Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24: The Third Peak
Langit Ravennor memerah. Bukan karena senja—tapi karena kota demi kota terbakar. Bangsa-bangsa yang dulu menyembah monarki kini saling melawan, tak lagi tahu siapa kawan, siapa lawan.
Seraphine, Caelum, Ash, dan pasukan terakhir berkumpul di dataran tinggi Erevald, tanah terakhir yang belum disentuh oleh kegelapan Orin.
“Kita tidak lagi melawan seorang raja,” kata Ash sambil memasang rune pertahanan.
“Kita melawan gagasan bahwa rakyat harus tunduk pada sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.”
Caelum menyeringai. “Ironis. Dulu aku percaya pada tahta. Sekarang, aku ingin menghancurkannya.”
Seraphine berdiri di tengah, belati tulang dewa tergenggam erat. Hanya satu tujuan dalam benaknya: akhiri semuanya, atau semua akan berulang.
Di ibukota lama yang kini dijuluki Arkhavel, Orin duduk dengan jubah perak dan mahkota yang kini menyatu dengan kulit kepalanya. Mahkota itu bukan benda mati—ia bernafas, meresap ke tulang dan daging, membuat Orin menjadi lebih dari manusia.
“Mereka akan datang. Mereka pikir mereka bisa menghancurkan ide,”
bisik suara dari dalam mahkota.
“Tunjukkan bahwa ide tidak bisa dibunuh.”
Orin tersenyum.
“Tapi manusia bisa.”
Malam penyerangan tiba.
Petir menyambar ketika Seraphine menerobos gerbang Arkhavel dengan sihir kuno yang menggetarkan tanah. Caelum membelah langit dengan api biru dari tongkat peninggalan pendiri pertama Ravennor. Ash melompat dari menara ke menara, membunuh dalam bayang-bayang.
Tapi semua itu hanya jalan menuju satu hal:
Singgasana Mahkota.
Di dalamnya, Orin menunggu.
Dan mereka bertarung. Bukan dengan senjata saja—tapi dengan keyakinan, trauma, dan bayang-bayang masa lalu.
Seraphine berhadapan langsung dengan Orin.
“Kau mengira kau bisa menyelamatkan dunia dengan membakar sejarahnya?” tanya Orin.
“Dunia ini tak butuh ratu baru, hanya tirani baru dengan nama berbeda.”
Seraphine menatapnya… dan tersenyum kecil.
“Kau salah.”
“Dunia ini butuh orang yang mau menolak jadi dewa.”
Dan dengan satu gerakan, ia menancapkan belati tulang dewa ke jantung Orin.
Mahkota itu menjerit. Bangunan runtuh. Langit sobek.
Dan Orin… tertawa sambil darahnya keluar.
“Kau pikir ini akhir? Ini… awal.”
Lalu hening.
Hanya ada debu. Mahkota itu menghitam… dan meleleh menjadi abu.
Seraphine jatuh terduduk. Nafas tercekat. Dunia hening.
Beberapa hari kemudian…
Di antara reruntuhan, rakyat berkumpul. Tidak ada pemimpin. Tidak ada tahta.
Dan untuk pertama kalinya… tidak ada yang memerintah.
Caelum bertanya, “Lalu sekarang apa?”
Seraphine melihat langit.
“Sekarang… kita mulai dari bawah.
Kita bangun ulang. Tanpa mahkota.
Tanpa tuhan.”
Ash menambahkan, “Atau mungkin… tuhan itu kita sendiri.”
Udara di Ravennor seperti menahan napas.
Tak ada suara genderang perang. Tak ada sorakan kemenangan. Hanya hening. Kota-kota yang dulu gemerlap kini seperti mayat hidup—berdiri, tapi kosong.
Seraphine duduk di reruntuhan perpustakaan pusat Arkhavel, tempat pertama kali ia belajar membaca dunia. Kini, buku-buku berserakan, sebagian terbakar. Sebagian lainnya—hilang selamanya.
Caelum menghampiri, membawa teh hangat dalam cangkir retak.
“Kau tahu, biasanya setelah revolusi, orang-orang berpesta,” katanya, duduk di sebelahnya.
“Ini bukan revolusi biasa,” balas Seraphine.
“Ini pembongkaran realitas.”
Di seberang kota, Ash menyusuri lorong-lorong, membantu anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Tangan kirinya terluka parah. Tapi ia tetap diam, tetap bergerak.
Dia tahu:
Perang belum benar-benar berakhir. Kekosongan selalu mengundang kekuatan baru.
Di ruang bawah tanah bekas istana, sekelompok mantan bangsawan berkumpul. Mereka berbicara dalam bisikan—tentang kekuasaan, tentang mengambil kembali “hak” mereka, tentang “menata ulang kekacauan.”
“Tanpa tahta, rakyat akan binasa,” kata salah satu dari mereka.
“Tanpa rasa takut, mereka akan melupakan tempat mereka.”
Dari bayang-bayang, sosok dengan jubah kelam mengangguk. Suaranya tak asing.
“Mungkin sudah saatnya… wajah baru untuk ide lama.”
Sebuah potongan mahkota—yang seharusnya sudah musnah—berdenyut pelan dalam kotak hitam.
Sementara itu, Seraphine, Caelum, dan Ash mulai membangun Forum Pertama Ravennor, tempat rakyat bisa berbicara, memilih, dan memutuskan arah mereka sendiri.
“Kita tidak butuh ratu. Tidak butuh raja.
Kita butuh suara,” kata Seraphine kepada puluhan orang pertama yang datang.
Seorang wanita tua berdiri dan berkata, “Lalu… siapa yang akan melindungi kita saat hal buruk datang kembali?”
Seraphine menatap mereka satu per satu.
“Kita.
Satu sama lain.
Bukan dewa. Bukan darah bangsawan.
Tapi kita sendiri.”
Orang-orang saling menatap… dan perlahan, satu demi satu, mereka mengangguk.
Di langit malam, abu Orin tersebar oleh angin. Tapi jauh di utara, di tanah mati tempat perang besar pertama dimulai, tangisan bayi terdengar.
Tak ada yang melihatnya. Tak ada yang tahu dari mana datangnya.
Namun kulit bayi itu… bercahaya samar.
Dan di atas dahinya… ada bekas luka berbentuk mahkota.
Tiga tahun kemudian.
Ravennor sudah berubah.
Jalanan tak lagi dijaga oleh tentara. Tapi oleh relawan sipil yang menjaga satu sama lain.
Tak ada istana. Hanya Balai Forum di tengah kota, di mana semua orang—miskin, kaya, tua, muda—bisa berbicara.
Seraphine kini tinggal di rumah sederhana di bukit timur, mengajar anak-anak menulis dan berpikir bebas.
Caelum mengelola rumah perawatan untuk para korban perang. Luka di wajahnya belum sembuh sepenuhnya, tapi ia tak lagi menyembunyikannya.
Ash?
Ia menghilang setahun lalu. Beberapa bilang ia pergi ke negeri di balik salju. Beberapa bilang ia mati. Tapi Seraphine tahu…
“Orang seperti dia tidak mati. Mereka berubah. Menjadi mitos. Menjadi arah angin.”
Namun di tempat lain…
Padang abu utara menyimpan rahasia.
Seorang penggembala muda menemukan sebuah telur aneh—hitam, berdenyut, seperti hidup. Dan ketika ia menyentuhnya, bisikan masuk ke pikirannya:
"Ravennor belum selesai. Kamu belum selesai."
Di langit malam, api kecil menyala di sebuah bukit terpencil.
Bukan obor. Bukan rumah terbakar. Tapi seorang anak, duduk sendiri, menyalakan api kecil dari tangannya. Tanpa mantra. Tanpa buku sihir.
Dia tak tahu namanya.
Tapi dia tahu apa yang dia cari.
“Mereka bilang dulu dunia dibakar oleh mahkota.”
“Sekarang, aku ingin tahu…
apakah dunia bisa dinyalakan kembali oleh rakyat.”
Dan dengan itu, dia berdiri.
Melangkah ke arah cahaya.
Membawa satu-satunya warisan masa lalu:
Pilihan.
Angin membawa aroma besi dan tanah basah, sisa-sisa dari medan perang yang bahkan hujan pun belum sepenuhnya bisa bersihkan. Di kejauhan, menara-menara runtuh berdiri seperti tulang rusuk dari kerajaan yang pernah hidup megah. Kini Ravennor sunyi, namun tak pernah benar-benar tenang.
Seraphine berdiri di atas reruntuhan benteng timur—dulu markas pasukan kerajaan, kini hanya batu-batu berserakan yang ditumbuhi lumut dan dililit akar pohon liar. Ia memandangi tanah di bawahnya, tempat di mana darah kawan dan musuh pernah mengalir dalam satu genangan yang sama.
Langkah-langkah ringan menghampirinya dari belakang.
"Aku tak pernah suka tempat ini," kata Caelum, suaranya masih serak oleh udara dingin pagi. "Terlalu banyak hantu."
Seraphine tak menoleh. “Hantu bukan masalahnya, Caelum. Yang kutakuti justru... kita belum selesai dengan yang hidup.”
Ia menyerahkan sebuah gulungan surat kepadanya—cap lilin sudah patah, seakan dibuka tergesa-gesa. Surat itu dari perbatasan utara. Desa kecil bernama Lorrinburn terbakar tanpa jejak. Tak ada mayat. Tak ada saksi.
Hanya arang dan bisikan.
"Ini yang ketiga minggu ini," ucap Caelum pelan. "Semuanya di luar wilayah pantauan dewan. Tak ada laporan serangan. Tak ada tanda pasukan."
Seraphine menggenggam gagang pedangnya, meski ia tahu benda itu tak lagi cukup melawan apa pun yang tak berasal dari dunia ini.
“Yang lama sedang bangkit,” katanya. “Dan kita terlalu sibuk merayakan damai yang belum sempat tumbuh.”
Sebelum Caelum sempat menjawab, tanah di bawah mereka bergetar perlahan—bukan gempa, tapi lebih seperti... napas.
Dalam diam, keduanya tahu: apa pun yang pernah tersegel selama ribuan tahun, kini mulai membuka mata.
Mereka tiba di Lorrinburn menjelang senja. Langit berwarna abu-abu tembaga, dan desa itu... lebih sunyi dari kuburan. Tak ada suara burung. Tak ada dedaunan bergerak. Hanya aroma asap yang tak seharusnya masih tercium, padahal api pasti sudah padam sejak berhari-hari lalu.
Bangunan-bangunan runtuh menjadi arang. Tak ada kerangka. Tak ada sisa pakaian. Tidak ada satu pun tanda kehidupan pernah ada di sana. Bahkan abu terasa terlalu bersih.
Caelum menunduk, mengamati tanah yang mereka injak. “Tidak alami,” gumamnya. “Api biasa tak membakar seperti ini.”
Seraphine berjalan perlahan ke bekas sumur di tengah desa. Ia mengangkat satu ember tua yang masih menggantung—anehnya tidak terbakar—dan menurunkannya.
Suara denting.
Ia menariknya kembali ke atas. Ember itu membawa sesuatu: sepotong kain merah tua, berlendir, dan tercium bau logam.
“Darah?” tanya Caelum, mendekat.
Seraphine tak menjawab. Ia menatap lurus ke dasar sumur. Matanya menyipit. “Ada... sesuatu di bawah sana.”
Seketika, udara menghangat. Tidak seperti hawa dari api, tapi panas seperti... napas di tengkuk.
Lalu suara itu datang.
Bukan teriakan. Bukan bisikan. Tapi gema, seperti gema dari dalam tubuh sendiri.
“Tempat ini bukan untukmu.”
Caelum mencabut belatinya. “Kita tidak sendirian.”
Tapi Seraphine sudah tahu itu sejak mereka tiba.
Dan dari balik bayangan bangunan yang nyaris rubuh, sesosok makhluk melangkah keluar. Tingginya dua kali manusia, tubuhnya dibalut jubah robek dan hitam yang berkibar meski tak ada angin. Tak ada wajah di balik tudungnya—hanya kekosongan hitam yang menyerap cahaya.
Makhluk itu tak bersuara, tapi suara dari dalam kepala mereka berkata:
"Tuan kalian pernah menyegelku. Tapi darah baru telah membuka pintu lama.”
Seraphine meraih liontin di lehernya, yang dulu diberikan oleh Orin sebelum pertempuran terakhir. Itu berdenyut panas. Sebuah tanda.
“Kita harus pergi,” katanya pada Caelum, sambil mundur perlahan. “Ini bukan perang biasa.”
Makhluk itu tidak mengejar. Ia hanya menatap—atau seolah menatap. Kemudian tubuhnya mencair seperti asap, dan lenyap begitu saja.
Tapi mereka tahu satu hal pasti:
Perang belum selesai. Dan musuh kali ini bukan berasal dari istana, tapi dari dalam sejarah yang sengaja dilupakan.
Ruang utama Istana Norwyn—yang dulu megah dan penuh lambang kerajaan—kini dipenuhi lembaran hukum, peta, dan suara debat yang tak kunjung reda. Mahkota telah dihancurkan, tapi kekuasaan... kekuasaan belum pernah benar-benar mati.
Orin duduk di ujung meja panjang, matanya lelah, tapi tajam. Di sampingnya, Ash berdiri dengan tangan bersilang, mengamati para anggota dewan yang saling tuding.
“Kita membubarkan tahta agar rakyat bisa bicara,” kata Orin tenang. “Tapi sekarang kalian malah berebut kursi.”
Salah satu anggota dewan—Lady Terevon dari Alera—menyindir, “Dan kau tidak? Bukankah kaulah ‘Jenderal Revolusi’? Banyak yang masih bersedia mengikutimu... jika kau mau.”
Ash menyela, nadanya dingin. “Kalau dia mau, kalian takkan sempat duduk di sini.”
Hening.
Beberapa pandangan tertuju ke Ash—takut, tapi tak berani melawan.
Orin menatap peta di meja. Tanda merah menyebar dari wilayah utara, dekat perbatasan pegunungan Lorrinburn. “Ada desa yang hilang dalam semalam. Tak ada saksi. Tak ada sisa. Hanya tanah yang menghitam.”
“Pemberontak?” tanya salah satu bangsawan muda.
“Kalau hanya itu,” gumam Orin. “Ini sesuatu yang lebih tua. Dan lebih lapar.”
Ash mengangguk. “Seraphine dan Caelum sedang menuju ke sana. Tapi kalau benar yang kita curigai... itu bukan sekadar sisa perang.”
Seseorang dari sudut ruangan—seorang pendeta muda dari Ordo Pelindung Lama—mengangkat suaranya. “Ada legenda. Tentang ‘Pintu Ketiga’ yang disegel di masa pendiri kerajaan. Tidak di bawah istana. Tapi di utara, di desa-desa tua yang dibangun di atas reruntuhan lebih kuno dari peta kita.”
Orin menegang. “Apa kau bilang pintu itu... terbuka?”
Pendeta itu menelan ludah, gugup. “Tidak dibuka. Tapi dipanggil. Lewat darah.”
Ash melirik Orin, tatapannya tajam. “Kita harus menyusul mereka.”
“Tapi Dewan—”
“Akan tetap berdebat,” potong Ash. “Sementara sejarah mulai menggeliat bangkit dari tanahnya.”
Orin bangkit berdiri. “Kalau ini benar, maka revolusi bukan akhir. Hanya prolog dari sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang tidak akan memilih siapa yang dulu raja, siapa yang dulu budak.”
Malam itu, kuda-kuda dipacu melewati jalanan berbatu. Langit di atas Norwyn kelam tak berbintang—seolah langit pun menahan napasnya.
Ash memacu kudanya sejajar dengan Orin. “Kau yakin mereka belum terlalu jauh?”
“Kalau mereka lewat jalur timur, kita masih bisa potong jalan lewat hutan Olen. Tapi…” Orin mengerutkan dahi. “Aku tidak suka hawa ini. Tanahnya... berbisik.”
Ash menoleh. “Kau mulai bicara seperti Seraphine.”
“Ya, dan itu yang membuatku takut.”
Tak lama, hutan mulai menutup jalan. Kabut tebal menyelimuti, seakan menutup jalur ke masa kini. Sunyi. Bahkan jangkrik pun tak berani bersuara.
Kemudian... terdengar derap langkah. Bukan kuda. Tapi banyak. Dari segala arah.
Ash segera menarik pedangnya.
Dari balik pepohonan, makhluk-makhluk bermata kosong muncul. Wajah manusia, tapi bukan manusia. Tubuh mereka seperti bayangan yang dibentuk dari tanah gelap dan darah kering. Mereka tidak menyerang… hanya berdiri, mengelilingi, memandangi.
“Ini... bukan pasukan hidup,” bisik Orin.
Salah satu dari makhluk itu maju. Suaranya bergetar, seperti gema dari dasar gua, “Kau... yang dulu membakar Gerbang Timur. Kau... penumpah darah raja.”
Ash mencengkeram gagangnya. “Kau tahu siapa aku?”
“Kami tahu... semua yang berdarah.”
Dan dari dalam dada makhluk itu, cahaya merah menyala—bukan api, tapi segel yang pecah perlahan. Satu per satu, makhluk lain menirukannya.
Orin mundur setapak. “Mereka bukan di sini untuk membunuh. Mereka... memberi peringatan.”
Makhluk itu berlutut, dan berbisik, “Sang Penjaga Bangkit. Pintu Ketiga terbuka bukan untuk siapa yang pantas... tapi untuk siapa yang dipanggil.”
Kabut mencair. Makhluk-makhluk itu menghilang seolah disedot kembali ke tanah. Sunyi menyelimuti lagi.
Ash dan Orin saling pandang.
“Seraphine harus tahu ini,” kata Orin, suaranya rendah.
Ash hanya menjawab dengan satu anggukan. Tapi di matanya, ada kilat kekhawatiran yang belum pernah muncul... bahkan saat perang dulu.
Karena kini, bukan hanya kekuasaan yang mereka lawan. Tapi sesuatu yang tak bisa dibunuh—karena ia bukan hidup, dan bukan pula mati.
To be continued...
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~