Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hatiku Seperti Mekar
Haru akhirnya membawa Zara pulang ke rumahnya. Ya, karena gadis tengil itu ngotot tidak mau diantar pulang.
Zara tampak sumringah. Setiap keinginannya selalu dituruti oleh Haru. Berbanding terbalik dengan Ray yang selalu penuh aturan dan debat panjang. Dan seperti biasa, senyum riangnya menyala seperti matahari pagi.
Begitu mobil melewati gerbang rumah Haru, mata Zara langsung membesar. "Ini? Ini rumah atau labiriiiinnnn?! Kok kayak jalan ke dunia Narnia?!"
Jalanan yang berkelok melewati taman dan pepohonan tinggi membuat Zara seperti sedang menyusuri hutan kecil. Burung-burung bersiul, dan angin meniup pelan daun-daun di sepanjang jalan.
Begitu sampai di depan rumah, dia langsung menatap bangunan megah itu.
Matanya terbelalak.
"Haru... kenapa rumahmu bisa seperti istana? Ini mimpi ya? Apa perlu aku benturin lagi kepalaku ke kepalamu biar sadar?"
Haru langsung menghela napas dengan garis hitam imajiner muncul di dahinya. "Tolong, jangan pake metode kebangkitan kepala batu nisan itu lagi..." gumamnya pasrah.
Sementara itu, sang asisten yang sudah terbiasa dengan gaya Zara hanya tertawa geli dari kursi kemudi. "Astaga, Tuan... Anda benar-benar beruntung mendapatkan ice breaker seperti Nona Zara. Saya bahkan yakin, wajah Tuan sebentar lagi akan berubah jadi... imut."
Haru memutar wajah, pura-pura cuek sambil berdeham pelan, menutupi pipinya yang mulai memanas.
"Haru... Haruuu... emmmhh, imajinasikuuu kayaknya mau nongol!! Sayap di punggungku ingin keluarr, atau ekor ya? Ugh!" Zara gemas sendiri. Tangan mencakar-cakar udara seakan kepalanya akan meledak oleh halu yang berlebih.
Dia memandang sekeliling dan 'dalam kepalanya' melihat para asisten berseragam maid berdiri berbaris, membungkuk sambil berkata:
"Welcome, Princess Zara."
Benda mati mulai terasa hidup, menyapa lembut dan melambai memanggil namanya. Kupu-kupu berterbangan, angin sepoi-sepoi membelai ujung rambutnya, dan entah dari mana telinganya menangkap suara orkestra.
"Aku bahkan bisa mendengarnya, Haru... orkestra itu!" katanya lirih dengan napas terengah bahagia. "Ini... ini serem... atau kereeennn!" Zara bergelora, tangannya mengepal di dada.
Tapi Haru hanya menatapnya diam, senyumnya miring. Lalu mendekat.
Tanpa berkata apa-apa, Haru menangkup lembut wajah bulat itu. Dan sebelum Zara sempat mengucapkan satu kata aneh lagi...
Chup!
Haru mengecup bibirnya.
Seketika, orkestra itu...
Diam.
Kupu-kupu lenyap, angin berhenti bermain. Zara hanya bisa membeku. Bibirnya masih hangat sebab sisa kecupan dari sang pangeran.
"Diamlah sebentar," bisik Haru lembut, senyum sabarnya penuh kasih. "Kalau tidak... kamu bisa bikin seluruh istana ini meledak dengan imajinasi liarmu."
Haru menggenggam tangannya erat. Lalu berjalan menyusuri lorong panjang rumah itu, sambil berkata ringan, "Ayo, kita ke dapur. Kamu pasti lapar."
Senyum Zara perlahan mengembang. "Ciuman penyegel imajinasi... ternyata ampuh juga..." bisiknya pelan.
[POV] Zara
"Diem duduk. Kalo kamu lepas kendali, aku bakal peluk kamu buat segel semuanya."
Kalimat itu...
....menggantung di kepalaku. Hangatnya belum pergi dari pipi. Aku menunduk, lalu melirik ke arah dapur. Dan di sanalah dia.
Haru.
Dengan kaos dalam yang sedikit tergulung di lengan, tubuh jangkungnya bergerak tenang. Dia membuka kulkas, mengambil beberapa sayuran. Tangannya terampil mencuci, memotong, menyusun…
Gerakannya teratur, ritmis, seperti musik klasik yang lembut dan menghipnotis. Tidak tergesa-gesa. Tidak acak-acakan. Semua dilakukan dengan penuh perhatian.
Syal biru muda buatan tanganku masih melingkar di lehernya. Entah kenapa, hanya melihat itu saja… membuat hatiku seperti mekar.
Bibirku perlahan mengatup.
Mataku berkaca-kaca.
Apakah ini... cinta?
Ya. Ini cinta.
Dan aku tahu sekarang:
Aku sedang jatuh cinta. Dan aku nggak mau itu 'nanggung.' Aku ingin, mencintainya.
Bukan cinta biasa. Tapi cinta yang... pelan-pelan, diam-diam, tapi kuat seperti akar pohon yang sudah terlanjur tumbuh di hati.
"Haru," bisikku dalam hati.
Melihatnya sibuk di dapur... membuatku membayangkan masa depan.
Sarapan bersama. Menggoda dia dari belakang. Membuat roti gosong bareng. Tertawa karena saling rebutan sendok. Dan mungkin... suatu hari, membuatkan syal untuk anak kecil kami.
Tanganku mengepal pelan.
Ternyata,
beginilah rasanya memandangi seseorang dan yakin… bahwa dia adalah masa depanku.
______
"Haru, aku juga bisa masak. Bolehkah aku ikut membantu?"
"Tidak. Kamu diam disitu atau aku segel."
"Aku mau disegel."
Tangan Haru berhenti memotong. "Gadis ini, selalu membuat jantungku tak karuan. Dia mudah sekali menjawab, tapi tak membuatku marah. Malah membuatku semakin, tergoda."
"Haru, kamu suka makanan apa? Apa kamu punya hobi? Bentuk apa yang kamu suka? Warna apa yang kamu suka? Apa muffin yang aku buatin kemarin kamu suka?"
Haru pun berbalik dan melangkah.
Seketika membuat Zara sadar. Akhirnya dia membungkam mulutnya sendiri, menyesali semua celoteh barusan. Tapi semuanya sudah terlontar. Dia menunduk malu, pipinya memerah.
Langkah kaki Haru terdengar mendekat, membuat jantung Zara berdetak tak karuan. Dan tanpa aba-aba, tanpa kalimat, tubuh mungilnya diangkat dengan mudah.
"A–Ah!" serunya pelan.
Dalam sekejap, dirinya telah duduk di atas meja makan. Tangan Haru mendarat di bahunya. Kokoh. Hangat. Menghentikan semua kegugupan.
"Hanya karena bahu kecil ini..." mata tajamnya menatap dalam ke arah wajah Zara, "...yang dulu membuatku langsung penasaran."
Zara mendongak.
Ingatannya langsung kembali ke masa lalu. Momen ketika mereka bertabrakan dan Zara menyamar sebagai Ray. Haru menatapnya dengan kebingungan waktu itu. Sekarang, dia menatapnya dengan rasa yang jauh lebih dalam.
"...dan sekarang," lanjut Haru pelan, "aku tahu... aku tidak pernah salah memilih untuk jatuh cinta. Ya, untung saja aku tidak jatuh cinta sama Ray."
Zara menahan nafasnya. Bibirnya terbuka sedikit. Matanya berkaca-kaca.
Haru perlahan mendekat. Sangat pelan, ingin sekali memberi sihir waktu bagi dunia untuk berhenti sejenak.
Lalu…
Kecupan itu mendarat. Haru mencium lembut gadis yang ia yakini akan menjadi istrinya suatu saat nanti. Meski tak bisa sekarang, tenang dia akan memberikan semua cintanya untuknya.
Seperti salju pertama yang jatuh di atas tanah hangat. Zara merasakan sentuhan itu. Menikmati setiap kecupan lembut dari seseorang yang mencintainya.
Jari Haru menyentuh pipinya, membingkai wajah itu dengan lembut bagai permata yang paling berharga. Menciumnya kembali. Lebih dalam. Lebih penuh rasa.
"Aku akan menikahimu, Zara. Tapi kalau aku bukanlah jodoh masa depanmu, aku nggak akan menikahi siapapun. Karna cintaku saat ini, telah kuberikan semuanya untukmu."
Ciuman itu terus kembali dengan penuh kendali, bahkan kecupannya membentuk irama yang memabukkan. Ugh! Tak ingin berhenti. Zara pun mulai membalas… pelan, ragu-ragu… dan terasa...
Deg!
Tiba-tiba, Haru menarik diri.
Zara mencelos. "Haru, kenapa?"
Haru menunduk, menahan napas. "Kamu… kamu nggak boleh menciumku, Zara."
Zara terbelalak. "Tapi, kenapa?"
Ekspresi pria itu tertahan, seolah kalimat berikutnya adalah medan pertempuran yang harus dilaluinya dengan sangat hati-hati. Karena ia tahu, seorang pria masih bisa mengendalikan diri saat dirinya yang memulai. Tapi jika gadis yang mengambil alih... dia takut, dia akan kehilangan kendali.
Belum sempat Haru menjelaskan, suara langkah masuk ke dalam ruangan disusul suara familiar: "Haru, gue udah siapin semuanya buat keberangkatan kita ke Swiss, besok."
Itu suara Asaki.
Dan ketika pandangannya jatuh pada Haru dan Zara yang masih terlalu dekat—
Nada suaranya langsung meninggi, spontan, tanpa sempat disaring. "Ka-- kalian?!!!"
../Facepalm/