Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Huaa ... Ayah. Apa Ibu akan meninggal? Tolong selametin Ibu, Ayah. Aku mohon," teriak Willona dengan histeris.
Alex berjongkok tepat depan si kembar, mengusap kepala mereka secara bersamaan. "Ibu kalian pasti selamat, Sayang. Kalian tenang, ya. Eu ... kalian tunggu di sini sama Om yang di sana," jawab Alex seraya menunjuk ketiga anak buahnya yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Nggak mau, aku maunya sama Ayah," rengek William seraya menangis sesenggukan.
"Ayah gak akan lama, Ayah harus ikut sama suster buat nyelametin Ibu kalian."
"Tapi, aku takut!"
"Gak usah takut, Sayang. Mereka baik ko."
"Kita tak punya waktu, Pak. Pasien membutuhkan donor darah secepatnya," pinta perawat yang berdiri tepat di depan mereka bertiga.
Alex kembali berdiri tegak, mengalihkan pandangan mata kepada perawat tersebut. "Golongan darah saya O, Sus. Ambil darah saya sebanyak yang Anda butuhkan."
"Silakan, ikut saya," pinta perawat.
"Ayaaah!" Si kembar kembali berteriak histeris.
"Ayah gak akan lama, Sayang. Ibu kalian membutuhkan Ayah. Kalian tunggu di sini, ya. Sebentar aja." Alex berbalik dan melangkah mengikuti sang perawat, memasuki ruang operasi dan pintu pun kembali tertutup rapat.
William menangis sesenggukan, Willona menahan isakan seraya memeluk tubuh sang adik. "Kita tunggu di sini ya, Dek. Kata Ayah gak akan lama ko," ucapnya, mengusap punggung sang adik lembut mencoba untuk menenangkan.
Salah satu anak buah Alex melangkah menghampiri mereka, pria berjas hitam tanpa dasi, bertubuh tinggi. "Silahkan duduk, Tuan Muda, Nona Muda. Kalian tak usah khawatir, kami akan menjaga kalian di sini," ucapnya dengan tubuh membungkuk memberi hormat.
Willona mengurai pelukan. "Namaku bukan Nona Muda, namaku Willona dan dia kembaran aku, William," ucapnya seraya menyeka air mata yang membanjiri kedua mata.
Pria itu tersenyum ramah, berjongkok tepat di depan si kembar. "Nama Om Nickole, panggil Om dengan sebutan Om Nick. Eu ... kita duduk di sana yu, kita berdoa semoga Ibu kalian selamat dan sehat lagi seperti sedia kala," pinta Nickole seraya menunjuk kursi tunggu yang berada di sisi kanan.
Si kembar menganggukkan kepala dengan dada naik turun menahan isakan. Sementara Nickole kembali berdiri tegak dan menuntun si kembar, membawa mereka duduk bersama. Sedangkan kedua anak buah Alex yang lainnya hanya berdiri di lorong dengan siaga layaknya bodyguard yang sedang berjaga.
William menoleh dan menatap wajah Willona seraya terisak. "Kalau Ibu sampe meninggal gimana, Kak? Aku takut banget," rengeknya, membayangkan sang ibu tiada membuatnya takut.
Willona balas menatap wajah sang adik. "Kamu pikir Kakak gak takut? Kakak juga takut, Willi," jawabnya seraya terisak. "Tapi, Ayah bilang akan menyelamatkan Ibu, 'kan? Kita tunggu aja sampe Ayah keluar."
Nickole yang duduk tepat di samping William menghela napas panjang, memandang wajah keduanya secara bergantian. "Gimana kalau kalian doain Ibu kalian. Minta sama Tuhan buat nyelametin Ibu."
William dan Willona menganggukkan kepala, menengadahkan kedua tangan tepat di depan wajah masing-masing dengan mata terpejam. "Ya Tuhan, tolong selametin Ibuku. Aku janji gak akan nakal lagi. Aku mohon, aku gak mau kehilangan Ibu untuk selamanya. Aku mohon selametin Ibu," ucap William dengan sepenuh hati.
"Tuhan, tolong jangan ambil nyawa Ibuku, Tuhan. Aku mohon selametin Ibu. Aku janji akan jadi anak yang baik dan pinter," ucap Willona lalu menutup doa mereka dengan mengucap "Amin" dan mengusap wajah mereka dengan kedua telapak tangan.
Nickole tersenyum kecil. "Anak sholeh, sekarang kita tunggu Ayah kalian keluar, ya."
Si kembar kembali menganggukkan kepala secara bersamaan. Duduk dengan perasaan gelisah, menanti sang Ayah dan menunggu kabar ibu mereka yang sudah lebih dari satu jam berada di ruang operasi. Suasana benar-benar sepi dan hening, waktu terus bergulir. William nampak terkantuk-kantuk hingga kepalanya sesekali menunduk sebelum akhirnya kembali terperanjat karena sempat terlelap sesaat.
"Tidur di pangkuan Om," pinta Nickole kepada William.
"Gak apa-apa aku tidur di pangkuan Om?" tanya William seraya membuka mulutnya lebar-lebar. "Aku ngantuk banget, Om. Tapi, kalau Ayah keluar, gimana?"
"Kamu tenang aja, nanti Om bangunin kalau Ayah kalian udah selesai."
William mengangguk, menyandarkan kepala di pangkuan Nickole. Anak itu pun terlelap seketika. Sementara Willona hanya terdiam tanpa sepatah katapun. Punggungnya nampak bersandar di kursi besi seraya menatap lurus ke depan melayangkan tatapan kosong.
"Kamu gak ngantuk, Willona?" tanya Nickole menatap wajah Willona.
"Nggak, Om. Aku gak ngantuk," jawab Willona dengan wajah datar, tanpa menoleh.
Nickole hanya mengangguk-anggukkan kepala, mengusap kepala William dengan lembut. "Saya gak nyangka, ternyata Pak Bos punya anak kembar yang lucu-lucu dan pintar. Saya pikir Pak Bos agak belok karena masih belum menikah sampe sekarang," batinnya, menatap wajah si kembar secara bergantian.
***
Satu jam kemudian
Pintu ruang operasi akhirnya dibuka dari dalam. Alex seraya memegangi pergelangan tangannya yang sempat ditusuk jarum saat melakukan pendonoran darah, melangkah mendekati si kembar seraya menghela napas panjang. Kepala William nampak berada di atas pangkuan Nickole, matanya terpejam, suara dengkuran kecil bahkan terdengar samar-samar.
Sementara Willona hanya terkantuk-kantuk, segera berdiri tegak saat melihat Alex William, memandang wajah sang ayah dengan tatapan berbinar lalu berlari menghampiri dan segera memeluk kedua kakinya dengan erat.
"Ayah!" serunya dengan senyum lega.
Alex terdiam, rasanya benar-benar bahagia ketika disambut dengan senyum ceria oleh sang putri. Seperti diketahui, Willona menolak kehadirannya bahkan kerap bersikap kasar kepadanya.
Alex berjongkok tepat di depan Willona lalu memeluk tubuhnya dengan erat. "Maaf karena harus menunggu Ayah lama," ucapnya dengan lemah.
Willona mengurai pelukan, menatap wajah sang ayah dengan tatapan sayu. "Ibu gimana, Ayah? Apa Ayah berhasil menyelamatkan Ibu?" tanyanya.
"Tentu saja, Ibu kamu pasti selamat. Kita tunggu sebentar lagi, ya."
Pintu ruang operasi kembali dibuka, seorang Dokter dengan pakaian steril lengkap dengan masker yang menutup mulutnya, keluar dari dalam ruangan. Alex sontak berdiri tegak, memandang wajah sang Dokter, berharap mendapat kabar baik.
"Bagaimana operasinya, Dok?" tanyanya.
"Ibuku selamat 'kan, Dok?" tanya Willona.
"Operasinya sukses, kami berhasil mengeluarkan peluru dari bahu pasien, tapi pasien masih belum siuman, dan pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih besar," jawab sang Dokter.
Willona seketika membulatkan mata, merasa terkejut. "Peluru? Emangnya Ibuku ditembak sama siapa, Dok?" tanya Willona dengan penasaran lalu mengalihkan pandangan matanya kepada sang Ayah. "Kata Ayah, Ibu kecelakaan, 'kan? Kenapa ada peluru di bahu Ibu?"
Bersambung ....
***
Sambil nunggu up date selanjutnya, yok mampir di karya keren di bawah ini
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅