Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saingan Cinta
“Dasar penggoda!” kesalnya.
“Siapa yang penggoda?” tanya sang ibu.
“Siapa lagi kalau bukan Arumi itu!”
“Ada apa lagi memangnya?”
“Katanya sudah bertunangan, kenapa masih menggoda Mas Dwi?”
“Dari mana kamu tahu?”
“Aku baru saja melihatnya.”
“Kamu perlu belajar darinya!”
“Apa yang perlu aku pelajari?”
“Menggoda laki-laki. Apalagi? Kamu itu sudah mengejar Dwi selama 2 tahun, tapi hasilnya apa? Dwi masih tidak melirikmu.”
“Mas Dwinya saja yang buta! Aku yang cantik dan seksi seperti ini tidak dilirik, malah Arumi yang seperti lontong dilirik.”
“Bukan buta! Mungkin saja selera Dwi yang Muslimah seperti itu.”
Perkataan sang ibu semakin membuatnya kesal hingga ia memutuskan untuk menemui sahabatnya.
Perempuan itu adalah Ririn yang sama-sama ikut dalam organisasi karang taruna. Rumahnya ada di sebelah warung sembako yang ada di seberang rumah Arumi.
“Kenapa muka ditekuk seperti itu?” tanya Dian, sahabat Ririn.
“Arumi ini menjengkelkan sekali! Bukannya dia sudah bertunangan? Kenapa masih genit dengan Mas Dwi?”
“Hah? Yang benar saja! Percuma pakaiannya tertutup, akhlaknya busuk!”
“Sok jadi perempuan baik-baik, membuatku muak! Rasanya mau aku jambak hijabnya sampai lepas.”
“Jangan anarkis! Nanti Mas Dwi ilfeel sama kamu.”
“Benar juga! Lalu aku harus bagaimana?”
“Kita sudah berkali-kali melaporkannya dan hasilnya nihil karena kepala desa dan istrinya membela perempuan itu. Menghadapi saingan cinta seperti ini harus cerdik! Bagaimana kalau kita permalukan dia?” Ririn merasa apa yang disarankan Dian terdengar menarik.
Ririn menganggukkan kepalanya. Segera Dian membisikkannya cara untuk mempermalukan Arumi.
Pertemuan karang taruna malam itu, mereka gagal melancarkan rencana karena Arumi tidak hadir. Akhirnya mereka kembali Menyusun rencana saat Arumi membantu menjadi sinoman.
Sebelum hari acara, Dwi datang ke rumah Arumi mengantarkan seragam yang akan mereka gunakan nanti. Kali ini pihak tuan rumah menyediakan kemeja batik untuk seluruh karang taruna yang membantu, jadi mereka tidak perlu menggunakan seragam batik karang taruna.
Arumi menerima kemeja batik tersebut dan mencucinya agar bisa dikenakan esok hari.
“Kenapa jahitannya rusak?” gumam Arumi.
“Mungkin saja belinya Borongan, jadi tidak di cek satu-persatu.” Arumi berpikir positif.
Setelah pakaian kering, Arumi menjahitnya dan menyetrika seragam batiknya. Berhubung Panjang kemeja yang didapat hanya sampai pinggul dan bukaan dada sampai di belahan dada, Arumi menyiapkan gamis polos berwarna hitam sebagai dalaman hingga kemejanya berfungsi sebagai outer.
Hari acara, Dwi secara khusus menjemputnya dan membawa Arumi ke tempat acara. Mau tak mau Arumi setuju karena ia masih belum hafal seluk beluk desa dan juga letaknya yang cukup jauh dari rumah Arumi.
Sesampainya di sana, karang taruna lainnya sudah berkumpul. Segera Dwi memulai breafing sebentar untuk mengulangi pembagian tugas. Setelah itu, karang taruna pergi ke pos masing-masing.
Arumi mendapatkan bagian sebagai penunggu bakso bersama Eni. Eni bertugas menuangkan kuah, sementara Arumi bagian menata mangkuk yang sudah diisi mie dan sayur dari dapur bersama.
Sepanjang resepsi pagi itu, semuanya berjalan lancar. Sampai sebelum adzan dzuhur, bakso sudah habis. Arumi dan Eni pindah membantu bagian soto. Keduanya mengangkut mangkuk berisi isian soto dari dapur bersama ke meja prasmanan.
“Apa tidak bisa sholat dulu?” tanya Arumi kepada Eni.
“Kita bisa gentian, Rum. Kamu duluan saja.” jawab Eni.
“Sholat dimana?”
“Duh! Dimana ya?” Eni juga tidak tahu harus sholat dimana karena mereka jauh dari masjid.
“Ada apa?” tanya Raden yang mendekat ke arah Arumi dan Eni.
“Ini, Arumi mau sholat. Sholatnya dimana, Kak?”
“Di rumah pemilik rumah sudah tidak memungkinkan, bagaimana kalau kamu aku antar ke mushola sebentar?” tanya Raden.
“Tapi…”
“Tidak apa-apa, Rum! Raden ini kakakku.”
“Apa tidak sebaiknya kita berdua saja?” tanya Arumi yang masih tidak nyaman jika harus bersama lawan jenis.
“Aku tidak bisa, Rum. Lihatlah!” Eni menunjuk tamu yang masih ramai memadati meja prasmanan.
“Mas Raden sendiri apa tidak sibuk?”
“Kakakku hanya bagian wira-wiri, selama tidak ada panggilan, dia menganggur.” Raden menganggukkan kepalanya.
Akhirnya Arumi setuju diantarkan Raden ke mushola yang tidak jauh dari tempat acara, daripada melewatkan sholat.
Ternyata, Raden juga melaksanakan sholat seperti Arumi, jadi kedua melaksanakan sholat masing-masing dibalik gorden pemisah shaf perempuan dan laki-laki.
“Mana Arumi?” tanya Dwi yang tidak melihat Arumi.
“Sholat, Bang!” jawab Eni.
“Dimana? Dengan siapa?”
“Pertanyaanmu sudah seperti pacarnya saja, Bang!” goda Eni.
“Aku serius! Arumi belum hafal jalan-jalan di desa.”
“Arumi pergi ke mushola dengan Kak Raden.”
“Oh!” setelah tahu Arumidimana, Dwi kembali ke posisinya.
Ririn yang mendengarnya merasa kesal. Kenapa hanya Arumi yang dicari? Kenapa tidak dia yang diperhatikan?
“Tenang saja! Kamu bisa mengompori Mas Dwi nanti.” Bisik Dian.
Ririn tersenyum licik. Jika ia bisa membuat Dwi merasa kecewa dengan Arumi, ia akan memiliki kesempatan menyingkirkan saingannya.
Arumi dan Raden kembali dari mushola. Eni menyambutnya dan kini gilirannya berangkat sholat. Arumi membantu karang taruna laki-laki membersihkan meja.
“Kamu bawa toples kue yang kosong ke dapur dan isi ulang.” Kata Dwi yang mengambil alih piring kotor dari Arumi.
“Baik, Mas.”
Melihat Dwi yang perhatian kepada Arumi, Ririn semakin kesal. Ia sudah tidak bisa menahan diri. Akhirnya, ia pergi dari posnya dan mencari kesempatan untuk mengusik Arumi.
Arumi masuk ke dapur bersama dan bertanya kepada ibu-ibu yang ada di sana, dimana ia bisa mengisi ulang kue. Arumi diarahkan ke sebuah pintu samping pemilik rumah.
Setelah mengisi semua toples kosong, Arumi kembali membawa keranjang berisi toples itu kembali ke tempat jamuan. Ririn yang melihat kesempatan, segera berjalan ke arah Arumi dan dengan sengaja menabrak bahunya.
Arumi yang tidak siap oleng ke samping. Beruntung ada Raden yang menangkap tangan Arumi yang memegang keranjang, sehingga Arumi tidak sempat terjatuh.
“Terima kasih, Kak.” Ucap Arumi.
“Sama-sama. Kamu tidak apa-apa?” Arumi menggeleng.
“Kamu harus minta maaf, Rin!” seru Raden.
“Kenapa minta maaf?”
“Kamu sengaja menabrak Arumi.”
“Aku tidak sengaja. Aku tersandung tadi.” Kilah Ririn.
“Alasan! Aku melihatmu tadi!”
“Ada apa?” tanya Dwi yang mendekat.
“Ririn sengaja menabrak Arumi. Untung saja aku bisa membantunya dengan cepat. Jika tidak, Arumi sudah jatuh!”
“Benar itu, Rin?” tanya Dwi yang menatap ke arah Ririn.
“Aku tidak sengaja! Aku tersandung tadi, makanya menabrak Arumi.”
“Sudah. Yang penting Arumi baik-baik saja. Masih banyak tamu.” Kata Dwi menghentikan Raden yang masih ingin membuat Ririn mengaku.
“Kamu ambil alih keranjang Arumi. Aku akan mengantarnya pulang.” Raden mengangguk dan mengambil alih keranjang dari tangan Arumi, sedangkan Ririn merasa berang.
“Aku tidak apa-apa, Mas.” Kata Arumi.
“Lihatlah pakaianmu!” Arumi menunduk.
Ia tidak sadar jika pakaiannya telah basah. Raden juga terkejut karena ia hanya melihat Ririn menabrak bahu Arumi.
“Ayo!” Arumi mengangguk.
Melihat Arumi mengikuti Dwi menjauh, Ririn menghentakkan kakinya dengan kesal.
“Makanya, jadi cewek jangan licik!” kata Raden yang kemudian meninggalkan Ririn.
“Awas kamu Arumi!”