NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Langit malam di luar gedung tua itu bergemuruh, seolah menyatu dengan kegundahan dalam dada Malik. Lampu gantung redup berayun pelan, dan suara tetesan air dari pipa bocor menjadi latar suara di antara keheningan dan isakan tertahan dari Dewi yang masih terikat di kursi. Malik berdiri di hadapannya, tubuh tegapnya memantulkan bayangan panjang ke dinding yang lembap.

“Sepuluh tahun lalu…” suara Malik terdengar serak, dingin namun penuh bara yang tertahan.

“Aku juga pernah duduk seperti kamu. Tak berdaya. Tak mengerti apa yang terjadi. Tapi yang membedakan kita adalah… aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri.”

Dewi perlahan menatap ke arah Malik, wajahnya pucat, matanya sembab. Ia ingin bicara, namun suara itu membuatnya membeku. Malik menarik napas panjang, lalu terduduk di kursi usang di hadapannya.

“Waktu itu aku baru berusia empat belas tahun. Malam itu… malam yang seharusnya jadi malam biasa.” Matanya menatap jauh, seolah menerobos waktu.

“Kami sedang makan malam di ruang makan. Ibu masak sup kesukaan ayah. Adikku, Naya, tertawa-tawa menceritakan temannya yang lucu di sekolah. Ayah duduk di ujung meja, masih pakai jas kerjanya. Dia bangga malam itu. Katanya, proyek besar dari Rafael akan menaikkan status perusahaan kita. Dan kami semua percaya… kami bahagia.”

Suara Malik mulai bergetar, tapi ia terus melanjutkan.

“Lalu… suara itu datang. Deru mobil. Bukan satu. Banyak. Aku tahu sesuatu tak beres. Ayah berdiri, wajahnya tegang. Sebelum kami sempat bangkit, pintu depan didobrak. Masuklah mereka… berseragam hitam, bersenjata lengkap. Wajah mereka tak terlihat di balik topeng, tapi aku tahu… itu utusan Rafael.”

Dewi menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar. Ia mendengarkan dengan saksama, merasakan rasa dingin merambat ke tulangnya.

“Mereka menyeret ayah. Menyebutnya ‘pengkhianat’. Ternyata… ayahku ditemukan menyelundupkan dokumen rahasia Rafael ke pihak lawan. Rafael tidak butuh penjelasan. Dia hanya ingin pengkhianat disingkirkan. Satu tembakan di kepala… Ayahku roboh di depan kami.”

Malik menunduk, menahan air mata yang kini nyaris jatuh.

“Ibu menjerit… Naya lari ke pelukannya. Tapi mereka tidak peduli. Mereka tembak ibu. Dua peluru. Lalu… Naya. Gadis kecil berumur sepuluh tahun… tidak mengerti apa pun. Mereka tetap menembaknya.”

Air mata mengalir dari mata Dewi kini. Ia menatap Malik dengan ngeri dan belas kasih yang campur aduk.

“Dan aku… aku tidak langsung dibunuh. Mereka menyeretku. Mengikat tanganku. Mereka bakar pisau itu dan menempelkan ke wajahku. Mereka tertawa saat aku menjerit, menikmati saat aku menahan sakit… Tapi mereka terlalu yakin. Mereka pikir aku sudah mati. Lalu pergi…”

Suara Malik makin lirih namun mengandung dendam yang membatu. Ia mendongak, memperlihatkan bekas luka yang kini menghitam di pipinya, bekas bakaran itu.

“Aku hidup. Aku menyeret tubuhku ke lorong bawah tanah yang hanya aku dan ayah yang tahu. Di sanalah aku sembunyi sampai fajar… di antara mayat orang-orang yang aku cintai. Di antara darah… dan janji.”

Malik menggertakkan rahangnya, napasnya berat. Matanya kosong menatap lantai yang basah oleh tetesan air dari langit-langit tua, sebelum perlahan ia kembali menatap Dewi yang terikat di hadapannya. Suaranya lirih namun tegas, penuh dendam yang membeku selama bertahun-tahun.

“Aku bersumpah malam itu,” katanya perlahan. “Di hadapan jasad ayahku, ibuku, dan adikku… Aku berjanji akan membalaskan semua dendam mereka.”

Matanya berkilat, penuh bara.

“Darah harus dibayar dengan darah. Tangisan harus dibayar dengan tangisan. Jeritan harus dibayar dengan jeritan.”

Lalu Malik mendekat, wajahnya begitu dekat dengan Dewi yang hanya bisa menunduk, tubuhnya mulai gemetar.

“Dan sekarang, kamu di sini… karena Rafael harus merasakan apa yang aku rasakan,” desisnya.

“Kehilangan seseorang yang paling berharga. Istri… dan anak yang sedang dikandung istrinya.”

Air mata Dewi jatuh makin deras. Bahunya terguncang hebat. Tangisnya pecah, tak lagi bisa disembunyikan di balik ketegaran semu.

“Aku mohon…” isaknya di antara napas yang tercekat.

“Aku mohon lepaskan aku… Aku tidak tahu apa pun soal masa lalumu… Ini semua bukan salahku. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan itu semua. Kenapa kau membalas semuanya padaku…?”

Malik menatapnya lama, lalu perlahan tawa keluar dari mulutnya. Bukan tawa bahagia. melainkan tawa dingin dan menyeramkan, seperti pria yang telah mati rasa.

“Hah… Kau memang tidak ada sangkut pautnya… Sama seperti ibu dan adikku yang tak ada urusannya dengan dosa ayahku,” katanya pelan tapi jelas, setiap katanya menusuk seperti bilah pisau.

“Tapi kenapa mereka dibunuh?” suaranya meninggi, penuh amarah yang membuncah. “Kenapa mereka ikut dibantai? Kenapa mereka yang tidak bersalah justru yang lebih dulu direnggut nyawanya?!”

Dewi menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terikat. Ia menangis makin keras, tak sanggup menjawab.

Malik tersenyum, senyum sinis yang penuh kepedihan.

“Kau tahu kenapa kamu di sini?” bisiknya pelan. “Karena kamu adalah bagian dari hidup Rafael. Kamu adalah titik lemahnya… Dan menghancurkan titik lemah seseorang… adalah cara paling kejam untuk membuatnya hancur.”

Dewi semakin terisak. Tubuhnya berguncang hebat, ketakutan merayapi seluruh dirinya. Ia tahu betul siapa Rafael. seorang pria dingin dan kejam. Tapi dia tak pernah menyangka akan terseret ke dalam pusaran dendam masa lalu yang kelam ini.

Bahkan sekarang… anak yang ada dalam kandungannya pun berada dalam bahaya. Dan ia tidak tahu… apa yang akan dilakukan pria di hadapannya selanjutnya.

...

Malam itu, Rafael memarkirkan mobilnya di pelataran dengan cepat. Biasanya, begitu ia membuka pintu, Dewi sudah berdiri di teras menunggunya dengan senyum hangat, kadang-kadang sambil membelai perutnya yang mulai membesar. Namun malam ini… teras itu kosong.

Hening.

Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan tirai putih dari balik jendela yang setengah terbuka. Rafael menyipitkan mata. Hatinya berdegup tidak karuan. Ada sesuatu yang terasa… salah.

Pintu rumah terbuka.

Tanpa berpikir panjang, ia segera melangkah cepat ke dalam.

“Dewi?” panggilnya, suaranya menggema di antara dinding-dinding mewah rumah itu. “Dewi, kau di mana?”

Tidak ada jawaban. Bukan hanya dari Dewi… tapi juga dari siapa pun.

Biasanya, pelayan akan segera datang menghampirinya begitu suara pintu terdengar. Namun kali ini, rumah itu terasa mati. Sunyi. Tak ada kehidupan.

Rafael mulai menyisir satu per satu ruangan, pikirannya semakin kacau.

“Dewi!” teriaknya kali ini, panik mulai merayapi suaranya. Ia menuju ruang belakang, lalu lorong menuju kamar pelayan. Dan di sanalah ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat.

Juno.

Tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Tangan dan kakinya terikat. Mulutnya dilakban. Rafael langsung berlari mendekat, mencabut lakban dari mulut pria itu dengan kasar, lalu mengguncang tubuhnya kuat-kuat.

“JUNO! SADARLAH!”

Tubuh Juno tersentak. Matanya terbuka dengan napas memburu.

“Dewi… Dewi… dalam bahaya…” desisnya dengan suara serak.

Rafael membeku. “APA YANG TERJADI?!”

Juno mencoba bangkit dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Pagi tadi… setelah kau pergi… Mia. pelayan itu… dia datang padaku, membawa kopi. Seperti biasa. Aku tak curiga… aku meminumnya…”

Ia menelan ludah, kepalanya terasa berat mengingat kembali.

“Kopi itu… dicampur obat tidur. Setelah itu… aku tak ingat apa-apa lagi…”

“BRENGSEK!” Rafael menendang kursi terdekat hingga pecah berkeping-keping. Matanya merah. Nafasnya berat.

“Kalau terjadi sesuatu pada istri dan anakku… KAU YANG AKU HANCURKAN PERTAMA KALI, JUNO!” bentaknya.

Juno hanya menunduk, diam. Dirinya bertugas menjaga Dewi. Tapi ia lengah. Dan sekarang, perempuan itu… mungkin sedang dalam bahaya yang tak bisa ia bayangkan.

Dengan cepat, Rafael mengambil ponselnya. Ia menekan nomor khusus.

“Marco. Bawa semua orangmu. Sepuluh, dua puluh orang, aku tak peduli. Bawa mereka ke sini sekarang!”

Beberapa menit kemudian, deretan mobil hitam berderu memenuhi pelataran rumah. Para pria berbadan besar dengan seragam gelap turun satu per satu, segera mengitari Rafael yang berdiri di tengah aula rumah dengan tatapan membunuh.

“Istriku hilang,” katanya dingin, tapi suaranya terdengar seperti bom yang siap meledak. “Temukan dia. Gunakan semua cara yang kalian bisa. Gunakan jaringan. Jangan kembali tanpa hasil.”

Ia berbalik. Matanya menyapu mereka satu per satu. “Dan cari pelayan bernama Mia. Seret dia hidup-hidup. Bawa dia ke ruang bawah tanah.”

Kemudian, Rafael melirik tajam ke arah Juno. Tatapannya dingin, menusuk.

“Kau… ikut aku.”

Mereka menuju ruang kontrol di balik dinding tersembunyi. Di dalamnya, layar CCTV menyala berjejer. Rafael memerintahkan Juno untuk memutar rekaman pagi hingga sore hari.

Mereka mempercepat rekaman. Terlihat Mia melangkah santai, membawa nampan berisi secangkir kopi.

Tapi ada satu hal yang menarik perhatian Rafael.

Seseorang. Seorang pria tua yang mengenakan caping dan pakaian lusuh petani. Ia sering terlihat melintasi depan rumah. Tampak seperti petani biasa. Tapi tidak bagi Rafael.

“Berhenti,” kata Rafael tiba-tiba.

Juno mem-pause rekaman. Rafael menyipitkan mata. Wajahnya berubah. Tangannya menunjuk pria tua itu.

“Itu bukan petani,” katanya dingin.

“Ma...maksudmu?”

“Itu bukan orang biasa. Ia terlalu sering muncul. Jalannya tak natural. Cara dia menoleh ke arah rumah… terlalu tepat. Itu mata-mata.”

Juno menelan ludah. "Aku tidak menyadarinya."

“Karena kau bodoh,” Rafael mendesis.

Rafael berdiri, mengambil ponselnya lagi. “Temukan orang itu,” katanya kepada Marco melalui sambungan langsung.

“Cari si tua yang terlihat di kamera CCTV. Seret dia juga ke ruang bawah tanah. Jangan beri belas kasihan.”

“Siap, Tuan,” jawab Marco dari seberang.

Rafael menatap layar, matanya tak berkedip.

Seseorang sedang bermain-main dengan hidupnya. Dengan orang yang paling ia sayangi. Dan orang itu… akan segera menyadari bahwa menyentuh milik Rafael adalah kesalahan terakhir yang pernah mereka lakukan.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!