Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Pria Berbincang
"Ibumu selingkuh dari Dirgantara?" Sebuah pertanyaan langsung keluar dari mulut Mario. Meski dia tahu kemana arah dari pertanyaan Kevin, tapi Mario merasa faktor yang menyebabkan Kevin berkelahi di kampus, pasti karena Dirgantara mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Paulina dan kehamilan ketiga wanita itum
Kevin mengangguk lemah, tapi tiba-tiba dia tercenung beberapa saat, kemudian seperti orang kaget. "Eh, maaf, mungkin om tidak tahu, karena selama ini, Om Mario kan tinggal di luar negeri ya?" Kevin malah terkekeh tak enak hati.
Meski kembali dibuat terkejut, tapi Mario sudah bisa menyimpulkan apa yang menyebabkan Kevin berkelahi. "Kamu tdak perlu sungkan jika ingin bercerita sama saya, Kevin," ujar Mario. "Jangan terlalu menyimpan beban sendirian, nanti yang ada kamu bisa stress."
Kevin kembali tersenyum sampai gigi putihnya terlihat.
"Yang saya tahu, Ibu kamu itu sebenarnya wanita yang baik dan sangat menurut pada suami," ucap Mario tiba-tiba sampai membuat senyum Kevin memudar seketika. "Kalaupun dia berbuat kesalahan, pasti ada penyebab yang mendasarinya.
Kevin tertegun, menatap lekat pria dewasa yang menatapnya juga.
"Saya tahu, kamu pasti penasaran, apa maksud dari ucapan saya, tapi saya yakin kamu pasti nanti akan tahu kebenaranya dibalik kesalahan yang pernah dilakukan ibu kamu," ucap Mario.
Kevin masih terdiam, mencerna ucapan pria yang ada di sebelahnya.
"Ya sudah, Om mau mandi dulu. Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu jangan ragu ngomong sama Om. Katakan saja apa yang kamu inginkan, pasti saya akan mewujudkannya."
Setelah berkata demikian, Mario bangkit sambil merogoh ponsel di saku jas yang dia kenakan. "Ada tugas yang harus kamu lakukan," ucap pria itu dengan langkah kaki yang terus menjauh dari Kevin.
Kevin menatap kepergian Mario dengan banyak pertanyaan dalam pikirannya.
####
Sedangkan di tempat lain, Berry dan Chen kembali dibuat geram karena untuk kesekian kalinya, rencana yang sudah mereka siapkan dengan matang, untuk menghilangkan nyawa Hernandez kembali gagal.
"Kenapa susah banget menghancurkan keluarga Hernandez sih?" geram Berry heran. "Kenapa mereka mudah banget lolos dari rencana kita. Heran aku," Berry benar benar tak habis pikir.
"Sudah lah, jangan terlalu dipikirkan," meski geram, Chen masih bisa bersikap santai. "Sekarang, kita fokus saja dulu, untuk mendapatkan notebook itu kembali. Waktu kita semakin menipis. Bisa-bisa, kita yang kehilangan nyawa, gara gara gagal dalam mengemban misi kita."
"Tapi kalau Lavia dan Hernandez sudah mengetahui isi notebook itu, tetap saja kita yang akan mendapat masalah kan?" balas Berry. "Buktinya, sekarang Pedro ada negara ini. Pasti Mario di sini juga. Nggak mungkin mereka nggak tahu apa apa."
"Lalu kita harus bagaimana?" Chen pun menjadi agak kesal. "Terus terang, untuk saat ini aku sudah kehabisan ide.Aku nggak bisa berpikir jernih."
Berry mendengus dan dia memilih diam, tidak membalas ucapan Chen. Berry sendiri juga sama sekali tidak memiliki ide, setelah tiga kali percobaan yang mereka lakukan mengalami kegagalan. Hingga di saat Berry melihat sesuatu di layar ponsel yang dia pegang, pria itu mendadak teringat sesuatu.
"Oh, iya, bukankah Hernandez memiliki anak?" ucap Berry melempar tatapan pada Chen. "Tadi kita sama sama lihat, Pedro bersama dua anak muda. Aku yakin, pasti salah satunya adalah anaknya Hernandez."
Chen mengangguk samar. "Terus?"
"Besok kita coba pantau keadaan rumah Hernandez, jika anaknya keluar rumah, kita bisa ikuti dia. Kali aja kalau melalui anaknya, kita bisa berhasil menangkap Hernandez maupun Lavia dan mengorek informasi tentang isi laptop itu."
Chen tercenung beberapa saat, mencerna ucapan rekan kerjanya. "Benar juga. Baiklah, besok kita coba. Sekarang, aku mau pergi dulu." Chen bangkit dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Mau kencan sama istrinya Tuan Dorman. Dia ngajak aku ketemuan di hotel," ucap Chen lalu dia melangkah pergi meninggalkan Berry yang agak terkejut.
Berry lantas tersenyum. Dia ingat, saat pulang dari rumahnya Margita, wanita cantik bernama Clara, mendekati mereka dan berbasa basi minta nomer ponsel mengatas namakan suaminya. padahal Berry tahu, wanita itu pasti udah gatal sejak melihat dia dan Chen datang bertamu ke rumahnya.
####
Sedangkan di tampat lain, tepatnya di kediaman Dirgantara, seluruh anggota keluarga itu sedang berkumpul di meja makan. Sambil menikmati hidangan yang ada, mereka juga terlibat dalam pembahasan yang cukup serius termasuk yang terjadi pada Argo
"Harusnya papa tuh tuntut Kevin," ujar Vina. "Ini sih udah termasuk tindak pidana. Paling tidak, papa harus buat efek jera pada anak itu, biar nggak ngelunjak."
"Benar itu," sahut Maya. Rasa geramnya kembali hadir tiap kali membahas kejadian yang menimpa anaknya. "Aku benar-benar tidak terima Kevin diperlakukan seperti itu."
"Susah, Ma," ujar Vano. "Kita kan sudah dikasih tahu, ada orang hebat, berdiri di belakang Kevin. Yang ada, nanti kita yang kalah karena malu."
"Tapi kesenangan Kevin dong, Van," Maya masih teguh pada pendiriannya. "Lagian, kita memiliki bukti kalau Kevin yang memulainya. Sekalian aja, kita ungkap kasus Kevin sebelumnya."
Argo yang sedari tadi masih bersikap santai, sontak terkejut mendengar ide dari Ibunya. "Udah sih, Ma, nggak apa-apa. Aku bisa balas pakai cara lain kok."
Argo jelas menolak usulan Maya. Argo tidak mau kasus sebelumnya kembali diusut. Jika kasus itu terkuak, makin genting posisi Argo di mata orang banyak. Bisa jadi Dirgantara juga akan murka karena sudah dipastikan, kasus tersebut mencuat ke ranah publik dan memperburuk nama baik Dirgantara.
"Pakai cara apa?" Hardik Maya tanpa mengurangi rasa kesalnya.
"Ya nanti aku pikirkan," jawab Argo. "Untuk saat ini, pikiranku lagi buntu, Ma, jadi aku nggak memiliki ide."
Maya langsung mendengus sedangkan Argo malah cengengesan.
"Oh iya, Pa, terus, tentang donor darah gimana?" tanya Vina lagi. "Apa nggak ada cara lain, agar Kevin mau bergabung dengan kita?"
"Untuk saat ini, Papa juga nggak ada ide, Vina," jawab Dirgantara.
"Tapi, kayanya udah nggak ada kesempatan untuk ngajak Kevin balik deh, Vin," ujar Vano.
"Kenapa?" Vina pun bertanya.
"Karena Papa sudah mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa Papa sangat membenci Kevin."
Mendengar ucapa Vano, Vina langsung melempar tatapan pada Dirgantara.
"Oh iya..." seru Maya tiba-tiba. "Papa belum cerita, apa alasan Papa menemui Kevin di kampus, tadi siang?"
Dirgantara mendengus kasar dan tidak langsung menjawab. Pria itu memilih meraih gelas dan meminum isinya yang tinggal setelah.
"Tadi Papa...." Dirgantara hendak bercerita. Namun ucapannya terhenti kala, ponsel yang ada di hadapannya berdering.
Dirgantara sedikit terkejut mendapat panggilan dari nomer yang tidak memiliki nama. Dirgantara pun mengabaikannya.
Karena tak kunjung mendapat respon setelah menghubungi beberapa kali, pemilik nomer telfon yang mengusik Dirgantara, tidak kehabisan akal.
Lagi-lagi di saat Dirgantara hendak bersuara, dia mendapat pesan di ponselnya dari nomer yang sama. Dirgantara sontak membuka pesan tersebut. Namun begitu tahu isinya, mata Dirgantara langsung melebar.