaun pink dengan sebutir mutiara di rambutnya.
Setiap langkah seperti memutus masa lalunya—dan menyeretnya ke dalam sesuatu yang tidak bisa ia hentikan.
Dan saat gadis itu—Lyeria—mengangkat wajahnya menatapnya di balik topengnya, sesuatu di dalam diri Kael seperti goyah.
Bukan karena kecantikannya.
Tapi karena matanya…
…tidak tahu siapa dirinya sendiri.
Kael menunduk sedikit, dan dengan suara pelan tapi cukup tegas, ia mengulurkan tangan.
“Bolehkah aku meminta satu tarianmu, nona?”
Lyeria menoleh refleks. Matanya mencari kakaknya di antara kerumunan topeng dan kain mewah. Dan di sana, di sisi ruangan, Ellion berdiri, sedang berbincang dengan salah satu petinggi kerajaan.
Begitu melihat adiknya memandangnya, Ellion mengangguk ringan.
Isyaratnya jelas.
Tak apa. Berdansalah.
Lyeria menunduk sedikit—bukan karena ragu, tapi karena jantungnya tiba-tiba berdebar lebih cepat dari yang ia mengerti. Ia menerima uluran tangan lelaki itu. Hangat, namun dingin di ujung-ujungnya. Seperti seseorang yang terbiasa menahan emosi.
Jari mereka bersentuhan, dan Kael menuntunnya ke tengah ruangan dengan gerakan sopan, tanpa bicara sepatah kata pun.
Musik berganti menjadi irama yang lebih tenang. Dansa lambat.
Mereka mulai bergerak. Lyeria tidak mengenalnya. Tapi pria ini… tubuhnya terlalu tenang. Gerakannya terlalu terkendali. Ia bukan bangsawan biasa.
“Apa kau sering berdansa dengan gadis-gadis bertopeng?” tanya Lyeria, mencoba memecah kebekuan.
Kael tidak langsung menjawab. Pandangannya menatap ke matanya di balik topeng.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Aku tidak suka menebak siapa yang berdansa denganku.”
Lyeria mengerutkan dahi pelan. “Lalu kenapa menari denganku?”
Kael menunduk sedikit, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.
“Karena aku tahu siapa kau.”
Langkah Lyeria nyaris terpeleset sejenak.
Ia tertawa ringan. “Kau salah orang. Aku bukan siapa-siapa.”
Namun Kael hanya menatapnya dalam diam. Tidak tersenyum. Tidak membantah. Tidak mengiyakan.
Dan justru itu—yang membuat Lyeria sedikit gugup.
Karena pria ini… bukan sedang menggoda. Bukan sedang bersikap sopan.
Ia sedang… mengawasi.
Setelah dua lagu, Lyeria perlahan melepaskan diri.
“Terima kasih atas dansanya,” katanya, datar, menunduk sopan pada Kael. “Aku perlu menarik napas.”
Kael tidak menahan. Ia hanya membalas dengan anggukan kecil, seperti sudah menduga gadis itu tidak akan bertahan lama.
Lyeria melangkah pelan, menyelinap di antara para tamu. Gaun pink lembutnya melambai ringan, mata menelusuri ruangan mencari Ellion. Jiwanya terasa letih. Ia tak tertarik pada dansa, tak tertarik pada pria-pria muda yang tadi menawarinya gelas anggur atau tangan untuk berdansa berikutnya.
Ia hanya ingin kembali duduk di sisi kakaknya dan mungkin… diam.
Namun tepat saat ia akan menyeberangi lantai dansa untuk kembali ke tempat Ellion—
Pintu utama ruang pesta terbuka.
Derak kecil yang menggetarkan udara.
Lyeria berhenti.
Tubuhnya menegang. Matanya membelalak.
Langkahnya membeku di tempat.
Dia.
Lelaki itu memasuki ruangan dengan jubah gelap dan mata segelap malam tanpa bintang. Sorotnya menusuk seperti bayangan dari masa lalu yang tak pernah bisa dikubur. Tak ada topeng di wajahnya. Tak ada keraguan di langkahnya.
Semua suara di kepala Lyeria lenyap.
Ferlay.
Dia mempesona.
Ya, dengan caranya. Dengan sorot mata yang dingin, bahu tegap yang seperti tak pernah tunduk pada dunia, dan tatapan yang mampu membuat siapa pun merasa kecil—atau telanjang.
Tapi bukan itu yang membuat Lyeria gemetar.
Bukan itu yang membuat napasnya tercekat saat mata mereka bertemu di seberang ruangan.
Itu karena ia masih bisa merasakannya.
Masih bisa mengingat rasa perih di bibirnya saat Ferlay menggigitnya tanpa ampun—dengan mulut yang tak mengenal batas, dan tangan yang menuntut, bukan meminta.
Ingatan itu menempel di kulitnya seperti bekas luka yang tak mau pudar.
Dan Lyeria datang ke Argueda untuk menghindarinya.
Untuk kabur dari sorot mata itu. Dari sentuhan yang menyesakkan itu. Dari ikatan yang tak ia mengerti—dan tak ia inginkan.
Dia datang untuk mencari sesuatu.
Sedikit kedamaian.
Sedikit celah untuk bernapas.
Atau mungkin…
Sedikit cinta yang tak membuatnya merasa seperti milik seseorang yang tak akan pernah benar-benar melepaskannya.
Tapi sekarang dia di sini.
Dan Ferlay… menatapnya seolah tak ada orang lain di ruangan itu selain mereka berdua.