🚨🚨 Masih dalam tahap revisi. Mohon maaf, akan ada part yang berubah, karena adanya cacat alur di naskah awal.🙏
“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Lampu panel LED datar — menyorot tenang dari langit-langit ruangan. Aroma lavender bercampur antiseptik menyusup ke indera penciuman, ditambah wangi lembut parfume non alkohol, yang sengaja Adrian semprotkan berkali-kali di setiap sudut jas dokternya, memberikan kesan hangat yang tak biasanya.
Pria muda bermanik tegas itu tampak antusias mempersiapkan diri, seolah akan menemui tamu negara yang sangat penting. Ia berulang kali merapikan jasnya, bercermin dan menata rambutnya agar terlihat rapi nan menawan.
“Apa aku sudah tampan?” gumamnya sambil menelisik pantulan wajahnya dari cermin kecil.
Hari ini, Kayuna menepati janjinya untuk datang ke rumah sakit Adrian, memenuhi permintaan laki-laki itu agar ia menjalani terapis mental.
Bersama Jay, Kayuna baru saja tiba di gedung rumah sakit — Atmaja Group. Wanita berparas anggun itu melangkah dengan perasaan gusar, kelopak matanya terus berkedip cepat, berusaha menguatkan diri sebelum memasuki ruang konsultasi.
Di meja resepsionis, ia disambut oleh suster Yeni. “Dengan Ibu Kayuna?” tanya sang suster.
“Iya benar. Saya Kayuna,” sahutnya mengangguk ramah.
“Dokter Adrian sudah menunggu Anda di ruangannya. Mari saya antar ke sana, Bu,” ujar Suster Yeni, kemudian mengarahkan Kayuna menuju ruang konsultasi psikiatri.
“Kenapa sepi sekali? Tidak ada pasien konsultasi hari ini?” tanya Kayuna kala netranya menyapu rata kursi area tunggu di depan ruangan, yang kosong melompong.
“Dokter Adrian mengubah jadwal prakteknya. Hari ini beliau hanya menerima satu individu yang menjalani terapi.” Perawat berwajah teduh itu menjelaskan dengan lugas.
‘Satu individu? Maksudnya aku? Demi aku dia mengubah jadwal prakteknya?’ batin Kayuna bertanya-tanya sendiri.
Di depan pintu ruangan, Kayuna berulang kali menarik napas dalam-dalam. Ia sama sekali tak pernah menduga akan berada di titik ini — memasuki ruang konsultasi, untuk menjalani terapi mentalnya.
Ceklek!
Gagang pintu turun perlahan, Kayuna melangkah masuk dengan segenap keyakinan, tekadnya untuk pulih memberinya dorongan kuat untuk memulai lembaran baru dengan pendampingan Adrian.
“Selamat siang. Selamat datang, Bu Kayuna.” Adrian menyambut dengan raut hangat.
Kayuna tak kuasa menahan senyumnya, manakala melihat Adrian yang duduk tegak di balik meja kerjanya. Ada yang berbeda. Wajah laki-laki itu tak sekadar tampan seperti biasa, kini auranya lebih kuat, lebih memikat. Sampai Kayuna pun mengakui dalam hatinya.
dr. Adrian Atmaja, Sp.KJ.
‘Adrian … terlihat tampan hari ini.’
“Silakan duduk, Bu Kayuna,” ujar Adrian sambil mengarahkan tangan ke kursi yang sudah ia siapkan di seberang mejanya.
Seringai kagum masih melengkung di wajah ayu Kayuna. Ia pun segera duduk siap melakukan sesi terapinya.
“Anda sudah siap?” tanya Adrian. Ia sudah memegang ballpoint hitam dan selembar kertas, siap mencatat tiap detail keluhan pasiennya.
Kayuna mengangguk yakin. “Ya, Dokter. Saya siap.”
“Saya di sini bukan sebagai teman ataupun mantan pacar. Ubah pandangan Anda terhadap saya, di sini … saya sebagai Psikiater yang siap membantu proses pemulihan Anda.” Adrian mengatakan kalimat itu dengan tegas.
Kayuna kembali mengangguk pelan. “Baik, Dokter Adrian.”
Sesi terapi berjalan dengan suasana tenang. Adrian dengan sabar dan penuh perhatian, menanyakan secara rinci setiap keluhan yang memicu konflik batin Kayuna, sehingga membuatnya merasa berkecil hati dan terjebak dalam depresi.
Kayuna pun mulai terbuka, menceritakan keluh kesah yang ia pendam selama ini. Termasuk perlakuan sang mantan suami yang menyebabkannya keguguran. Luka yang masih menyayat dan belum bisa diterimanya sampai sekarang.
Tiba-tiba Adrian menghentikan jemarinya. Mengangkat dagu — menatap lekat Kayuna. Hatinya bak dihunus pedang tajam kala mendengar cerita pedih kehidupan Kayuna.
Wanita malang itu tampak tertunduk, air matanya jatuh tanpa isak. Jari-jarinya saling meremas erat di atas pangkuan.
Sungguh, Adrian sangat tak mengharapkan ini terjadi. “Kayuna ….”
Pondasi profesionalnya runtuh seketika. Tanpa berpikir panjang, ia pun beranjak dari kursinya dan merangkul Kayuna dengan segenap kasih sayang yang dimilikinya.
Kayuna yang sejak tadi berusaha tegar pun akhirnya tak kuasa menahan diri, tangisnya pecah dalam pelukan Adrian.
“Menangislah … setelah hari ini, semua akan baik-baik saja. Ada aku di sini,” ucap Adrian menenangkan.
***
“Akkhhh!! Sakit!” Airin menjerit, kala Niko menghempaskannya kuat hingga membuatnya terjerembap.
“Hamil kau bilang?!” tanya Niko tajam.
Niko meraih rambut Airin yang diikat asal. “Kau berharap apa setelah berhasil hamil? Hah?!” desisnya. “Kau berharap aku akan menikahimu?!”
“M-mas ….” Airin tercekat.
Pria berwajah garang itu tampak geram, pupilnya memerah penuh amarah. “Gugurkan kandunganmu. Minumlah banyak soda, pil perontok janin, atau racun sekalian! Apapun itu, singkirkan bayi sialan itu!”
Ia lalu melepas cengkramannya. "Aku tak pernah berharap memilik anak denganmu!"
“Uhuk! Uhuk!” Airin terbatuk sambil menghirup rakus udara yang menyesakkannya sejak tadi.
“Mas! Ini anakmu!” teriak Airin. Tangannya mengepal erat, tapi tubuhnya sudah tak berdaya untuk melawan.
Senyuman sinis terbias di wajahnya, Niko menyorot Airin dengan tatapan bak singa yang siap menerkam.
“Anakku? Jangan konyol Airin. Aku nggak mungkin mau memiliki anak dari wanita simpanan sepertimu! Apa kata media nanti, aku baru saja resmi bercerai tiba-tiba memiliki anak, dari seorang pel*cur?!”
“Jaga bicaramu, Mas! Bukankah kita melakukannya karena saling menyukai? Kau mau lepas tanggung jawab? Hah?!”
Niko terkekeh pelan, lalu mendekatkan diri pada perempuan yang kini mengandung benihnya itu. “Singkirkan bayi itu! Jangan menghalangi jalanku. Jangan berani-berani menyebarkan berita apalagi sampai keluargaku tau. Kau mengerti?”
“Jangan membuat onar dan turuti perintahku,” ucapnya lagi.
"Membuat onar? Aku masih diam selama ini karena berusaha memahami, kau berjanji akan menikahiku, Mas!" sergah Airin. "Jangan perlakukan aku seenaknya! Aku bisa saja buka suara dan menghancurkanmu. Aku nggak mau hancur sendirian!"
Plak!
Niko menjatuhkan satu tamparan keras ke wajah Airin.
"Jalang gila! Kau berani membangkang?!" dengus Niko. "Tutup mulutmu rapat-rapat. Sepatah kata saja kau berani buka suara, bukan hanya hidupmu yang hancur. Aku ... Bisa saja mengakhiri hidupmu."
Airin hanya bisa meringis menahan perih, kedua tangannya mengusap pipi yang memanas.
"Pak, maaf. Kita harus segera kembali ke kantor." Kevin mengetuk pelan pintu.
"Ingat baik-baik ucapanku, Airin."
Brak!
Niko berlalu dan menutup pintu kamar dengan keras. Ia sengaja mendatangi Airin ke apartemennya, laki-laki bertabiat jahat itu memberi peringatan, agar wanita sundal itu melenyapkan bayinya.
“Sial!” Airin mendengus kesal.
Dadanya terasa mendidih, menumpuk amarah yang tertahan.
“Gugurkan bayi?” sinisnya. Tatapannya meruncing membelah seisi ruangan.
“Kenapa sikapnya berubah? Atau memang ini sifat aslinya? Dia selalu seperti ini saat bersama Kayuna?”
Airin terus bergumam berusaha memecahkan isi pikirannya yang rancu.
Tak jauh beda dengan Kayuna. Kini, Airin yang menggantikan posisinya sebagai boneka pelampiasan amarah Niko. Tanpa ragu, pria itu mulai menghujani Airin dengan tamparan dan cacian.
Sifat aslinya sudah terlihat. Tapi, Airin masih belum jera, tekadnya untuk masuk ke kehidupan Niko sudah membulat. Kepalanya sudah dipenuhi angan soal uang dan kekuasaan, hingga ia pun tak memikirkan konsekuensinya di belakang.
“Keluarga? Apa aku harus mendatangi keluarganya? Aku takkan menyerah Niko. Aku sudah melangkah sejauh ini, aku takkan mundur!”
.
.
.
Di sebuah bangunan bergaya eropa, dengan lapisan cat berwarna emas pucat. Sorot senja memantul di antara jendela kaca. Airin tampak menilik dengan saksama.
“Wah … aku tau dia kaya, tapi aku nggak nyangka ternyata dia sekaya ini. Apa kayuna … juga bersenang-senang di rumah megah ini?”
*
*
Bersambung.
Ayo dong, Readers. Koment! Biar author semangat menyusun rencana menghukum Niko dan Airin. 🫶🏻✨️