Aku mengingat semua kehidupanku, tapi yang pasti aku tidak ingat kehidupan pertamaku, dan firasatku aku buka mahkluk bumi ini, siapa aku?
Lagi lagi aku menjadi seperti ini, terjebak di putaran dunia. kehidupan ku yang ke 1002
Besok ngapain ya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuuuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Pertemuan dan Strategi
Setelah dipanggil oleh Putra Mahkota, aku kembali ke kamarku dan membilas diri.
"Datanglah ke tempatku dengan wujudmu"
Kristal Sihir itu berbicara, ah.. Kaisar. Aku lupa akan kristal sihir yang bisa mendeteksi diriku juga.
"Hadehh..." Aku menghela nafas kasar dan bersiap pergi
Baju dengan nuansa gelap dan elegan. Atasannya adalah kemeja putih berkerah tinggi dengan detail garis ungu di tengah, dilapisi mantel panjang transparan hitam yang bagian dalamnya bermotif halus. Ada selempang ungu menyilang menutupi dada, dan lengan mantel menjuntai longgar. Celananya hitam rapi dengan beberapa tali dan aksesoris perak. Sepatunya hitam, mengkilap, dan formal. Aksen-aksen ungu dan simbol-simbol kecil memberi kesan magis dan misterius.
Tek tek tek
Suara kaca diketuk
"Selamat malam yang mulia" Aku berlagak layaknya mata mata yang akan melaporkan tugasnya
"Hadehh... Masuk, ruangannya sudah tertutup dan terkunci dengan sihir tingkat 9" Ujarnya dan duduk kembali ke tempat nya
"Haaahh..." Aku menghela nafas kasar dan masuk se enaknya
"Hebat ya.. Bahkan mana dan auramu sebagai Lilac hilang, bagaimana kamu melakukannya?"
"Pengendalian mana lah.." Aku mendudukkan diriku di sofa dengan entengnya tanpa memandang lawan bicaraku
"Paling menonjol dalam ujian masuk dengan komandonya terhadap Pangeran Mahkota Draconis, Menggunakan teknik tersembunyi Assassin keluarga Kekaisaran, Lulus Pelajaran Etika dalam 2 minggu dan membuat hati wanita terpana dalam sekejap. Rumornya sih Pangeran Mahkota Noctura, Lilac gebrakanmu terlalu besar, kalian beneran bersaing?" Ucapnya menggelengkan kepala
"Entahlah, siapa aja yang sudah tahu?"
"Baru saya.."
"Rahasiakan saja, nanti saya akan memberi informasi mengenai Academy" Ucapku santai dan memakan makanan yang sudah disediakan dimeja
"Menemukan sesuatu?"
"Hmm... Tampaknya beberapa guru tak memiliki standar Kekaisaran"
"Hoo... Memang, Rajeev kesulitan menghandle kerjaan itu. Kamu lah yang urus, kan kamu disana" Kaisar fokus pada kerjaanya
"Gak ah, aku mau menyelesaikannya beberapa pelajaran dulu"
"Haahh.. Nanti aku suruh Ken untuk mengangkat mu jadi wakil/penggantinya" Kaisar menghela nafas dan mulai membaca beberapa dokumen
"Ia memintaku untuk menjadi tangan kanannya, sebagai Stuard Vine Nala. Beh kacau" Ucapku dan menyesap teh
"Oh ya? kapan?"
"Tadi siang, dia belum tau kan?"
"Belum, tapi dia pintar memilih orang berbakat" Kaisar menatapku
"Besok terima tawarannya, lagi pula laki laki populer ini akan dimaklumkan jika naik menjadi wakil Ketua Dewan Siswa"
"2 minggu loh kaisar.. 2 Minggu saya baru masuk" Ucap ku kaget
"Yauda.. 2 minggu lagi, terima permintaan ken" Ucap kaisar meyakinkanku
"Lalu? Pertandinganku dengan Cora?"
"Aman kan? Cora kan selalu pandai, ia bisa melakukan apapun untuk bersaing dengan mu" Ucap kaisar santai
"Dengan? Stuard?"
"Yaa, tidak ada lilac tapi ada murid jelata yang menonjol"
"Hahaha, btw gimana? Penyamaran ku?" Aku menatap kaisar dengan bangga
"Keren, bagus. Bahkan aku bisa bertemu orang tua palsu mu, mereka bahkan bisa diajak kerja sama berapa kamu bayar?"
"Beberapa batu sihir" Ucapku
"Dapet dari mana?"
"Hmm... Rumah? Hehe"
"..."
"Yah.. untungnya aku dapat beasiswa, aman deh kehidupan ini" Aku menyandar dan bersantai
"Tapi kamu tampan juga, aku yakin istri saya akan menyukaimu" Kaisar menatapku dari atas sampai bawah
"Jelas" Aku mengusap rambutku sampai belakang dengan bangga nya
"Ckckck, Pakai sihir apa?"
"Sihir? Ini diri saya sendiri.. cuman hint sihir suara aja dan meninggi badan"
"Keren, besok saya jadi perempuan lah, menyerupai lilac dan memeluk rajeev, Rajeev percaya ga yaa"
"... Papa saya sepertinya tidak akan percaya"
"Hahahah"
Aku pun kembali ke tempatku sebelum malam berakhir, keesokan harinya aku pergi ke kelasku. Kelas Strategi & taktik
Aku memasuki kelas lanjutan dari kelas Strategi & taktik, kelas ini berisi dengan kakak kakak tingkat ku, karena tiap kelas itu berbeda materi yang diajarkan
Bukan kelas biasa.
Ini kelas yang dihuni oleh para senior. Orang-orang yang sudah lebih dulu menyelami strategi perang, taktik medan, dan rekonstruksi mental. Dan kini, aku seorang murid baru berusia 16 tahun, ikut duduk di antara mereka.
Langkahku berhenti di ambang pintu.
“Baiklah, selamat datang di kelas Strategi & Taktik. Hari ini kita akan memasuki Bab 15 hingga 25–”
Suara Profesor berhenti mendadak saat aku mendorong pintu dan melangkah masuk begitu saja. Jam di dinding menunjukkan pukul 06.30.
"EKHEM... Anda siapa ya?" Suaranya lantang, tajam, penuh penekanan. Tatapannya menusuk seperti pisau, mengikuti gerakanku yang tenang.
“Stuard Vine Nala,” jawabku singkat, tanpa ekspresi. Aku tidak menunduk, tidak pula mempercepat langkah. Aku berjalan dengan kepala tegak menuju bangku kosong di tengah ruangan.
“Stuard?” Nadanya naik.
"Anda telat masuk kelas! Sikap anda tidak sopan!! Ini yang katanya lulus kelas Etika dalam 14 hari? Yang katanya jenius itu?"
Beberapa siswa mulai menoleh. Suasana jadi tegang.
Aku berhenti. Mengangkat wajahku pelan-pelan, menatap langsung ke arah pengajarku, tanpa gentar.
“Ini pukul 06.30. Jadwal kelas dimulai pukul 07.00. Tidak ada pemberitahuan perubahan jadwal. Tidak ada pengumuman resmi. Lalu, salah saya di mana?”
Senyap. Dingin. Hening.
“Kalau Anda ingin menguji mental saya dengan tekanan seperti ini... Sayang sekali. Saya datang bukan untuk diuji dengan amarah kosong.”
Beberapa senior tersenyum miring. Beberapa lainnya menahan napas.
Kata-kataku menggantung di udara, seperti busur yang belum dilepaskan.
“Kalau ini bagian dari taktik kelas, saya akan tetap duduk di sini. Tapi kalau ini hanya pelampiasan ego, saya bisa pergi.”
Suara langkah sepatuku mengisi ruangan saat aku akhirnya duduk. Tanpa satu pun permisi.
Wajah Profesor itu menegang. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Suasana ruangan mendadak jadi lebih panas dari perapian sihir.
"Kau bicara seolah kau mengatur tempat ini, Tuan Vine." Nadanya kini menukik rendah, berbahaya.
“Kelas ini bukan taman bermain. Dan aku! tidak butuh alasan dari bocah sok tahu yang bahkan belum mengukir satu pun kemenangan nyata di medan strategi!”
Beberapa siswa menahan napas, yang lain menyembunyikan senyum mengejek. Mereka tahu, guru itu memang dikenal cepat memulai pelajaran tanpa pemberitahuan. Dan ia sangat membenci jika ada yang mempertanyakannya.
Tapi aku tidak menghindar. Hanya menatapnya dengan dingin.
“Dan aku tidak suka belajar dari seseorang yang tidak bisa membedakan disiplin dengan keegoisan,” ucapku pelan, tapi tajam.
“Jika ini tentang kekuasaan, bukan pengajaran, maka beri tahu aku sekarang... agar aku bisa memilih tempat yang lebih tepat untuk belajar.”
Tangan guru itu mengepal di atas meja. Aura sihir mulai merayap halus dari ujung jarinya.
“Berani sekali kau…”
Aku bangkit berdiri. Kursi menggesek lantai dengan suara yang membuat semua kepala menoleh.
“Bukan berani, Nyonya. Saya hanya tidak akan pernah mengizinkan siapa pun, menyalahgunakan kekuasaan dengan alasan pendidikan.”
Sekali lagi, kelas hening. Tegang. Seolah seluruh ruangan menunggu siapa yang lebih dulu akan meledak.
Lalu guru itu tersenyum kecil. Sinis. “Kalau begitu… mari kita mulai pelajaran. Dan kita lihat... apakah kata-katamu sepadan dengan otakmu.”
Aku duduk kembali.
Satu babak telah usai. Tapi pertempuran sesungguhnya baru dimulai.
Dia menoleh ke papan sihir di belakangnya, mengayunkan tongkat kecil, dan seketika muncul simulasi peta pertempuran, medan perang berbentuk lembah sempit, dua pasukan besar terhimpit oleh rute terbatas.
“Simulasi cepat. Tanpa persiapan. Tanpa buku catatan,” katanya sambil menatapku tajam.
“Diberikan lima menit. Skenario: Pasukanmu kalah jumlah, terjebak di lembah, logistik hanya cukup untuk satu hari. Musuh akan mengepung dari tiga sisi. Buat keputusan, atau semua mati.”
Ruangan senyap. Beberapa senior mendesah pelan. Sulit. Gila. Tapi bukan mustahil.
Aku berdiri pelan. Jalan ke depan kelas dengan tenang, bahkan sempat membetulkan lengan bajuku.
Aku menatap papan. Lima detik. Sepuluh detik. Profesor itu melirik jam pasir, jelas berharap aku gugup.
Lalu aku membuka mulut.
“Pertama, kirim umpan ke arah sisi timur, buat seolah kita mundur. Gunakan pasukan infantri ringan, lepaskan tanda api di bukit utara untuk menarik perhatian.”
“Umpan? Ke mana pasukan utama akan lari, huh?” sang Profesor itu memotong, dengan suara setengah tertawa.
Aku menoleh padanya. Tenang.
“Kita tidak lari.”
Suasana langsung berubah.
“Kita kubur mereka hidup-hidup.”
Aku membalikkan peta. Menggambar garis cepat dengan sihir.
“Lembah ini punya dua jalur air bawah tanah, tertutup. Tapi bisa dibuka. Jika dibuka dengan sihir ledakan kecil pada dinding barat… kita akan menciptakan banjir lumpur mendadak. Saat musuh mengepung dari tiga sisi, mereka akan terjebak di medan yang mereka pikir milik mereka. Lalu pasukan utama turun dari sisi tebing menggunakan tali sihir.”
Aku berdiri tegak, menatap langsung ke guru itu.
“Bukan bertahan. Tapi membalikkan jebakan.”
Senyap.
Sang guru memandang papan. Lalu padaku. Lalu papan lagi.
Tak ada kata keluar dari mulutnya selama beberapa detik yang terasa seperti satu abad.
Akhirnya, ia mendengus. “...Duduk.”
Aku berjalan kembali ke tempat dudukku. Tenang. Sambil menahan senyum tipis dengan penuh kemenangan yang pasti.
Dan untuk pertama kalinya, selama pelajaran itu... sang guru tidak berkata apa-apa selama dua menit penuh.
Begitu aku duduk kembali di bangkuku, suasana kelas masih diam.
Tapi diam yang berbeda.
Bukan karena takut... tapi karena terpukau.
Beberapa senior saling melirik, yang tadi sempat menyeringai meremehkan kini tak berani mengangkat dagu. Yang paling berisik kemarin, sekarang malah sibuk mencatat ulang rencana tadi di buku sihirnya.
Seseorang di belakang berbisik pelan, tapi masih terdengar jelas
“...Dia baru masuk kelas ini 3 minggu, kan? Gila… siapa sebenarnya anak ini…”
"Bahkan bisa dibilang 1x pertemuan bab 15-25?"
Yang lain menimpali pelan, “Aku baru tahu lembah itu punya jalur air bawah tanah… dia tahu dalam waktu lima belas detik?”
Sementara yang duduk di sebelah kanan, seorang gadis senior berambut perak, menoleh ke arahku sambil mengangkat alis.
“Kau berani, bodoh, dan... jenius,” gumamnya tanpa ekspresi.
“Kombinasi berbahaya.”
Tapi bukan itu yang paling menarik.
Di deretan paling belakang, duduk seorang siswa dengan seragam biru gelap yang berbeda dari yang lain. Jubahnya berlapis benang emas, insignia kerajaan tersemat jelas di dadanya.
Pangeran Alexsander Ken Vlaan.
Putra Mahkota Kekaisaran Aurorise.
Sang Calon Kaisar.
Dan siswa kelas taktis tertinggi di akademi ini.
Ia menyilangkan tangan, menyandarkan punggung ke kursi sambil menatapku dengan senyum tipis, bukan mengejek, bukan menantang. Tapi… mengamati.
Menilai.
Matanya tajam, dingin, cerdas.
Begitu pandangan kami bertemu, ia sedikit mengangguk, tanpa kata. Sebuah gestur kecil... namun penuh makna.
Dia melihatku.
Dan itu jauh lebih menyeramkan daripada cercaan Profesor atau bisik-bisik para senior. Bahkan jika aku menjadi lilac, ia tidak pernah bersikap atau beraura seperti itu.
Kelas hari itu berlanjut.
Tapi mulai sekarang... semua mata akan menatap ke arah Stuard Vine Nala.
Anak baru. Yang lulus Etika dalam 14 hari.
Dan membuat sang Profesor, yang terkenal kejam, terdiam di depan kelas.
Kelas pun selesai tepat pukul 11 siang.
Satu demi satu siswa mulai keluar dari ruangan, beberapa masih membicarakan simulasi tadi. Tapi aku tetap duduk, tak buru-buru pergi.
Saat sang Profesor membereskan buku-bukunya, aku berdiri dan mendekat.
“Siapa nama Anda?” tanyaku datar, tanpa senyum.
Ia menoleh, sejenak terdiam, lalu mendecak kecil,
“Hoo? Panggil aku... Angel,” jawabnya ringan, seolah tak terjadi apa-apa tadi.
Aku mengangguk sekali. Tatapanku tetap tak bergeser dari wajahnya.
“Akan saya tandai wajah dan nama Anda, Guru Angel.” Ucapanku tenang, tapi mengandung ancaman yang nyaris tak terdengar.
“Tampaknya... Anda harus mulai kelas besok jam enam pagi tepat.” Tanpa menunggu respons, aku berbalik dan melangkah keluar ruangan.
Profesor Angel mematung sejenak, sebelum tertawa kecil di balik gumaman sinisnya
“...Hoo. Lihat anak ini... Berani sekali ya.”
Tapi matanya menatap punggungku yang menjauh, bukan dengan kemarahan
Tapi dengan rasa penasaran dan sedikit… waspada.