Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembali dengan pasukan lebih
Malam telah menelan seluruh kota dalam selimut pekat. Rumah Danu tak lagi riuh. Setelah makan malam sederhana bersama nasi goreng buatan Mama Danu yang selalu jadi favorit keluarga, semua mulai berpencar ke kamar masing-masing. Papa dan Mama Danu meminta mereka istirahat lebih awal, karena perjalanan ke desa besok akan panjang dan mungkin menegangkan.
Galang, Bima, dan Naya menempati kamar Danu, sedangkan Galang memilih satu kamar dengan Nadia.
Danu duduk di ujung tempat tidur sang adik. menyandarkan punggung ke dinding. Di sampingnya, Nadia bersandar dengan bantal di pangkuannya, seperti yang sering mereka lakukan saat kecil dulu.
"Mas," ucap Nadia pelan, memecah keheningan. "Nadia nggak mimpi lagi tentang Kak Isabella. Tapi rasanya kayak... dia deket."
Danu menatap langit-langit kamar. "Mas juga ngerasa begitu. Sejak ketemu dia pertama kali waktu... Mas datang ke desa nya, rasanya kayak udah kenal lama. Tapi makin ke sini, makin aneh. Ada banyak hal yang Mas nggak ngerti."
Keheningan menyelimuti kamar itu untuk beberapa detik. Danu perlahan mengusap kepala adiknya, lembut seperti dulu saat Nadia ketakutan karena petir.
"Apa pun yang terjadi nanti, Mas nggak akan nempatin kamu dalam bahaya. Mama, Papa dan teman-teman, Mas. Kalian lebih berharga dari apapun"
Nadia memejamkan mata, tangannya masih menggenggam jemari Danu. "Kalau nantinya wanita yang mas sebut itu dan Kak Isabella ternyata satu orang, Mas jangan larang Nadia buat ngomong, ya?"
Danu tersenyum. "Nggak akan. Kali ini, Mas janji."
Beberapa menit kemudian, napas Nadia mulai teratur, dan tubuh kecil itu perlahan tenggelam dalam lelap. Danu tak segera tidur. Ia menatap jendela yang mengarah ke jalan kecil depan rumah. Lampu jalan kuning temaram menciptakan bayangan panjang di dinding, seperti sosok yang menunggu dari kejauhan.
Dan entah kenapa, Danu merasa malam itu ada yang mengamati, seperti... seseorang yang menanti mereka mengambil langkah berikutnya.
*****
Pagi harinya...
Cahaya fajar mulai merembes masuk lewat celah tirai jendela kamar. Langit masih berwarna biru gelap keunguan, pertanda waktu Subuh baru saja datang. Udara pagi menyusup lewat celah ventilasi, membawa aroma embun dan hawa sejuk yang membelai lembut kulit.
Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 05.15. Rumah masih senyap, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki pelan dari arah dapur.
Danu perlahan membuka mata. Tidurnya tidak sepenuhnya lelap semalam. Terlalu banyak yang bergelayut di benaknya, tentang Nyai Laras, tentang wanita bernama Isabella, dan tentang desa yang akan mereka datangi pagi ini.
Ia menoleh ke samping. Pandangannya langsung tertuju pada Nadia yang masih terlelap di sampingnya, pelukannya masih erat memegang bantal, wajah adiknya itu tampak tenang. Danu tersenyum kecil, lalu beringsut bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar dengan langkah hati-hati.
Saat ia tiba di ruang tengah, Galang muncul dari arah dapur sambil menguap lebar.
"Eh, lu udah bangun juga, Nu?" gumamnya setengah ngantuk sambil mengucek mata. "Naya udah siap dari tadi. Bahkan make-up-an dikit katanya biar nggak kelihatan kucel di jalan. Bima juga barusan bilang mobilnya udah dipanasin."
Danu tersenyum kecil. "Wah, ternyata semua udah gercep, ya. Kirain masih bisa nyantai bentar."
"Mana bisa," celetuk Galang sambil mengambil gelas dan menuang air putih. "Ini kan perjalanan penting. Kita kayak mau ekspedisi rahasia."
Danu mengangguk. "Kalau gitu, gue mandi dulu deh. Biar segar."
"Gue juga bentar lagi mandi. Nunggu Naya kelar ritual di kamar" Galang terkekeh kecil sebelum akhirnya mereka terpisah ke kamar masing-masing.
Suasana pagi itu, meski masih gelap, terasa lebih hangat oleh percakapan ringan dan keakraban yang sejenak mengusir bayang-bayang ketegangan.
Di dapur, Mama Danu sedang sibuk menyiapkan bungkusan kecil berisi bekal perjalanan, roti lapis isi telur, nasi kepal dengan abon, beberapa buah-buahan, dan botol air mineral untuk masing-masing anak. Ia sudah mengenakan setelan kasual rapi dengan sepatu datar dan tas kerja kecil tergantung di bahu.
"Mama bangun jam empat tadi," ucapnya saat Danu menghampiri. "Sempat cek email kerja sebentar. Untung orang kantor langsung balas izin cuti mama. Meskipun beda kantor sama papa kalian, tetap aja kemarin kami sepakat ambil cuti bareng."
"Maaf ya, Ma, repot-repot jadi harus izin segala," kata Danu, merasa bersalah.
Mama Danu hanya tersenyum dan menepuk bahunya. "Nggak ada repot kalau urusan anak. Apalagi ini tentang kamu dan Nadia. Mama nggak mau kejadian kemarin terulang lagi. Kalau bisa, kita selesaikan semua ini bareng-bareng."
Tak lama kemudian, Papa keluar dari kamar dengan mengenakan jaket tipis dan membawa tas kecil yang ia sampirkan di satu lengan nya. "Semua sudah siap, Maa?" tanyanya.
Mama Danu yang sedang memeriksa ulang perbekalan hanya menjawab pelan, "Sudah Paa, tinggal nunggu anak bontot sama kakaknya."
Mendengar itu, Papa Danu sedikit menyipitkan mata seolah keheranan. "Loh, kamu belum mandi, Nu?"
Danu hanya tersenyum tanpa dosa nya. "Hehe, papa kayak nggak tau si bontot aja. Kamar mandinya pasti masih di-booking sama Nadia."
Papa Danu geleng-geleng sambil berjalan mendekat. "Hadeh... dasar adik-kakak sama aja." Ia lalu menepuk pundak Danu pelan. "Kalau belum selesai juga, kamu mandi aja di kamar papa. Nggak usah tunggu Nadia sampai beres skincare segala."
Danu mengangguk. "Siap, Pak ketua. Cek dulu, deh."
Ia pun berbalik menuju kamar. Tak lama terdengar derit pintu kamar mandi terbuka, Nadia sudah selesai, seperti dugaannya. Danu langsung masuk, mandi secepat yang ia bisa. Air dingin menusuk, tapi justru menyegarkan dan membakar semangatnya untuk hari yang menantang ini.
Waktu terus bergulir. Setelah beberapa menit yang terasa singkat, suara langkah kaki mulai terdengar menuruni tangga. Danu dan Nadia turun terakhir, membawa masing-masing tas ransel. Danu mengenakan jaket biru tua, celana jeans, dan sepatu sneakers yang tampak sudah beberapa kali menempuh perjalanan berat. Di pundaknya tergantung tas abu-abu yang sudah mulai pudar warnanya.
Sementara Nadia mengenakan jaket army tipis dan topi kecil untuk menutupi sebagian rambutnya yang masih sedikit basah. Di tangannya tergantung tas kecil berisi perlengkapan pribadi.
Saat mereka tiba di lantai bawah, seluruh anggota rombongan sudah berkumpul di ruang tamu. Mama Danu sedang membantu Galang memastikan minuman hangat dalam termos. Naya dan Bima duduk di sofa, sementara Papa Danu berdiri di depan pintu yang sudah terbuka lebar, membiarkan udara pagi masuk ke dalam rumah.
Jam dinding menunjukkan 05.55. Suasana rumah tenang, tapi juga terasa sedikit tegang, seperti ada beban tak kasatmata yang menggantung di udara.
"Pas banget waktunya," gumam Galang saat melihat Danu dan Nadia tiba. "Gue pikir kalian ketiduran lagi."
"Ya enggak lah," jawab Danu santai, lalu menoleh ke adiknya. "Tuh si bontot yang bikin molor, Lama bener dia mandi"
Nadia hanya melempar pandangan malas sambil duduk sebentar untuk mengenakan kaus kaki. "Namanya juga cewek, Mas. Ya harus detail dong bersih-bersihin nya. bener kan kak Naya?"
Semua tertawa kecil. Bahkan Naya langsung berkomentar, "Iya dong. itu menu wajib bagi wanita,"
Mama dan Papa Danu hanya tersenyum, lalu mengangkat tangan memberi aba-aba. "Ayo, barang-barang masukin sekarang. Ada baiknya kita segera berangkat"
Mereka pun mulai bergerak cepat. Tas-tas besar dan koper kecil dimasukkan ke dua mobil yang sudah terparkir sejak Subuh. Mobil pertama adalah mobil keluarga milik Papa Danu, jenis MPV berwarna silver. Mobil itu akan membawa Papa, Mama, dan Nadia. Sedangkan Danu memilih ikut bersama teman-temannya, menaiki mobil Bima.
Saat semua sudah tertata dan penumpang masuk sesuai pembagian, Papa Danu menoleh sebentar ke arah rumah. Ia menghela napas pelan, lalu masuk ke mobil dan menutup pintu.
Dari dalam mobil, Danu sempat melihat bayangan rumahnya pelan-pelan menjauh saat mobil mulai melaju meninggalkan halaman.
Tidak ada yang banyak bicara di menit-menit awal perjalanan. Jalanan kota kecil itu masih sepi, hanya beberapa kendaraan lewat. Lampu-lampu jalan belum sepenuhnya mati, menyisakan nuansa senja palsu di pagi hari yang dingin.
Dengan mesin yang mulai stabil dan jalanan yang lapang, dua mobil pun melaju dalam formasi beriringan. Tujuan mereka satu, Desa Pagarjati. Tempat di mana semua teka-teki mungkin akan mendapatkan jawaban.
Mobil Bima melaju mulus melewati jalanan kota yang mulai berangsur terang. Danu duduk di kursi belakang, bersandar di jendela sambil memperhatikan jalanan yang kosong. Di sebelahnya, Galang memeluk tas kecil berisi camilan dan botol air. Di depan, Naya duduk di kursi penumpang sebelah Bima yang menyetir dengan pandangan serius ke depan.
Mobil milik Papa Danu tampak mengikuti tepat di belakang mereka, menjaga jarak yang cukup. Formasi iring-iringan itu terasa seperti konvoi kecil yang penuh ketegangan terselubung. Tak ada tawa atau obrolan ringan pagi itu. Yang ada hanya kesunyian yang terasa menggantung di udara.
Sampai akhirnya Bima membuka suara, memecah keheningan.
"Eh, jangan ada yang tidur dulu, ya," ujarnya sambil melirik ke kaca spion tengah. "Jalanan ke sana beda. Bukan kayak kita ke pantai atau wisata biasa. Kita harus saling fokus dan jangan ada yang melamun"
"Gue paham," sahut Galang pelan. "Makanya tadi gue udah stok banyak cemilan, biar nggak ngantuk"
Naya yang sejak tadi diam, kini ikut menimpali. "Nu, coba lo buka map. Cari arah ke Desa Pagarjati. Gue juga mau nyari. Kita cocokkan, apakah arah yang lo inget sama kayak yang gue liat waktu gue buka map kemarin."
Danu langsung mengangguk dan merogoh saku jaketnya, mengeluarkan ponsel. "Siap, bentar gue cari."
Ia mulai membuka aplikasi peta, mengetik nama Desa Pagarjati. Di sebelahnya, Galang ikut mendekat, memperhatikan layar dengan seksama. Di kursi depan, Naya juga sibuk menggeser-geser layar ponselnya sendiri, mengamati jalur dan cabang jalan yang tampak di layar.
"Kayaknya ini deh," gumam Danu sambil mengarahkan layar ke Galang. "Liat nih, ada jalur kecil yang gue inget waktu pertama kali ke sana. Lewat jembatan sempit, terus hutan pinus."
Galang mengangguk, matanya mengikuti garis hijau di layar. "Iya, ini ada jalur kecil yang nggak muncul kalau kita nggak zoom maksimal. Mirip yang lo ceritain dulu."
"Nu! Gue nemu juga!" seru Naya tiba-tiba sambil membalikkan badan ke arah belakang. "Coba bandingin sama yang lo liat!"
Danu segera menunjukkan ponselnya ke arah depan, memperlihatkan rutenya. Naya menyodorkan ponselnya juga,
"Ini dia," gumam Galang. "Jalur yang sama."
Naya masih memperhatikan ponselnya, sesekali menggeser layar untuk memastikan titik yang mereka tuju benar. Setelah membandingkan lagi dengan peta Danu, ia mengangguk pelan, lalu bersuara.
"Ini juga jalur yang sama, Nu," katanya tanpa menoleh, tapi cukup keras agar terdengar sampai ke bangku belakang. "Gue dan Bima juga lewat sini waktu itu."
Bima yang sedang fokus menyetir hanya menimpali dengan anggukan kecil dan gumaman pendek, "Iya, bener."
"Tapi... setelah tanjakan terakhir, kita sempet tersesat," lanjut Naya, kali ini menoleh ke belakang, ke arah Danu dan Galang. "Jalurnya ngegiring kita masuk ke jalan yang nggak ada di map. Gue yakin banget, karena waktu itu peta gue langsung muter-muter sendiri."
"Muter-muter sendiri?" ulang Galang dengan dahi mengernyit.
Naya mengangguk. "Iya, kayak nggak bisa nemuin posisi kita. Padahal sinyal masih ada. Jalurnya juga sempit banget, penuh kabut, dan nggak ada rumah sama sekali. Makanya... mungkin kita harus ekstra hati-hati pas sampai tanjakan terakhir itu."
Danu menyimpan ponselnya perlahan. Ekspresinya berubah sedikit tegang, tapi tetap tenang.
"Berarti... setelah tanjakan, kita pastikan jangan ambil jalan sembarangan. Kita harus ingat tanda-tandanya," ujar Danu, menatap keluar jendela. "Kalau perlu, kita berhenti sebentar buat pastiin arah."
Bima mengangguk pelan. "Sip. Gue pelanin aja nanti kalau udah masuk wilayah itu."
Suasana kembali hening, namun kini lebih waspada. Peta sudah di tangan, arah sudah diketahui, tapi bayangan kabut dan jalur yang menghilang mulai menghantui benak mereka.