NovelToon NovelToon
ANTARA CINTA DAN DENDAM

ANTARA CINTA DAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Setelah selesai makan bersama, Bima berpamitan dengan Salvatore dan Sania.

Ia menjabat tangan Salvatore dan mengucapkan terima kasih

Setelah itu menjabat tangan Sania dan menyelipkan kertas di tangan Sania.

Setelah melihat kepergian Bima, Sania berjalan dan akan menuju ke kamar.

"Shelena, bisa kita bicara sebentar." ucap Salvatore.

Sania yang akan membaca kertas dari Bima langsung menoleh ke arah Salvatore.

"Iya, Sal. Ada apa?" tanya Sania.

Salvatore menatap Sania sebentar, lalu dengan tenang ia menggenggam tangan Sania.

“Tahan sebentar, Shelena. Aku ingin bicara

“Kamu ingin bicara apa, Sal?” tanya Sania.

Salvatore menarik napas panjang, lalu mencondongkan tubuh sedikit, menatap langsung ke matanya.

“Shelena, kamu kenal Adam?”

Sania menelan ludahnya pelan, hatinya berdegup lebih cepat.

Tapi ia harus tetap tenang, tetap menjaga rahasianya.

“Tentu saja aku kenal Adam. Dia kan aktor film itu?” jawab Sania sambil tersenyum tipis.

Salvatore menatapnya lama, matanya menyelidik, seolah ingin menembus kebenaran di balik kata-katanya.

Sania menahan napas, merasakan tekanan dari tatapan itu, tapi ia tetap memegang peran sebagai Shelena.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sal?” tanya Sania sambil berusaha tetap tenang.

Salvatore hanya tersenyum tipis, tapi ada rasa berat yang terselip di balik senyumnya.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu seberapa dekat kamu dengan orang-orang yang penting dalam hidupku.”

Sania menelan ludah lagi, matanya sekilas menatap kertas yang masih tersembunyi di genggamannya.

Ia tahu Bima memberi petunjuk penting, tapi untuk sekarang, ia harus tetap menjaga rahasia.

“Baiklah, Sal. Aku mengerti,” jawabnya sambil menekankan senyum tipis di wajahnya.

Salvatore melepaskan genggamannya perlahan, tapi tatapannya masih tak lepas dari Sania.

“Bagus, mari kita lanjutkan hari ini, Shelena. Aku ingin kamu ikut denganku ke beberapa tempat. Hari ini akan panjang.”

Sania mengangguk pelan, hatinya berdebar, tapi ia menyiapkan diri untuk permainan yang semakin kompleks ini.

Sania menutup pintu kamarnya perlahan dan meletakkan tasnya di sudut.

Ia duduk di tepi tempat tidur, mengambil kertas yang Bima selipkan di tangannya saat berpamitan tadi.

Shelena, dengarkan aku baik-baik. Kamu harus keluar dari rumah Salvatore sesegera mungkin. Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi Salvatore sangat berbahaya. Jangan biarkan pesona atau kebaikannya membuatmu lengah. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi percayalah padaku. Ini demi keselamatanmu.

Sania menelan ludahnya, jantungnya berdetak kencang.

Ia menatap kertas itu lama sekali, mencoba mencerna kata-kata Bima.

“Bim, kenapa kamu memberitahuku ini sekarang?” gumamnya pelan, suaranya bergetar.

Tangannya menggenggam erat kertas itu, hati kecilnya terombang-ambing antara rasa aman yang diberikan Salvatore dan peringatan yang menakutkan dari Bima.

Sania tahu, keputusan yang harus ia ambil tidak mudah.

Jika ia tetap tinggal, ia berisiko terjebak dalam bahaya yang tak terlihat. Tapi jika ia pergi semua rencana untuk mengungkap kematian Adam bisa terancam.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu menatap bayangan dirinya di cermin.

“Shelena, kamu harus berhati-hati. Aku tidak boleh lengah, tidak boleh,” bisiknya sambil meremas kertas itu.

Kemudian Sania melepaskan gaun merah milik Madeleine dan segera memakai pakaian yang sedikit santai.

Setelah itu ia keluar dari kamar dan berjalan ke arah Salvatore yang sudah menunggunya.

Salvatore melajukan mobilnya menuju ke perusahaan miliknya.

Di sepanjang perjalanan tangan Salvatore selalu menggenggam tangan Sania.

Mobil hitam mewah itu melaju mulus di jalanan kota, di bawah langit yang mulai tertutup awan kelabu.

Suasana di dalam mobil begitu sunyi dan hanya suara mesin yang bergetar pelan, dan desiran napas di antara mereka berdua.

Sania duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan genggaman tangan Salvatore di tangannya.

Genggaman itu terasa kuat dan hangat di permukaan, tapi dingin di dalam.

Ia tahu, di balik kelembutan itu, ada kendali. Ada sesuatu yang Salvatore sembunyikan.

“Shelena,” suara Salvatore memecah keheningan, berat dan tenang.

Sania menoleh ke arah Salvatore dengan memaksakan senyum kecil.

“Iya, Sal?”

Salvatore menatapnya sebentar sebelum kembali fokus ke jalan.

“Kamu tahu tidak, Madeleine dulu juga sering duduk di tempatmu sekarang. Dia selalu diam seperti kamu.”

Nada suaranya seperti membawa nostalgia yang dalam, tapi juga sesuatu yang kelam.

Sania menunduk, pura-pura tersenyum lembut.

“Mungkin dia memang suka ketenangan, Sal. Seperti aku.”

Salvatore mengangguk pelan, matanya masih menatap lurus ke depan.

“Tapi kamu berbeda. Ada sesuatu dalam dirimu yang tidak bisa aku pahami, Shelena. Seolah kamu tahu lebih banyak dari yang kamu tunjukkan.”

Jantung Sania langsung berdebar keras. Ia bisa merasakan tatapan pria itu dari sudut matanya.

Namun, ia harus tetap tenang dan tidak boleh terlihat goyah.

“Aku? Tidak, Sal. Aku hanya wanita biasa yang beruntung bisa mengenalmu.” ucap Sania.

Salvatore tersenyum miring, kali ini matanya menatap Sania penuh arti.

“Wanita biasa, ya? Tapi setiap kali aku menatapmu, aku merasa seperti sedang melihat rahasia yang sedang berusaha disembunyikan.”

Sania memalingkan pandangan ke luar jendela, berusaha menahan napasnya agar tidak terlihat panik.

Namun dalam hatinya, ia kembali ingat dengan tulisan Bima.

“Kamu harus keluar dari rumah Salvatore sesegera mungkin.”

Mobil berhenti perlahan di depan gedung tinggi dengan logo Basillico Corporation terpampang besar di atas pintu kaca.

“Kita sudah sampai,” ucap Salvatore sambil melepaskan sabuk pengamannya. Ia menatap Sania sebentar, lalu tersenyum kecil.

“Hari ini aku ingin kamu tahu seperti apa dunia yang kubangun.”

Sania hanya mengangguk, menyembunyikan kegelisahannya.

Namun saat mereka melangkah masuk ke dalam gedung, rasa dingin merambat di punggungnya.

Lobi gedung itu megah, tapi atmosfernya terasa aneh terlalu hening, terlalu rapi.

Setiap orang yang mereka lewati menundukkan kepala dalam-dalam, seolah takut menatap tuan besar mereka.

Salvatore memegang punggung Sania, menuntunnya menuju lift pribadi di ujung ruangan.

“Shelena, di lantai atas nanti, aku akan memperlihatkan sesuatu padamu. Sesuatu yang sangat pribadi.”

Sania menatapnya bingung. “Sesuatu yang pribadi?”

Salvatore tersenyum samar, menekan tombol lantai paling atas.

“Ya. Sebuah rahasia. Dan setelah kamu melihatnya, kamu akan mengerti kenapa aku tidak bisa membiarkanmu pergi dari sisiku.”

Lift itu menutup dengan suara ting pelan dengan lampu di dalamnya redup, hanya menyisakan bayangan wajah mereka yang terpantul di dinding logam.

Untuk pertama kalinya, Sania benar-benar merasa bahwa kata berbahaya yang ditulis Bima di suratnya bukan sekadar peringatan, tapi kenyataan yang mulai menelan dirinya perlahan.

"Selamat datang di lantai paling rahasia di Basillico Corporation,” ucap Salvatore dengan nada datar namun penuh kebanggaan.

Ia berjalan ke arah meja hitam besar di tengah ruangan, menekan sebuah tombol di panel tersembunyi.

Sekejap kemudian, salah satu layar menyala, menampilkan rekaman video yang membuat Sania membeku.

Gambar di layar bergetar sedikit ketika rekaman dari kamera pengintai.

Tubuh Adam tampak lemah, wajahnya babak belur, tangannya terikat di kursi logam.

Beberapa pria bertopeng memukulinya tanpa ampun, sementara suara seseorang di belakang kamera terdengar memberi perintah dengan tenang.

“Jangan berhenti sampai dia bicara,” suara itu dingin, penuh kuasa.

Sania menatap layar dengan mata membesar, kedua tangannya bergetar hebat.

“Itu, Adam.” bisiknya, hampir tak terdengar.

Rekaman berganti dan kini tampak tubuh Adam yang sudah tak bernyawa diseret ke balkon apartemen tinggi, lalu tanpa ragu mereka melemparkannya begitu saja ke bawah.

Jeritan tertahan keluar dari bibir Sania, tubuhnya langsung lemas.

Namun sebelum ia sempat menjauh, Salvatore sudah memeluknya dari belakang.

Lengannya melingkari pinggang Sania erat, menahan tubuh wanita itu agar tidak mundur.

“Dia mengambil milikku,” bisik Salvatore di telinganya, suaranya rendah tapi menusuk.

“Narkotika. Uang. Rahasia perusahaanku. Dan itulah hukumannya, Shelena.”

Sania menutup matanya rapat-rapat, menahan air mata dan rasa mual yang naik ke tenggorokan.

Salvatore menunduk, wajahnya menempel di bahu Sania.

Napasnya hangat, namun kata-katanya menggigit seperti racun.

“Aku harap kamu tidak akan mengkhianatiku seperti mereka.”

Sania menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak berteriak.

Dalam benaknya, potongan demi potongan kebenaran tentang kematian Adam mulai terangkai dan semuanya mengarah pada satu nama yaitu Salvatore Basillico.

Namun Sania tahu, jika ia memperlihatkan ketakutan atau kemarahan sekarang, hidupnya bisa berakhir di tempat yang sama seperti Adam.

Ia memaksa tubuhnya untuk rileks di pelukan pria itu, berpura-pura tenang.

“T-tentu tidak, Sal,” bisiknya pelan, suaranya gemetar halus.

“Aku tidak akan pernah mengkhianatimu.”

Salvatore tersenyum samar, menatap layar yang kini gelap.

“Bagus. Karena di dunia ini, satu-satunya hal yang lebih berbahaya dari pengkhianatan adalah cinta.”

Ia melepaskan pelukannya perlahan, menatap Sania dengan mata teduh namun mengancam.

“Sekarang kamu sudah tahu rahasiaku, Shelena. Jangan biarkan aku menyesal telah mempercayaimu.”

Sania menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Saliva membalikan tubuh Sania dan langsung menciumnya dengan penuh kehangatan

Sania mendorong tubuh Salvatore, tapi Salvatore langsung menahan tangan Sania.

"Aku merindukanmu, sayang."

Sania memejamkan matanya saat Salvatore masih menciumnya.

Salvatore langsung menggendong tubuh Sania dan membawanya ke ruangan rahasia yang ada di ruangan itu.

Ia yang gelap mata langsung melepaskan pakaian Sania.

"Sal, aku..."

Salvatore tidak menghiraukan perkataan Sania dan ia langsung melakukan hubungan intim dengan Sania.

Sania berteriak saat Salvatore berhasil merenggut mahkotanya.

"Berteriaklah, Shelena. Berteriaklah sekencang mungkin." ucap Salvatore.

Salvatore kembali melakukannya sampai beberapa jam.

Ia melihat Sania yang pingsan karena kelelahan dan ia kembali memeluknya.

"Tidurlah, Shelena." ucap Salvatore.

1
kalea rizuky
buat pergi jauh lahh sejauh jauhnya
kalea rizuky
biadap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!