Seorang pria misterius menggunakan 2 sumber kehidupan untuk membentuk klon Dao yang sempurna. tapi tidak seperti klon pada umumnya, klon yang dia buat dari dua sumber kehidupan berubah menjadi bola cahaya bewarna biru yang isinya sebuah jiwa janin. apa yang akan dia lakukan dengan itu?
jika penasaran langsung saja baca novelnya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghabiskan Waktu Bersama Orang Terdekat!!
Setelah keluar dari aula sekte Langit Cerah, Chen Yu menggandeng tangan MuWan menuju kediamannya. Angin sore berhembus lembut, membuat suasana di antara mereka terasa tenang.
Namun, sesampainya di kamar, MuWan mendadak diam. Ia duduk di tepi tempat tidur, memalingkan wajah dengan pipi menggembung seperti anak kecil yang kesal.
Chen Yu menatapnya bingung. Ia mendekat perlahan, lalu duduk di samping MuWan.
“Kau kenapa?” tanyanya lembut.
MuWan tidak menjawab, hanya makin memalingkan wajahnya. Chen Yu mengangkat satu alis, lalu tersenyum kecil.
“Wajahmu seperti roti kukus yang dibakar setengah matang… Tapi tetap saja imut.”
MuWan melirik sebentar, lalu kembali memalingkan wajahnya. “Hmph.”
Chen Yu tertawa pelan, lalu mencondongkan tubuh. “Katakan, apa yang membuat istri cantikku seperti ini?”
MuWan akhirnya bicara, suaranya pelan. “Nanti kalau kau sudah pergi ke Sekte Tianming. Kau akan dikelilingi oleh banyak wanita cantik. kau pasti akan melupakanku.”
Chen Yu terkejut sesaat, lalu tertawa kecil. “Lupakan kau? Mana mungkin. Kecuali kalau kepalaku tertimpa batu besar.”
MuWan mendesah. “Masalahnya, banyak wanita yang suka padamu. Mereka pasti akan beramai-ramai menyingkirkan batu yang akan mengenai kepalamu.”
Chen Yu tertawa keras kali ini, lalu mengelus kepala MuWan. “Kalau begitu, kau saja yang bawa batunya dan lempar ke aku. Supaya aku lupa segalanya... kecuali dirimu.”
MuWan menahan senyumnya. “Jangan bercanda.”
Chen Yu mengangkat dagunya pelan. “MuWan dengar baik-baik. Kau adalah satu-satunya yang membuatku percaya bahwa dunia ini tak hanya soal kekuatan, tapi juga tempat untuk kembali. Aku tak akan pernah melupakanmu. Di mana pun aku berada, kau akan selalu menjadi rumahku.”
MuWan menunduk, wajahnya memerah.
Chen Yu lalu berdiri dan merentangkan tangan. “Sudah, jangan cemberut. Kita harus tetap semangat latihan kultivasi, kan?”
MuWan mengangguk. “Iya... Tapi jangan terlalu kasar seperti terakhir kali saat latihan malam.”
Chen Yu terdiam sesaat, lalu tersenyum geli. “Baiklah, Nyonya MuWan. Kali ini latihan kita akan penuh kelembutan... dan hasilnya pasti luar biasa.”
MuWan melemparkan bantal ke arah Chen Yu sambil tertawa malu. “Dasar suami mesum!”
Chen Yu tertawa sambil menangkap bantal itu. Di dalam kamar sederhana itu, dua hati yang pernah saling merindukan, kini kembali menyatu. Tak peduli seberapa jauh Chen Yu akan melangkah, ia tahu bahwa ada satu orang yang selalu percaya dan menunggunya pulang.
Waktu berlalu...
Malam itu, suasana di halaman belakang tempat tinggal Chen Yu begitu hangat. Lampion-lampion sederhana menerangi meja yang penuh makanan dan kendi anggur. Puyou, seperti biasa, membawa makanan dari hasil perburuannya sendiri di pasar dekat sekte.
“Untuk kemenangan Chen Yu!” seru Puyou mengangkat cangkirnya tinggi.
“Untuk Chen Yu!” sahut Xining dan MuWan bersamaan, lalu mereka meneguk anggur dalam cangkir masing-masing.
Chen Yu hanya tersenyum dan menyeruput perlahan. Puyou pun melakukan hal serupa. Tapi berbeda dengan keduanya, MuWan dan Xining terlihat bersaing dengan serius dalam hal minum anggur.
“Aku tidak akan kalah darimu, Senior Xining,” ujar MuWan, pipinya sudah mulai memerah.
Xining tersenyum menantang. “Anggur malam ini, rasanya seperti air biasa.”
Namun lima kendi kemudian, keduanya sudah mulai terdengar bicara tak jelas. Mereka tertawa, menyenggol cangkir satu sama lain, dan bersandar di meja.
Tiba-tiba, MuWan menatap Xining dan berkata dengan suara setengah teler, “Aku tahu kau jatuh cinta pada suamiku, kan?”
Suasana mendadak hening. Chen Yu dan Puyou yang sedang mengunyah langsung terbatuk bersamaan.
Xining menunduk sesaat, lalu menjawab pelan, “Itu benar… Tapi aku tahu diri. Aku tidak akan merebutnya darimu.”
Chen Yu tersedak anggurnya, sementara Puyou menyemburkan sedikit dari mulutnya, lalu menepuk-nepuk dada sendiri.
MuWan mengangguk sambil tersenyum miring. “Tapi jika suamiku juga menyukaimu… bagaimana?”
Xining diam beberapa detik, kemudian berkata jujur, “Mungkin dia juga memiliki perasaan. Tapi dia menahannya, karena menghormatimu.”
Suasana terasa makin sunyi.
Chen Yu hendak menanggapi, namun belum sempat bicara, MuWan mendecak pelan dan berseru, “Suamiku ini, ya… Hmph! Kalau berani macam-macam… aku akan menghukumnya.”
Chen Yu tertawa canggung. “H-hukum bagaimana maksudmu?”
MuWan menjawab sambil meletakkan cangkir ke meja, “Aku potong belalai gajahmu.!”
Chen Yu langsung menegang. “Tidak… itu terlalu kejam.”
Puyou tertawa terpingkal-pingkal. “Sahabatku, di masa depan jaga tingkah lakumu. Kalau tidak, kakak ipar kita ini akan memberimu pelajaran yang tak bisa dilupakan.”
Chen Yu mengangguk dengan wajah serius. “Catat. Jangan buat istri marah.”
Xining dan MuWan tertawa kecil. Malam itu ditutup dengan suasana hangat, penuh gelak tawa, canda, dan perasaan yang mulai terbuka.
Waktu berlalu, dan pagi berikutnya.
Sinar mentari pagi menembus celah jendela kamar Chen Yu, menyinari ruangan yang semalam penuh tawa dan anggur. Udara masih sejuk, dan aroma ramuan spiritual masih tercium samar dari meja.
Di atas tempat tidur, Chen Yu masih tertidur lelap. Di sisi kirinya, MuWan bersandar pada dadanya dengan napas teratur. Di sisi lainnya, Xining juga terlelap, tangannya tanpa sadar menggenggam lengan Chen Yu.
Beberapa saat kemudian, MuWan perlahan membuka mata. Ia berkedip dua kali, mencoba menyesuaikan pandangan. Saat sadar dirinya bersandar di dada Chen Yu dia merasakan perasaan yang nyaman.
"Eh...? Kenapa aku..." gumamnya pelan.
Lalu ia menoleh ke sisi lain. dan hampir tersentak kaget.
"Senior Xining?!"
Xining membuka matanya perlahan, mengerjapkan mata. Ia pun langsung terkejut saat menyadari dirinya juga berada di pelukan Chen Yu.
"A-aku... bagaimana bisa di sini?"
Sebelum situasi makin canggung, suara menguap terdengar dari lantai.
“Uaaaah... kenapa pagi-pagi sudah ribut sih.” terdengar suara familiar.
Puyou bangun dari lantai sambil mengucek matanya, rambutnya acak-acakan. Ia duduk bersila sambil menggeliat kecil, lalu berkata dengan nada malas, “Kalian ini benar-benar berisik.”
Chen Yu masih belum sepenuhnya sadar, hanya bergumam setengah tidur.
MuWan bertanya cepat, “Puyou kenapa kita begini? Apa yang terjadi?”
Puyou menghela napas panjang. “Semalam kalian berdua mabuk berat. dan saling menarik Chen Yu ke kamar, sambil bilang 'kami jagain dia!' terus pintu ditutup. Aku mau ikut tapi pintunya dikunci.”
MuWan dan Xining saling menatap, bingung.
Puyou melanjutkan, “Tapi tengah malam pintunya terbuka. Aku yang kedinginan tidur di luar mencoba masuk. Saat aku masuk, Kalian bertiga sudah terlelap seperti anak ayam. Jadi ya aku ikut tidur, tapi di lantai.”
Chen Yu akhirnya membuka matanya dan duduk perlahan.
“Huh...? Sudah pagi ya…?”
MuWan dan Xining serentak bangkit duduk, wajah mereka memerah seperti tomat.
Chen Yu melihat kanan dan kiri, lalu berkata polos, “Kenapa kalian bertiga ada di sini? Apa kita bertarung semalam?”
Puyou tertawa sambil bangkit berdiri. “Bertarung dengan anggur, mungkin. Tapi jelas, yang kalah adalah martabat kita semua.”
Xining menunduk malu. MuWan menggembungkan pipinya.
Chen Yu menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ehm... lain kali, kita rayakan dengan teh saja ya.”
Semua pun tertawa kecil, mengusir canggung di pagi yang aneh itu.
Waktu berlalu.
Dan seminggu telah berlalu sejak MuWan resmi tinggal bersama Chen Yu di Sekte Langit Cerah. Hidup mereka penuh kedamaian, seperti bunga lotus yang mekar perlahan di tengah danau tenang, namun indah menyejukkan hati.
Setiap pagi, MuWan selalu terbangun dalam pelukan Chen Yu. Hari ini pun sama. Saat membuka matanya, MuWan menemukan dirinya bersandar di dada suaminya, napas Chen Yu teratur dan hangat.
Rambut panjang MuWan sedikit acak-acakan, sebagian terurai menutupi wajahnya. Ia tersenyum malu lalu mengusap pelan dada Chen Yu, “Bangun, suamiku. Hari sudah pagi.”
Chen Yu membuka mata perlahan, menatap wajah istrinya yang masih berantakan tapi justru terlihat sangat memikat. “Selamat pagi, istriku,” ucapnya lembut.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua mandi bersama. dengan tawa kecil dan percikan air yang menyegarkan. Setelah itu mereka berganti pakaian dan sarapan bersama di halaman.
MuWan menyiapkan bubur spiritual dan teh harum sambil bersenandung pelan. Chen Yu duduk dengan tenang, menikmati setiap momen sederhana itu.
Namun kedamaian pagi itu tak berlangsung lama.
Dari kejauhan, dua sosok perempuan anggun melangkah masuk ke halaman rumah Chen Yu. Jubah mereka berkibar pelan diterpa angin. Itu adalah Guru Ji Qianlan dan Guru Qing Shanyue, dua tetua dari Sekte Tianming yang terkenal.
“Chen Yu!” sapa Ji Qianlan sambil tersenyum cerah. “Pagi yang indah, bukan?”
Chen Yu segera berdiri dan menangkupkan tangan, “Salam hormat, Guru Ji, Guru Qing.”
Guru Qing Shanyue tersenyum anggun. “Kami datang tidak untuk mengganggu. Hanya ada satu tempat yang ingin kami tunjukkan padamu, Chen Yu. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”
Chen Yu menoleh pada MuWan yang duduk terdiam di meja sarapan. Lalu ia menatap kembali dua guru itu, “Baiklah, aku akan ikut.”
“Bagus!” Ji Qianlan menjentikkan kipasnya pelan. “Kami akan menunggumu di kaki bukit.”
Setelah mereka pergi, Chen Yu menghampiri MuWan dan menggenggam tangannya. “Aku pergi sebentar. Jangan cemberut begitu.”
MuWan mengembungkan pipinya. “Tapi hari ini kita seharusnya latihan bersama.”
Xining tiba-tiba datang sambil membawa keranjang obat, dan melihat Chen Yu bersiap-siap. “Mau ke mana?” tanyanya dengan datar.
“Dipanggil dua guru dari Sekte Tianming,” jawab Chen Yu ringan.
“Hmmph,” Xining menoleh ke arah lain, cemberut. “Baru seminggu bahagia bersama, sekarang sudah dibawa pergi.”
Chen Yu tersenyum kecil, lalu dengan lembut mengacak rambut MuWan dan Xining. “Aku akan kembali sebelum matahari terbenam.”
MuWan menunduk pelan, lalu dengan suara kecil berkata, “Kalau kau tidak kembali aku akan mencari sampai ke Kekaisaran Zhou.”
Chen Yu menoleh dengan senyum hangat. “Istriku yang galak, aku pasti pulang.”
Dengan langkah ringan, Chen Yu pun berjalan meninggalkan halaman rumah, menyusul dua guru dari Sekte Tianming yang menunggunya. Sementara itu, MuWan dan Xining berdiri berdampingan, keduanya cemberut, sama-sama memandangi punggung Chen Yu yang semakin menjauh.
“Ck… pria itu terlalu mudah disukai,” gumam Xining.
MuWan mengangguk, “Iya, tapi tetap saja, dia milikku.”
dusah GHOBLOK lembek lagi,
mendingan gak usah di lanjutkan lagi ini alur ceritanya