Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Bisikan Amarah dan Kepedihan
(Serafim)
“Elaina, dia ada sini, bagaimana sekarang, dimana Liam kenapa dia tidak ada di ruanganku?” tanyaku panik
“Tenang Fim.”
Elaina dengan tenang meletakkan probe dan melepaskan sarung tangan, setelah cuci tangan ia menelpon Liam.
“Liam, apa kau pergi dari ruangan Serafim?” tanyanya.
Entah apa yang di katakan Liam, aku masih menunggu jawaban dari Elaina.
“Katakan padanya, aku membawanya mencari udara segar, sebentar lagi dia akan segera kembali.”
Elaina memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu tersenyum. “Dia sedang ke toilet, Liam akan menangani suamimu.”
Aku mengela napas dengan lega, aku takut kalau dia sampai mengetahui semuanya.
Elaina merasa heran, sikapku berubah seperti dulu pada Zephyr.
“Kau tahu sendiri, dia punya wanita lain, aku tidak mau memaafkannya, dia bahkan mendorongku saat Zea hilang, dia juga menatapku dingin seperti musuhnya, dia– bahkan menyusulnya ke negaranya,”
Aku menceritakan semuanya pada Elaina. dan meminta padanya agar tidak mengatakan masalahku dengan Zephyr pada kakakku.
"Jika kau menghianatiku, aku tidak mau berteman denganmu lagi, ancamku sambil tersenyum tipis dan memicingkan mataku.
Elaina mencubit pipiku dengan gemas. “Baiklah Nona Serafim,” ia menatapku “Aku bangga padamu, ternyata kau lebih kuat dari yang aku kira, tapi aku tahu kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku?”
Aku mengerutkan dahiku.
“Soal apa?”
Dokter umum yang baru saja di promosikan menjadi spesialis kandungan itu hanya tersenyum hangat padaku, tanpa mengatakan apapun. Dengan hati-hati, ia membimbingku naik ke kursi roda, lalu menoleh dan memanggil suster untuk menemaniku.
Aku sempat berpikir, apa maksud ucapan Elaina?
Saat tiba di ruang pasien, Liam sedang duduk di sofa, sedangkan Zephyr berdiri di samping ranjang, ia terlihat panik, menghampiriku dengan perlahan.
Ia setengah berjongkok sambil menatapku. Mengusap lembut pipiku.
“Fim… maafkan aku semalam tidak bisa menemanimu,” ucapnya.
Lalu ia mengangkatku keranjang. Aku menatapnya, ini... seperti sebuah ketulusan.
Tidak, tidak… dia tidak menyukaiku jangan terbuai Fim! sikap dia yang seperti ini bisa menipu siapapun.
“Liam, tolong ambilkan air minum.”
Liam pun bangun memberikanku Air, aku menyeruputnya.
Meskipun aku tidak menatapnya, dengan satu lirikan saja aku bisa melihat ia menekuk lidahnya di sisi gigi, menahan amarah karena aku mengabaikannya.
“Tolong ponselku, ada di tas.”
Saat Liam akan meraihnya, dengan sigap Zephyr segera meraih tasku dan memberikannya padaku.
Aku dan Liam hanya saling menatap penuh arti. Dan menyuruhnya duduk dengan mataku.
Aku pun mulai mengirim pesan pada Elaina.
Serafim : Elaina, tolong katakan pada Liam, agar dia bicara pada Zephyr... kalau aku akan pergi berlibur dengannya besok!
Elaina: Baiklah.
Saat aku akan mengikat rambutku, tanpa bicara ia mengambil alih untuk membantuku, aku sempat menolak tapi dia memaksa.
“Apa kau akan menyuruh orang lain lagi Fim?” ucapnya kesal.
Aku pun mengalah.
Tak berapa lama kemudian ponsel Liam berdering. Ia hanya mendengarkan. Lalu memutus panggilan.
Saat Zephyr selesai mengikat rambutku. Liam menghampiri kami.
“Akhirnya kau bisa pulang juga hari ini, jadi tidak sia- sia tiket pesawatku,”
Aku tersenyum. Akting Liam boleh juga.
“Tentu saja, aku tidak akan melewatkan liburanku, dua hari ini... rasanya membosankan”
Zephyr mendengus. “Bukankah kau sangat menyukai makanan di rumah sakit?”
Aku menjawab cepat. “Tentu saja, bukan berat aku betah di sini,” ucapku dingin.
Aku meminta Liam ikut denganku dan membawa barangku, karena penerbangan besok pagi. Tapi Zephyr melarangku menginap, karena ia akan mengantarku besok ke bandara.
Liam memberikan kode dengan matanya agar aku menurut.
“Aku menggeleng.
Liam menarik napas dalam-dalam.
“Tenang saja Phyr, aku sahabatnya, aku akan menjaganya, lagipula aku tidak akan macam-macam dengannya,” candanya.
Zephyr pun mengijinkan, tapi ia sendiri yang akan mengantarnya ke rumah Liam.
......⚫⚫⚫......
(Zephyr)
Aku bisa memahami dengan jelas sekarang, ia benar-benar menjauh dariku, bagaimana aku bicara dari hati ke hati dengannya sementara dia tidak memberikan kesempatan padamu untuk bicara.
Bahkan sekarang sikapnya lebih dingin, tidak seramah seperti biasanya. Aku tahu aku sudah keterlaluan, bersikap acuh dan mendorongnya malam itu, saat itu... pikiranku sedang kalut karena mengkhawatirkan Zea.
Kini Serafim sudah keluar dari rumah sakit, tapi dia akan pergi lagi besok berlibur ke negara asalnya. Jika aku memaksanya ikut mungkin dia akan semakin marah padaku.
Aku akan membiarkannya berlibur, dan aku bisa bicara dengannya setelah dia pulang nanti.
Saat mobil sudah terparkir di rumah, aku tahu dia masih terlihat lemas, tanpa menunggu persetujuannya, aku mengangkatnya ke dalam.
Dia sempat marah dan memintaku menurunkannya, tapi aku tak peduli. Sedikit perhatianku ini kuanggap sebagai bentuk permintaan maafku padanya.
Aku membaringkannya di kasur.
“Istirahatlah, meski sebentar!”
Dia tidak menjawabku, tapi memanggil Bibi Naureen untuk memasukkan Barang-barang nya ke dalam koper, tapi entah kenapa aku merasa seolah dia kan pergi lama.
Aku duduk di sampingnya.
“Pergilah ke kamarmu, Phyr, aku kan istirahat sebentar.
“Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku, Fim?”
“Tolong biarkan aku sendiri,” ujarnya.
Refleks karena kebiasaan aku mencium keningnya lama, mengusap kepalanya.
“Tidurlah!” lalu aku bangkit dan keluar dari kamarnya.
Aku mengeluarkan sebatang rokok, kemudian menghisapnya.
Aku membuka ponselku, mencari nama seseorang. Namun aku meletakkan kembali ke meja dan menghembuskan asap dari mulutmu.
Pikiranku melayang saat aku di luar kota, menemui orang yang membakar gudang.
Flashback:
Aku memasuki ruangan itu. Ia terlihat babak belur, luka memar dimana-mana, darah mengucur di sudut bibir dan pelipisnya. Dengan tangan terikat di belakang. Rambutnya acak-acakan.
Aku menghampirinya, dia tersenyum sinis padaku. Aku meraih rahangnya.
“Kau sudah datang?” ujarnya dengan tatapan sinis.
“Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu?” tanyaku geram.
“Apa aku harus memberitahumu?” ucapnya seolah meledekku.
Aku mlepaskan cengkramanku dari rahangnya dengan kasar, aku berdiri, berbalik lalu duduk di kursi, kemudian aku menyuruh anak buahku memukulinya sampai pria itu mau membuka mulut.
Mereka langsung menghajarnnya, bahkan menendangnya berkali-kali, akan tetapi... aku tidak melihat rasa takut di matanya.
Dia malah menantangku, memintanya memukulinya, tapi dia tidak akan memgatakannya.
Aku bangkit lalu menamparnya dengan keras, lalu mencengkram kerah bajunya.
“Jangan membuang waktuku, kau tahu... istriku sedang ada di rumah sakit, kau berjanji pada mereka bukan, kalau kau akan mengatakan padaku siapa yang menyuruhmu!”
Dia tertawa keras.
“Apa, istrimu? Lantas bagaimana dengan kekasihmu?”
Aku mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
“Aku tahu kau punya simpanan bukan? Meskipun kau membunuhku sekarang, aku tidak akan mengatakannya padamu, dan… jika aku mati sekarang kau tahu—?”
Entah apa yang akan di rencanakannya.
“Aku sudah kehabisan kesabaranku, dan langsung memukulinya kembali.”
“Aarrgghh sakit,” teriaknya.
“Bicaralah, sebelum aku membunuhmu,”
“Bunuh saja, maka berita perselingkuhanmu akan segera menjadi berita besar di media," ancamnya dengan tatapan menusuk.
“Dan mungkin saja kekasihmu besok tidak akan bisa bernapas!”
Aku mengepalkan tanganku.
“Pukul aku, maka… dia akan membalasmu berkali lipat.”
Aku bertolak pinggang entah bagaimana cara membuatnya bicara.
Jika aku mengikuti amarahku, Zea bisa dalam bahaya lagi.”
“Sebenarnya siapa dalang di balik semua ini?”
Bersambung…
Dia jelas nganggep Zephyr tak lebih daripada alat/Doge/