Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
New Report
"Tempat apa ini?"
"Panti jompo," kata K. "Han Jean rutin datang ke sana untuk kerja sukarela, sekaligus menyalurkan dana sumbangan atas nama perusahaan."
"Kalau atas nama perusahaan, berarti baik Nuansa ataupun ayahnya tahu soal ini?"
K mengangguk, "Betul, tapi saya curiga Han Jean ke sana bukan semata-mata hanya untuk itu. Menyalurkan dana sumbangan bisa dilakukan orang lain, tidak perlu repot-repot mengirimkan seseorang yang jabatannya tinggi di perusahaan untuk melakukannya."
Mulut Angger diam, tetapi otaknya setuju. Asumsi K masuk akal. Melihat bagaimana Han Jean menciptakan lumbung demi kepentingan pribadinya saja, sudah menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan pria itu. Pasti ada sesuatu di panti jompo tersebut yang membuat Han Jean perlu datang sendiri. Mungkin di sana, dia meletakkan lumbung yang lain, yang belum terjamah oleh sentuhan penyelidikan K. Atau malah... sesuatu yang lebih besar daripada sekadar ambisi mengeruk harta keluarga Kertapati.
"Karena itu, saya izin untuk menyelidiki lebih jauh."
Angger langsung mengangguk setuju. "Lakukan aja apa yang menurut lo perlu," ucapnya. Ponsel K dikembalikan, sementara berkas berisi informasi pribadi Han Jean beserta rahasianya, dia masukkan ke dalam laci dan langsung menguncinya rapat di sana. Kuncinya pun langsung Angger cabut, diselipkannya ke dalam dompet, agar hanya dirinya yang bisa memiliki akses. Lebih baik berjaga, daripada kecolongan lalu pusing kemudian.
"Baik, Chief." K mengantongi kembali ponselnya, bersiap pergi setelah membungkuk hormat.
Bertepatan dengan itu, pintu ruangan Angger dibuka dari luar. Martin kembali tanpa permisi, langsung menerobos masuk seolah-olah ruangan ini adalah miliknya sendiri. Tatapan Martin langsung tertuju pada K, menunjukkan kesan menghakimi. Alisnya terangkat, seolah bertanya-tanya ada masalah apa lagi kali ini.
"Keluar," perintah Angger dengan nada tegas. Itu ditujukan kepada K. Hanya melalui kontak mata, dia dan K telah tahu apa yang harus dilakukan sejak Martin masuk ruangan. Mereka sudah terbiasa melakukan sandiwara seperti ini, tidak hanya di depan Martin, tetapi juga karyawan yang lain.
K pun mendalami peran dengan baik. Raut wajahnya ketakutan, menunduk penuh penyesalan seakan habis berbuat kesalahan yang begitu fatal. Dengan suara bergetar, dia pamit undur diri kepada Angger, membungkuk hormat lalu menyeret langkah berat menuju pintu. Bahkan langkahnya sengaja dibuat tersandung sedikit, menambah kesan betapa kacaunya dirinya setelah dimarahi habis-habisan oleh bos besar.
Martin mengikuti gerakan K dengan pandangan tajam, mengantarnya sampai pria itu menghilang dan pintu ruangan Angger kembali tertutup. Setelahnya, dia mendumal. Kesal karena K tidak turut membungkuk padanya, hanya kepada Angger saja. Meskipun sama-sama karyawan, Martin merasa kedudukannya lebih tinggi. Sebagai karyawan biasa, K seharusnya juga menghormati dirinya. Dia kan asisten langsung sang bos besar, posisi yang jauh lebih prestisius dibanding staf biasa seperti K.
"Bikin kesalahan apa lagi dia?" cecarnya, seraya meletakkan makan siang yang dibelinya untuk Angger di meja bagian samping. "Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo sering marahin dia. Kenapa nggak sekalian pecat aja kalau emang nggak becus kerjanya?"
"Bukan apa-apa," jawab Angger, bahkan tidak memandang Martin dan sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya. Jari-jarinya mengetik cepat di keyboard, matanya fokus pada layar monitor. "Taruh aja makannya di meja sana, nanti saya makan."
Martin memutar bola mata malas dan berdecak. Kalau Angger sudah menerapkan batas profesional seperti ini, berarti suasana hatinya sedang tidak baik. Hal itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Biasalah. Kalau si bos sedang tidak mood, suasana kantor juga akan ikut buruk.
"Jam 4 ada meeting sama Pak Gunawan. Semua udah siap, tinggal jalan." Meski begitu, dia tetap melaksanakan kewajiban, mengingatkan Angger soal jadwal hari ini.
Angger hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Martin tidak bicara lebih banyak. Dia meninggalkan ruangan Angger dengan langkah sedikit mengentak, sambil mulutnya berkomat-kamit tanpa suara. Padahal tadinya dia mau mengajak Angger bergosip selagi menemani pria itu makan siang. Ada cerita menarik tentang drama di divisi marketing. Walaupun Angger biasanya hanya mendengarkan tanpa banyak berkomentar, paling tidak dirinya bisa mencurahkan energinya kepada bos sekaligus temannya itu.
Eh, malah dirinya diusir dengan dingin begitu, cuma karena kesalahan yang orang lain lakukan. Moodnya jadi rusak sekarang. Rasanya ingin langsung ajukan cuti selama dua bulan, supaya bisa pergi liburan ke Vanuatu, Maldives, Vancouver, ke mana pun itu. Ke mana pun, asal tidak melihat muka masam Angger yang menyebalkan.
Seperginya Martin, hal pertama yang Angger lakukan adalah mengirim pesan kepada K, meminta update soal Nuansa yang pastinya masih dalam perjalanan kembali ke kantornya. Dia ingin memastikan anak buah K siaga. Memastikan Nuansa kembali dengan aman, tanpa setitik pun mendapat luka.
...✨✨✨✨✨...
Jam makan siang terlewat begitu saja. Sesuap nasi pun tidak masuk ke perut Nuansa, membuatnya mual dan mulai pusing berputar-putar. Tapi rasanya itu bukan hanya karena melewatkan makan siang, melainkan campuran dari beban pikiran yang menghantam kepalanya habis-habisan.
Pikirnya, setelah sampai kantor, Nuansa akan istirahat sejenak. Barang lima belas menit pun cukup. Memejamkan mata sambil mengatur napas agar emosinya kembali stabil, lalu kembali bekerja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun, rencana itu hanya terlaksana di dalam angan-angannya. Sejak pintu ruangannya baru dibuka pun, sakit kepala Nuansa sudah terasa makin parah. Pasalnya, ada Han Jean di sana, duduk terpekur di sofa, bersama iPad di tangan.
"Mas Je udah lama di sini?"
Han Jean mengangkat kepalanya, senyum perlahan menyebar menghias wajahnya yang terpahat sempurna. "Ya ... lumayan. Sejak kamu pergi buru-buru tadi."
Kepala Nuansa terasa seperti ditimpa batu besar. Dia menggigit bagian dalam pipinya, mendadak gugup dan gelisah.
"Ada masalah apa? Soalnya kamu kelihatan panik, sampai nggak lihat Mas datang."
Nuansa menelan ludah susah payah. Harus pakai alasan apa supaya Han Jean tidak curiga? Menemui klien? Tidak mungkin. Nanti tunangannya itu pasti akan bertanya lebih lanjut, dalam rangka menawarkan solusi.
"Sayang?"
"Bukan apa-apa," jawabnya cepat. Hanya itu yang terbersit di kepalanya. Kalau tidak bisa memberikan jawaban yang hasilnya bisa dihadapi, lebih baik menghindar dulu. Begitu yang selalu Nuansa terapkan. Bukan untuk kabur, tapi untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik. Meminimalisir risiko.
Karena ini adalah Han Jean yang di mata Nuansa merupakan seseorang yang pengertian, maka anggukan dan senyum pemakluman adalah respons yang tidak lagi membuatnya heran. Untuk yang itu, Nuansa bersyukur sekali lagi kepada Tuhan.
Han Jean meletakkan iPad di meja, menggeser duduknya, dan menepuk-nepuk ruang kosong yang ditinggalkannya di sana. Mengundang Nuansa mengisi ruang kosong itu.
Tanpa banyak berpikir, Nuansa melakukan apa yang Han Jean inginkan. Dia duduk di samping pria itu, menerima usapan yang mendarat di kepalanya dengan senang hati.
"Kamu pasti belum makan siang, kan? Tadi Amy bilang ini makanan kamu, Mas lihat belum kesentuh sama sekali." Han Jean menunjuk bento yang Amy tinggalkan di meja.
Nuansa mengangguk. "Mas sendiri udah makan?" tanyanya balik.
Han Jean menggeleng. "Tadinya Mas mau ajak kamu makan siang bareng, tapi kamunya malah pergi."
Bibir Han Jean tersenyum saat mengatakannya, dan itu malah membuat Nuansa semakin tidak enak hati.
Karena hal itu, Nuansa lagi-lagi mengutuk Angger. Memaki pria itu dengan kata-kata paling kasar, yang selama hidupnya hampir tidak pernah Nuansa ucapkan meski hanya di dalam hati. Makin menjadi saja kebencian Nuansa. Makin mengakar ketidaksukaannya. Membuat matanya akan semakin buta, dan logikanya perlahan menjadi cacat tidak bekerja.
Bersambung....
Hamil dulu tapi😁